SEORANG pemain tiba-tiba nyelonong ke mikrofon. Ia membacakan
surat keputusan pihak kepolisian: bahwa pertunjukan Langen Gita
Putra Sang Fajar hanya diizinkan "sampai di sini" -- yakni
sampai adegan Proklamasi. Dan penonton di Balai Sidang Senayan
Jakarta 4 April itu jadi mengerti -- lantas bubaran.
Jam belum lagi menunjukkan pukul 10 malam, dan lakon acuan
paduan suara, tari dan puisi itu, yang seharusnya makan waktu 2
jam 45 menit, dengan demikian dipotong 3/4-nya -- kira-kira dua
jam. Untuk penamhah-nambah pertunjukan didahului pembacaan
sajak Sitor Situmorang, nyanyian Leo Kristi, dengan waktu yang
tampaknya dibiarkan terulur-ulur. Dan di malam kedua (ketika
surat keputusan tak boleh dibacakan lagi), ditambah suguhan
lagu-lagu paduan suara sebagai penutup.
Itulah nasib tontonan Bung Karno yang sebelumnya, 24 Maret,
telah tidak diizinkan mentas di Yogya. Di sana, menurut cerita
panitia, sekitar 500 calon penonton luar kota yang telah memesan
undangan (dari Tulungagung, Pati, Batang, Kebumen, Slawi,
Banyumas), dibuat kecewa oleh larangan Laksusda DIY --yang hanya
diberikan secara lisan -- lewat Koresta 961. Meskipun, menurut
Lettu Rahardjo, Kasi Intel Koresta kepada TEMPO, "sebenarnya
bukan dilarang Tapi untuk sementara jangan dipentaskan dulu."
Alasan pelarangan tak diberikan kepada panitia. Juga yang di
Jakarta. Di sini sudah tanggal 6 Februari Kodak Merro Jaya
mengeluarkan izin -- sebelum mengeluarkan keputusan tentang
bagian mana yang disensur, tanggal 29 Maret. "Kami sudah
menggunakan berbagai cara untuk menawar. Tapi bapak-bapak itu
tetap pada keputusannya," kata Dicky Suprapto, suami Rahmawati
Soekarno yang menjadi produser.
Tentu saja mereka tidak mau menggagalkan sama sekali pertunjukan
itu. Bukan hanya karena karcis sebagian besar sudah di tangan
calon penonton -- meskipun pengunjung kedua malam itu ternyata
kurang dari separuh tempat. Tapi karena sutradaranya sendiri
(dan mestinya juga panitia) pada prinsipnya memang bersedia
mengubah naskah termasuk tentunya memotong. "Selama menyangkut
kepentingan nasional," begitu dalih Sadhono yang juga pegawai
P&K Yogya, "kompromi saya terima. Saya bukan pemberontak."
Bahkan sutradara itu mengaku sebelumnya sudah "memperhalus"
naskah -- yang sebenarnya sudah pernah dipentaskannya dua kali
1970 dan 1978. "Pementasan pertama dulu rasanya terlalu vulgar,
sedang yang kedua kurang halus ungkapannya," kata teaterwan
yang juga bekas pengurus Teater Mandiri (Putu wijaya) Cabang
Yogya itu.
Naskah itu memang terasa "sangat menggebu-gebu". Guruh Soekarno
menilainya sebagai: Menurut saya cukupanlah -- meski ia sendiri
mengharap "tidak timbul kesan kultus individu. Sementara
Sukmawati berkomentar "Naskah itu memang mengarah pada kultus
individu."
Tapi soal sebenarnya bukan kultus itu. Soalnya, yang terasa
kurang pas, ialah karena kultus itu (kalaupun memang diinginkan)
diujudkan dengan sikap mau membenarkan apa saja yang dilakukan
Bung Karno masa lalu, termasuk masa "Demokrasi Terpimpin."
Dengan semangat seperti itu sesuatu pemalsuan sejarah akan tidak
terhindari. Gerakan mahasiswa 1966 hanya dikutuk di situ -- dan
selesai. BPS dan Manikebu dinyatakan "disapu putra pertiwi".
Padahal gerakan pers dan seniman non-PKI itu dibungkam oleh
penguasa, hingga sejumlah besar koran dibreidel (lihat box).
Semangat seperti itu hanya menampakkan kemauan sendiri yang
tidak adil.
Yang menarik, siapa penulis karangan ini sebenarnya (yang
memakai nama Aryaguna), belum ada yang mau mengatakan.
Sutradaranya hanya mengaku menemukan naskah itu sebagai sebuah
puisi panjang di majalah Dwi Warna edisi Proklamasi, Agustus
1969. Ia mengaku sudah menyurat ke redaksinya untuk minta izin
pementasan, namun jawaban tak muncul. Tapi yang mengarang
agaknya bukan anak muda.
Bakdi Soemanto, Ketua Dewan Kesenian Yogyakarta, menilai
pelarangan polisi (di Yogya) itu "tidak mendidik". Ia
mempersoalkan yang dilarang itu sebuah "peristiwa kesenian"
ataukah sesuatu yang "menciptakan keributan".
Memang sulit. Lebih-lebih bila tidak dipertimbangkan kemungkinan
lain bahwa yang dilarang itu juga sesuatu yang menanamkan
"pandangan kesejarahan yang bisa menyesatkan" kepada para pemuda
kita. Apalagi mereka di masa Bung Karno jaya masih sangat kecil
dan tak tahu soalnya. Juga tak paham bahwa di masa BK pementasan
yang "tak direstui" bukan hanya dilarang, tapi juga diganyang.
Bahkan Koes bersaudara saja masuk penjara.
Dalam keadaan seperti kini, tak seorang pun yang sempat menjawab
pertanyaan seorang gadis penonton di Senayan malam itu: "Mengapa
sih, riwayat Bung Karno tidak boleh dipentaskan ?"
Yang menyedihkan ialah bahwa seorang bapak bangsa seperti Bung
Karno, yang justru bisa muncul dengan agung dalam sebuah epos
yang tidak mengingkari seluruh kelemahan pribadinya dan
kekeliruannya yang manusiawi, telah tidak jadi sumber pelajaran
untuk masa datang. Hanya untuk mengulang teriakan masa lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini