Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepanjang 2015, meski diprediksi masih akan tumbuh sekitar 4,8 persen, warna perekonomian Indonesia didominasi ambrolnya nilai tukar rupiah. Sorotan pun mengarah ke kinerja Bank Indonesia dalam mengawal kebijakan moneter.
Masalahnya, keputusan bank sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve menunda kenaikan suku bunga tahun depan seperti memberi ruang spekulasi lebih panjang. Ditambah lagi ekonomi Cina yang terus melambat, situasi masih jauh dari nyaman bagi perekonomian kita untuk melaju lebih cepat. "Kondisi eksternal masih akan berperan terhadap stabilitas pasar keuangan dan stabilitas sistem keuangan," kata Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo kepada Tomi Aryanto, Yandhrie Arvian, Ayu Prima Sandi, dan Andi Ibnu dari Tempo, yang menemuinya pada Rabu malam akhir Oktober lalu.
Perekonomian tahun depan akan lebih baik atau bakal begini-begini saja?
Saya melihat 2016 akan lebih baik. Indikatornya adalah pertumbuhan ekonomi dunia dibandingkan dengan 2015. Pada awal 2015, ekonomi dunia diperkirakan tumbuh 4 persen, tapi dikoreksi terus sampai 3,1 persen. Tahun depan masih diyakini akan tumbuh 3,6 persen. Kondisi tersebut akan menjadi cerminan negara berkembang, termasuk Indonesia. Sementara pada dua kuartal pertama 2015 pertumbuhan ekonomi Indonesia 4,7 persen dan 4,67 persen, kami memprediksi pertumbuhan ekonomi di kuartal ketiga 4,85 persen. Dengan dasar seperti itu, saya bisa melihat pada 2016 pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih baik.
Dengan kondisi global dan tak menentunya kapan Federal Reserve menaikkan suku bunga, masih akan ada guncangan tahun depan?
Normalisasi kebijakan moneter di Amerika tentu sangat kami waspadai. Sebab, setelah tujuh tahun terakhir menahan suku bunga mendekati nol persen, akhirnya ada rencana The Fed menaikkan bunga. Tapi yang perlu diperhatikan juga adalah perkembangan Tiongkok. Selama sepuluh tahun terakhir rata-rata pertumbuhan ekonomi negara itu 10,4 persen. Tapi tiga tahun terakhir menurun, bahkan tahun ini bisa 6,8 persen. Kondisi ini perlu kita waspadai juga karena merupakan salah satu ekonomi terbesar dunia. Juga soal rencana internasionalisasi mata uangnya. Kalau mata uang Tiongkok dikelola secara independen, devaluasi seperti pada Agustus bisa terjadi lagi. Yang juga perlu diwaspadai adalah harga-harga komoditas yang tiga tahun terakhir ini menurun, termasuk komoditas andalan ekspor Indonesia.
Bagaimana mengantisipasi faktor eksternal seperti kondisi Cina itu?
Negara berkembang yang berhubungan dengan ekonomi Cina mungkin ada 30, terkait dengan perdagangan dan ekspor. Bagi negara yang hanya memiliki komoditas tunggal untuk diekspor, pasti sangat terasa dampaknya. Indonesia masih cukup beruntung karena punya berbagai komoditas: mineral, kelapa sawit, batu bara, dan lain-lain. Tapi secara umum kita akan terpengaruh. Kita harus merespons dengan membuka pasar ekspor baru. Harus bisa melaksanakan proses nilai tambah bagi komoditas Indonesia. Segera menyelesaikan negosiasi Free Trade Agreement dengan berbagai pihak, termasuk dengan Eropa, Asia Timur, Amerika Latin, dan Amerika Utara.
Artinya tekanan pada rupiah masih akan cukup besar tahun depan?
Bisa kami katakan kondisi eksternal masih akan berperan terhadap stabilitas pasar keuangan dan stabilitas sistem keuangan. Mengenai rupiah, itu memang bergantung pada kondisi eksternal dan domestik. Kami mengamati kondisi domestik sampai Oktober ini. Ada cukup banyak perbaikan fundamental ekonomi Indonesia. Kalau ini bisa diteruskan, tentu rupiah akan mempunyai daya tahan terhadap guncangan eksternal.
Bagaimana Anda melihat dampak paket kebijakan pemerintah terhadap penguatan rupiah?
Paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah itu baik dan saling melengkapi untuk melakukan upaya reformasi di sektor riil di Indonesia. Indikatornya inflasi dan transaksi berjalan yang mengalami perbaikan cukup signifikan. Tahun lalu inflasi masih 8,3 persen selama dua tahun. Sekarang proyeksi kami inflasi di bawah 4 persen. Untuk transaksi berjalan, akibat penurunan harga komoditas, dampaknya cukup berat, mencapai defisit US$ 29 miliar. Tapi defisit transaksi berjalan kami perkirakan bisa turun ke US$ 18 miliar. Kalau lihat inflasi membaik, transaksi berjalan membaik, ini semua akan membuat kondisi rupiah lebih terjaga.
Ada keluhan Bank Indonesia kurang agresif mendukung misi pertumbuhan ekonomi. Suku bunga acuan tak turun, meski inflasi rendah. Apa tujuannya?
Pada saat kondisi ekonomi dunia seperti sekarang, terjadi proses rebalancing ekonomi. Keputusan Amerika menormalisasi kebijakan moneter bakal memberikan risiko kepada Indonesia, yang selama tujuh tahun terakhir menikmati banyak dana masuk. Tapi, karena sampai sekarang belum ada langkah konkret, kami perlu mengantisipasinya. Jadi, kalau sekarang ini Indonesia harus mempunyai posisi moneter yang ketat, itu adalah untuk menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia. Ini lebih kita perlukan dibanding mengejar pertumbuhan ekonomi. Dengan kondisi yang serba tidak pasti di dunia, stabilitas sistem keuangan harus diutamakan. Pertumbuhan ekonomi penting. Tapi, kalau mau mengejar itu, harus yang berkesinambungan.
Artinya, ada perbedaan fokus antara pemerintah dan Bank Indonesia?
Tidak ada perbedaan visi atau pemahaman antara Bank Indonesia dan pemerintah. Dan ini juga terjadi pada periode pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada pertengahan Mei 2013, diumumkan Federal Reserve melakukan tapering (mengurangi stimulus). Dalam waktu dua bulan, pemerintah dan Bank Indonesia sepakat menstabilisasi makroekonomi sebelum mengejar pertumbuhan. Bank Indonesia merespons dengan menaikkan kebijakan bunga dari 5,75 ke 7,5 persen dan menstabilisasi nilai tukar rupiah dengan memperkenankan pelemahan nilai tukar selama 2013.
Hasilnya, pada 2014, Indonesia stabil, ditandai masuknya dana dari luar sebanyak Rp 180 triliun. Pada tahun itu, nilai tukar pun depresiasinya relatif kecil, cuma 1,8 persen. Tahun ini rupiah turun 9 persen. Tapi itu masih lebih baik dibanding Brasil, Turki, Rusia, dan negara-negara tetangga.
Koordinasi dengan pemerintah berjalan, baik dalam bentuk roundtable policy dialog, rapat sidang kabinet terbatas di Istana, maupun Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan.
Sektor apa yang masih menjadi penggerak ekonomi tahun depan?
Sekarang ini pertumbuhan ekonomi didukung banyak unsur. Ada konsumsi domestik, belanja pemerintah, dan investasi. Tapi sisi investasi swasta belum cukup berperan. Kami meyakini peran investasi nonpemerintah akan cukup besar tahun depan. Dan didukung konsumsi domestik, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih baik. Tahun depan kami perkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,1-5,5 persen.
Adakah momentum khusus pada tahun depan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi?
Kalau saya memandang, apa yang dilakukan pemerintah itu baik dan sesuai dengan harapan. Itu ditandai dengan dilakukannya perbaikan sistem subsidi energi, pada 2014, dengan menghilangkan subsidi Premium. Itu tepat, sehingga ruang fiskal lebih luas. Penghematan pada 2015 mencapai Rp 200 triliun. Upaya melakukan penghilangan peraturan-peraturan yang tidak efisien sudah di jalur yang betul. Langkah-langkah perbaikan di infrastruktur dilakukan secara agresif dan perlu untuk mengundang investasi asing.
Ada kekhawatiran peningkatan risiko akibat meningkatnya utang luar negeri swasta?
Indonesia belajar dari krisis Asia 1997-1998, yaitu dengan Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang Perbendaharaan Negara, yang mengatur defisit fiskal Indonesia tidak boleh lebih dari 3 persen dan utang tidak boleh lebih dari 60 persen terhadap produk domestik bruto. Soal utang luar negeri meningkat, itu bisa dipahami. Yang penting utang itu digunakan untuk kegiatan produktif. Bank Indonesia sudah mengantisipasi ini dengan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia pada 2014 yang mengatur hedging minimum, rasio likuiditas minimum, serta rating minimum perusahaan. Hasil monitoring sampai Oktober, dari 1.600 perusahaan yang berutang, 75 persen sudah taat asas itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo