Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mencoba Bangkit dari Mati Suri

Cornell Modern Indonesia Project adalah pelopor studi Indonesia di Amerika Serikat. Sempat "tidur" selama satu dekade.

14 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ruang di lantai tiga gedung White Hall, Cornell University, Ithaca, New York, itu cukup lapang untuk sebuah ruang kerja. Luasnya sekitar 6 x 8 meter, diisi sebuah meja kerja dan komputer. Sebuah rak gantung di dindingnya dipenuhi pelbagai buku tentang Indonesia, Asia Tenggara, dan Islam, seperti Suharto: A Political Biography karya R.E. Elson, Southeast Asia in the New International Era karya Robert Dayley, Employment, Living Standards and Poverty in Contemporary Indonesia karya Sudarno Sumarto, dan Party Politics and Democratization in Indonesia: Golkar in the Post-Suharto Era karya Dirk Tomsa.

Di sepanjang sisi timur ruang yang menghadap ke jalan serta berkarpet-berdinding kuning muda ini terdapat jendela. Sebuah miniatur becak, merah dan biru warnanya, "parkir" di dekat jendela.

Di ruangan inilah Thomas Pepinsky, Associate Director of Cornell Modern Indonesia Project, membangun kembali kebesaran lembaga studi Indonesia yang pernah berjaya pada 1960-1970-an. Didirikan George McTurnan Kahin dan lima profesor lain pada 1950, semula lembaga itu didanai Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk menyaingi Southeast Asia Program di Yale University. Lembaga yang kini sepenuhnya didanai Cornell ini menunjukkan peran pentingnya dalam sejarah ketika dua penelitinya, Benedict Anderson dan Ruth McVey, menerbitkan "A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia", atau dikenal sebagai Cornell Paper, yang kontroversial.

Lembaga ini sempat "tidur" selama hampir satu dekade setelah Benedict Anderson dan James Siegel pensiun, dan mulai bangkit lagi pada 2009, yang dipelopori Pepinsky dan koleganya, Eric Tagliacozzo, yang kini menduduki kursi direktur lembaga tersebut.

"Kami merasa bahwa lembaga ini penting dan harus mereklaim kembali posisi Cornell University sebagai pelopor penelitian intelektual tentang studi Indonesia di luar Indonesia," kata Pepinsky, penulis buku Economic Crises and the Breakdown of Authoritarian Regimes: Indonesia and Malaysia in Comparative Perspective. Mereka tak punya kantor khusus. Sebanyak 15 peneliti bekerja dari meja masing-masing dan berhubungan lewat surat elektronik 1-2 kali seminggu. "Kalau perlu saja, baru kami berhubungan lewat telepon," kata dosen ilmu politik dan pemerintahan di Cornell itu. "Yang kami miliki hanyalah energi intelektual, semangat, dan keahlian intelektual."

Produk yang paling bertahan dari lembaga ini adalah Indonesia Journal, jurnal ilmiah enam bulanan yang memuat hasil penelitian, komentar, dan resensi buku tentang Indonesia yang ditulis ahli dari seluruh dunia, khususnya dari Cornell. Jurnal ini dibiayai Cornell sebagai bagian dari Southeast Asia Program. Kini jurnal itu disunting Tagliacozzo dan Joshua Barker dari University of Toronto. "Jurnal itu sudah diproduksi selama lebih dari 60 tahun. Jadi, ada uang yang cukup sebenarnya, karena kami mencetak lebih dari jumlah pelanggan reguler kami," ujar Tagliacozzo. Untuk pengembangan, ia memperluas program pendidikan dan penelitian, yang kini tak hanya berfokus pada ranah humaniora, tapi juga sains, lingkungan hidup, dan kelautan.

Gebrakan pertamanya adalah konferensi The State of Indonesian Studies pada April lalu, yang menghadirkan 18 ahli Indonesia dari seluruh dunia, termasuk Belanda, Australia, Jepang, dan Singapura. Mereka membahas berbagai aspek perkembangan Indonesia mutakhir, dari bahasa hingga politik.

Api semangat untuk menghidupkan kembali lembaga ini diikuti dengan pendirian American Institute for Indonesian Studies, yang didanai Henry Luce Foundation dan Council of American Overseas Research Center serta Sampoerna Foundation. Sekretariatnya di kawasan Casablanca, Jakarta, akan resmi dibuka pada 9 Januari 2012. Organisasi ini hanya terbuka untuk peneliti dari Indonesia dan Amerika. "Untuk menaikkan jumlah peneliti Indonesia dan Amerika serta membantu mereka mendapatkan informasi dan kontak serta berinteraksi sesama peneliti yang sedang mengerjakan riset," kata Thomas Pepinsky.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus