DI pagi buta itu mereka menghambur tunggang-langgang. Anak-anak
kecil yang belum terjaga benar terantuk-antuk diseret orang tua
mereka. seberapa lembar kain atau alat-alat rumah tangga
tercecer dari dalam buntalan. Dan begitu cahaya matahari
remang-remang menyembul, nyala api mulai terlihat. Gubuk-gubuk
itu mulai terbakar.
Pemandangan itu terlihat di Tanah Abang Bongkaran, Jakarta
Pusat, 27 Maret pagi. Yaitu ketika hampir 600 orang petugas
Kamtib berikut petugas-petugas dari berbagai instansi lainnya
dalam rangka Operasi Tertib I bersiap-siap untuk membongkar
gubuk-gubuk liar yang berdiri di sana. Sejak 20 hari sebelumnya
para penghuni gubuk sudah diberi peringatan untuk membongkar
sendiri. Hanya sebagian yang mematuhi peringatan itu, sedang
sisanya mencoba bertahan sampai saat-saat terakhir.
Kebakaran itu sendiri dinilai oleh petugas-petugas Kamtib
sebagai disengaja oleh salah seorang penghuni gubuk. Mungkin
sebagai tanda protes. Api baru dapat dipadamkan setelah 9 unit
mobil pemadam kebakaran dikerahkan, dengan korban 40 buah
bangunan hangus.
Tanah Abang Bongkaran adalah salah satu wilayah di Jakarta Pusat
yang selama ini dikenal angker. Ada sekirar 700 buah gubuk liar
berdiri di kiri kanan rel kereta-api di sana, dihuni oleh hampir
2.000 jiwa -- terdiri dari pelacur, germo dan keluarganya, di
samping juga menjadi persembunyian para penjahat. Perkelahian
atau berbagai keributan lain kerap terjadi di sini. Pada 1975
daerah ini pernah dibersihkan. Tapi tak sampai setahun
gubuk-gubuk maupun bangunan rumah tak permanen kembali berdiri.
Untuk mencegah hal itu terulang kembali, PJKA sebagai pemilik
tanah di sekitar rel itu, akan segera memagarinya dengan kawat.
Kebijaksanaan Pemda DKI menggalakkan penggusuran terhadap
bangunan-bangunan liar di tempat-tempat terlarang, tak hanya di
Jakarta Pusat. Sejak Desember tahun lalu Operasi Tertib I juga
telah menggusur tempat-tempat liar lainnya yang dihuni para
pelacur, pedagang kaki lima dan gelandangan. Hasilnya, di
wilayah Jakarta Barat sebanyak 590 gubuk liar dihancurkan, lebih
dari 250 bangunan kaki lima tanpa izin dibongkar, dan beberapa
ratus gelandangan serta pelacur ditangkap. Dua golongan terakhir
ini langsung ditempatkan di LPK (Lembaga Pemasyarakatan Khusus)
Pondok Bambu (Jakarta Timur) dan sebagian di Panti Sosial
Jelambar (Jakarta Barat).
Di wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Timur tercatat
masing-masing sekitar 1000 buah gubuk dimusnahkan, di samping
ratusan gelandangan dan pelacur ditangkap. Di wilayah Jakarta
Selatan belum diperoleh angka-angka. Sedangkan dalam Operasi
Tertib II yang akan segera dilakukan, tempat-tempat pelacuran
liar lainnya, seperti di Kalijo (Jakarta Barat) dan Pejompongan
Indah (Jakarta Pusat) serta Rawabening (Jakarta Timur) akan
mendapat giliran.
Selanjutnya akan ke mana mereka? Menurut J. Soeminto, Walikota
Jakarta Pusat, para pelacur yang tertangkap tetap akan dibina di
LPK Pondok Bambu. Sedang yang tidak tertangkap dikabarkan
memadati lokalisasi Kramat Tunggak dan Tambun (Bekasi - Jawa
Barat). Kepada para gelandangan akan (ditawarkan pilihan kembali
ke kampung halaman dengan diberi ongkos atau ditransmigrasikan.
Tapi menurut laporan Kamtib Jakarta Timur, sampai pekan lalu
"belum ada yang mendaftarkan diri untuk ditransmigrasikan."
Adapun yang ingin pulang ke kampung kelahiran, sejak minggu lalu
beberapa puluh orang telah diberangkatkan. Dan mereka yang tak
memilih dua kemungkinan tadi, tetap ditempatkan di LPK Pondok
Bambu.
Kurang Manusiawi?
Seperti halnya Haidi yang tak mau mengaku dari mana asalnya. Ia
tertangkap sebagai penghuni gubuk di tepi rel KA tak jauh dari
stasiun Jatinegara (Jakarta Timur). Bersama istri dan 2 anaknya,
ia tetap bersikeras hendak kembali ke gubuknya yang sudah
dibongkar Kamtib. "Sebab untuk tanah gubuk saya, setiap bulan
saya membayar Rp 250 kepada orang PJKA," tuturnya. Bekas tukang
becak dan terakhir sebagai penjual pisang itu tak mau
ditransmigrasikan atau dipulangkan ke kampungnya (yang dia
rahasiakan), "karena di Jakarta mudah mencari uang. Karena itu
ia akan tetap dibina di Pondok Bambu.
Tapi Karjo, asal Cilamaya (Cikampek -- Jawa Barat) minta ampun
kepada petugas Kamtib Jakarta Timur agar dipulangkan ke
kampungnya. Ia terjaring di gubuknya di Kober, Jatinegara.
Pengakuannya di Jakarta hidup sebagai kuli pengangkat barang di
pasar-pasar, meskipun lebih banyak menggelandang. Minggu lalu
Karjo (25 tahun) sudah bersiap-siap kembali ke Cilamaya, tempat
anak dan istrinya menunggu.
Tempat-tempat yang telah dibersihkan dari gubuk-gubuk maupun
bangunan liar lainnya akan segera dipagari. Menurut Walikota
Soeminto, tanah-tanah itu selanjutnya akan dimanfaatkan untuk
pasar, dihijaukan atau untuk bangunan umum lainnya. Sehingga
agaknya, Gubernur DKI Tjokropranolo yang selama ini sering
bersuara membela kepentingan rakyat kecil, ingin melihat manfaat
lebih luas dari tindakan aparatnya yang mungkin dianggap kurang
manusiawi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini