Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kultus 40 menit

Pertunjukan langen gita putra sang fajar di balai senayan yang melakonkan bung karno hanya separoh, dilarang polisi. di yogya sebelumnya sudah di larang. (ter)

12 April 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG pemain tiba-tiba nyelonong ke mikrofon. Ia membacakan surat keputusan pihak kepolisian: bahwa pertunjukan Langen Gita Putra Sang Fajar hanya diizinkan "sampai di sini" -- yakni sampai adegan Proklamasi. Dan penonton di Balai Sidang Senayan Jakarta 4 April itu jadi mengerti -- lantas bubaran. Jam belum lagi menunjukkan pukul 10 malam, dan lakon acuan paduan suara, tari dan puisi itu, yang seharusnya makan waktu 2 jam 45 menit, dengan demikian dipotong 3/4-nya -- kira-kira dua jam. Untuk penamhah-nambah pertunjukan didahului pembacaan sajak Sitor Situmorang, nyanyian Leo Kristi, dengan waktu yang tampaknya dibiarkan terulur-ulur. Dan di malam kedua (ketika surat keputusan tak boleh dibacakan lagi), ditambah suguhan lagu-lagu paduan suara sebagai penutup. Itulah nasib tontonan Bung Karno yang sebelumnya, 24 Maret, telah tidak diizinkan mentas di Yogya. Di sana, menurut cerita panitia, sekitar 500 calon penonton luar kota yang telah memesan undangan (dari Tulungagung, Pati, Batang, Kebumen, Slawi, Banyumas), dibuat kecewa oleh larangan Laksusda DIY --yang hanya diberikan secara lisan -- lewat Koresta 961. Meskipun, menurut Lettu Rahardjo, Kasi Intel Koresta kepada TEMPO, "sebenarnya bukan dilarang Tapi untuk sementara jangan dipentaskan dulu." Alasan pelarangan tak diberikan kepada panitia. Juga yang di Jakarta. Di sini sudah tanggal 6 Februari Kodak Merro Jaya mengeluarkan izin -- sebelum mengeluarkan keputusan tentang bagian mana yang disensur, tanggal 29 Maret. "Kami sudah menggunakan berbagai cara untuk menawar. Tapi bapak-bapak itu tetap pada keputusannya," kata Dicky Suprapto, suami Rahmawati Soekarno yang menjadi produser. Tentu saja mereka tidak mau menggagalkan sama sekali pertunjukan itu. Bukan hanya karena karcis sebagian besar sudah di tangan calon penonton -- meskipun pengunjung kedua malam itu ternyata kurang dari separuh tempat. Tapi karena sutradaranya sendiri (dan mestinya juga panitia) pada prinsipnya memang bersedia mengubah naskah termasuk tentunya memotong. "Selama menyangkut kepentingan nasional," begitu dalih Sadhono yang juga pegawai P&K Yogya, "kompromi saya terima. Saya bukan pemberontak." Bahkan sutradara itu mengaku sebelumnya sudah "memperhalus" naskah -- yang sebenarnya sudah pernah dipentaskannya dua kali 1970 dan 1978. "Pementasan pertama dulu rasanya terlalu vulgar, sedang yang kedua kurang halus ungkapannya," kata teaterwan yang juga bekas pengurus Teater Mandiri (Putu wijaya) Cabang Yogya itu. Naskah itu memang terasa "sangat menggebu-gebu". Guruh Soekarno menilainya sebagai: Menurut saya cukupanlah -- meski ia sendiri mengharap "tidak timbul kesan kultus individu. Sementara Sukmawati berkomentar "Naskah itu memang mengarah pada kultus individu." Tapi soal sebenarnya bukan kultus itu. Soalnya, yang terasa kurang pas, ialah karena kultus itu (kalaupun memang diinginkan) diujudkan dengan sikap mau membenarkan apa saja yang dilakukan Bung Karno masa lalu, termasuk masa "Demokrasi Terpimpin." Dengan semangat seperti itu sesuatu pemalsuan sejarah akan tidak terhindari. Gerakan mahasiswa 1966 hanya dikutuk di situ -- dan selesai. BPS dan Manikebu dinyatakan "disapu putra pertiwi". Padahal gerakan pers dan seniman non-PKI itu dibungkam oleh penguasa, hingga sejumlah besar koran dibreidel (lihat box). Semangat seperti itu hanya menampakkan kemauan sendiri yang tidak adil. Yang menarik, siapa penulis karangan ini sebenarnya (yang memakai nama Aryaguna), belum ada yang mau mengatakan. Sutradaranya hanya mengaku menemukan naskah itu sebagai sebuah puisi panjang di majalah Dwi Warna edisi Proklamasi, Agustus 1969. Ia mengaku sudah menyurat ke redaksinya untuk minta izin pementasan, namun jawaban tak muncul. Tapi yang mengarang agaknya bukan anak muda. Bakdi Soemanto, Ketua Dewan Kesenian Yogyakarta, menilai pelarangan polisi (di Yogya) itu "tidak mendidik". Ia mempersoalkan yang dilarang itu sebuah "peristiwa kesenian" ataukah sesuatu yang "menciptakan keributan". Memang sulit. Lebih-lebih bila tidak dipertimbangkan kemungkinan lain bahwa yang dilarang itu juga sesuatu yang menanamkan "pandangan kesejarahan yang bisa menyesatkan" kepada para pemuda kita. Apalagi mereka di masa Bung Karno jaya masih sangat kecil dan tak tahu soalnya. Juga tak paham bahwa di masa BK pementasan yang "tak direstui" bukan hanya dilarang, tapi juga diganyang. Bahkan Koes bersaudara saja masuk penjara. Dalam keadaan seperti kini, tak seorang pun yang sempat menjawab pertanyaan seorang gadis penonton di Senayan malam itu: "Mengapa sih, riwayat Bung Karno tidak boleh dipentaskan ?" Yang menyedihkan ialah bahwa seorang bapak bangsa seperti Bung Karno, yang justru bisa muncul dengan agung dalam sebuah epos yang tidak mengingkari seluruh kelemahan pribadinya dan kekeliruannya yang manusiawi, telah tidak jadi sumber pelajaran untuk masa datang. Hanya untuk mengulang teriakan masa lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus