Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gubug, pelacur & Gelandangan

Pelacur dan gelandangan ditindak di jakarta. mereka yang tertangkap dikembalikan ke kampung atau ditransmigrasikan. semua bangunan liar digusur.

12 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI pagi buta itu mereka menghambur tunggang-langgang. Anak-anak kecil yang belum terjaga benar terantuk-antuk diseret orang tua mereka. seberapa lembar kain atau alat-alat rumah tangga tercecer dari dalam buntalan. Dan begitu cahaya matahari remang-remang menyembul, nyala api mulai terlihat. Gubuk-gubuk itu mulai terbakar. Pemandangan itu terlihat di Tanah Abang Bongkaran, Jakarta Pusat, 27 Maret pagi. Yaitu ketika hampir 600 orang petugas Kamtib berikut petugas-petugas dari berbagai instansi lainnya dalam rangka Operasi Tertib I bersiap-siap untuk membongkar gubuk-gubuk liar yang berdiri di sana. Sejak 20 hari sebelumnya para penghuni gubuk sudah diberi peringatan untuk membongkar sendiri. Hanya sebagian yang mematuhi peringatan itu, sedang sisanya mencoba bertahan sampai saat-saat terakhir. Kebakaran itu sendiri dinilai oleh petugas-petugas Kamtib sebagai disengaja oleh salah seorang penghuni gubuk. Mungkin sebagai tanda protes. Api baru dapat dipadamkan setelah 9 unit mobil pemadam kebakaran dikerahkan, dengan korban 40 buah bangunan hangus. Tanah Abang Bongkaran adalah salah satu wilayah di Jakarta Pusat yang selama ini dikenal angker. Ada sekirar 700 buah gubuk liar berdiri di kiri kanan rel kereta-api di sana, dihuni oleh hampir 2.000 jiwa -- terdiri dari pelacur, germo dan keluarganya, di samping juga menjadi persembunyian para penjahat. Perkelahian atau berbagai keributan lain kerap terjadi di sini. Pada 1975 daerah ini pernah dibersihkan. Tapi tak sampai setahun gubuk-gubuk maupun bangunan rumah tak permanen kembali berdiri. Untuk mencegah hal itu terulang kembali, PJKA sebagai pemilik tanah di sekitar rel itu, akan segera memagarinya dengan kawat. Kebijaksanaan Pemda DKI menggalakkan penggusuran terhadap bangunan-bangunan liar di tempat-tempat terlarang, tak hanya di Jakarta Pusat. Sejak Desember tahun lalu Operasi Tertib I juga telah menggusur tempat-tempat liar lainnya yang dihuni para pelacur, pedagang kaki lima dan gelandangan. Hasilnya, di wilayah Jakarta Barat sebanyak 590 gubuk liar dihancurkan, lebih dari 250 bangunan kaki lima tanpa izin dibongkar, dan beberapa ratus gelandangan serta pelacur ditangkap. Dua golongan terakhir ini langsung ditempatkan di LPK (Lembaga Pemasyarakatan Khusus) Pondok Bambu (Jakarta Timur) dan sebagian di Panti Sosial Jelambar (Jakarta Barat). Di wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Timur tercatat masing-masing sekitar 1000 buah gubuk dimusnahkan, di samping ratusan gelandangan dan pelacur ditangkap. Di wilayah Jakarta Selatan belum diperoleh angka-angka. Sedangkan dalam Operasi Tertib II yang akan segera dilakukan, tempat-tempat pelacuran liar lainnya, seperti di Kalijo (Jakarta Barat) dan Pejompongan Indah (Jakarta Pusat) serta Rawabening (Jakarta Timur) akan mendapat giliran. Selanjutnya akan ke mana mereka? Menurut J. Soeminto, Walikota Jakarta Pusat, para pelacur yang tertangkap tetap akan dibina di LPK Pondok Bambu. Sedang yang tidak tertangkap dikabarkan memadati lokalisasi Kramat Tunggak dan Tambun (Bekasi - Jawa Barat). Kepada para gelandangan akan (ditawarkan pilihan kembali ke kampung halaman dengan diberi ongkos atau ditransmigrasikan. Tapi menurut laporan Kamtib Jakarta Timur, sampai pekan lalu "belum ada yang mendaftarkan diri untuk ditransmigrasikan." Adapun yang ingin pulang ke kampung kelahiran, sejak minggu lalu beberapa puluh orang telah diberangkatkan. Dan mereka yang tak memilih dua kemungkinan tadi, tetap ditempatkan di LPK Pondok Bambu. Kurang Manusiawi? Seperti halnya Haidi yang tak mau mengaku dari mana asalnya. Ia tertangkap sebagai penghuni gubuk di tepi rel KA tak jauh dari stasiun Jatinegara (Jakarta Timur). Bersama istri dan 2 anaknya, ia tetap bersikeras hendak kembali ke gubuknya yang sudah dibongkar Kamtib. "Sebab untuk tanah gubuk saya, setiap bulan saya membayar Rp 250 kepada orang PJKA," tuturnya. Bekas tukang becak dan terakhir sebagai penjual pisang itu tak mau ditransmigrasikan atau dipulangkan ke kampungnya (yang dia rahasiakan), "karena di Jakarta mudah mencari uang. Karena itu ia akan tetap dibina di Pondok Bambu. Tapi Karjo, asal Cilamaya (Cikampek -- Jawa Barat) minta ampun kepada petugas Kamtib Jakarta Timur agar dipulangkan ke kampungnya. Ia terjaring di gubuknya di Kober, Jatinegara. Pengakuannya di Jakarta hidup sebagai kuli pengangkat barang di pasar-pasar, meskipun lebih banyak menggelandang. Minggu lalu Karjo (25 tahun) sudah bersiap-siap kembali ke Cilamaya, tempat anak dan istrinya menunggu. Tempat-tempat yang telah dibersihkan dari gubuk-gubuk maupun bangunan liar lainnya akan segera dipagari. Menurut Walikota Soeminto, tanah-tanah itu selanjutnya akan dimanfaatkan untuk pasar, dihijaukan atau untuk bangunan umum lainnya. Sehingga agaknya, Gubernur DKI Tjokropranolo yang selama ini sering bersuara membela kepentingan rakyat kecil, ingin melihat manfaat lebih luas dari tindakan aparatnya yang mungkin dianggap kurang manusiawi ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus