Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARTA karun Bank Century tak hanya ada di Bank Dresdner, Swiss. Sejak pertengahan tahun lalu, pemerintah sebenarnya sudah mengantongi daftar panjang kekayaan bank yang kini berganti nama jadi Bank Mutiara itu. Nilai totalnya lebih dari US$ 685 juta alias hampir Rp 7 triliun, tersebar di 13 negara.
”Kami bekerja sejak Juni 2009,” kata Arif Havas Oegroseno, anggota tim bersama pengembalian aset Bank Century, dua pekan lalu. Sebagai Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri, Arif tahu betul lika-liku proses pelacakan aset Century. Dialah ujung tombak negosiasi pembekuan jutaan dolar fulus haram milik para eks pemilik bank salah urus itu. Arif kini Duta Besar Indonesia untuk Uni Eropa. ”Kami minta semuanya dibekukan dan dikembalikan kepada kita,” katanya.
Tim itu dibentuk oleh Kantor Menteri Koordinator Perekonomian dengan tujuan tunggal: melacak harta bekas pemilik Bank Century di seberang lautan. Selain diplomat di Pejambon, tim ini beranggotakan pejabat Mabes Polri, Kejaksaan Agung, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pos komando mereka ada di kantor Biro Bantuan Hukum Kementerian Keuangan di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Perburuan itu berawal dari kecurigaan polisi melihat banyaknya anggota keluarga Robert Tantular, salah satu pemegang saham utama Bank Century, yang lari ke luar negeri. Aparat lalu minta bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan untuk melacak pergerakan transaksi mereka. Setelah data administrasi dan lokasinya didapat, polisi minta bantuan tim terpadu untuk menarik aset-aset itu lewat perjanjian mutual legal assistance.
Aset Bank Century di luar negeri sebagian besar dikuasai dua pemilik lamanya: Hesham al-Warraq dan Rafat Ali Rizvi, serta perusahaan milik mereka yang jadi pemegang saham Century: First Gulf Asia Holdings. Menurut Arif Havas, pemerintah menemukan jejak setumpuk harta Hesham dan Ravat di Luksemburg, Mauritius, Australia, Swiss, dan Hong Kong. Di negara asal keduanya—Uni Emirat Arab dan Inggris—data tentang harta dua buron polisi Indonesia ini juga lengkap. ”Ada yang berupa saham kepemilikan bank, polis asuransi, dan perusahaan,” kata Arif.
Di Luksemburg, misalnya, Rafat Ali dan Hesham diduga memiliki 11,5 persen saham kepemilikan sebuah bank. Adapun di Bahama, Rafat memiliki polis asuransi senilai US$ 7 juta. Polis lainnya ada di Jersey bernilai US$ 1 juta.
Dalam laporan Komisaris Jenderal Susno Duadji ke Panitia Khusus Bank Century, akhir tahun lalu, ihwal pengembalian aset ini juga dijelaskan dengan detail. Sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri saat itu, Susno memang terlibat penuh dalam urusan kejar-kejaran harta karun ini.
Kepada anggota yudikatif, Susno menjelaskan bahwa dana terbesar milik Hesham dan Rafat Ali sebenarnya ada di Hong Kong. Nilainya mencapai Rp 11,64 triliun alias lebih dari US$ 1 miliar. Dalam laporannya, terperinci bahwa duit sebesar itu ada di tiga bank: Standard Chartered Bank, ING Bank of Hong Kong, dan UBS AG Bank. Tidak semuanya berupa uang tunai. ”Yang disebut Susno itu sebagian besar berupa surat berharga,” kata sumber Tempo di Kejaksaan Agung.
Misalnya saja ada surat-surat berharga senilai US$ 385 juta atas nama Hesham di Bank of Hong Kong. Juga ada surat utang di Standard Chartered senilai US$ 650 juta atas nama First Gulf Limited. Fulus di rekening juga ada, tapi jumlahnya ”hanya” US$ 3 juta, atas nama Arlington Assets Investments Ltd., sebuah perusahaan yang dimiliki Rafat.
Arif Havas mewanti-wanti, nilai surat-surat berharga ini amat tergantung pasar. ”Nilainya bisa US$ 1 miliar, besok bisa US$ 1, naik-turun,” katanya tertawa. Tapi itu baru dari Rafat dan Hesham. Duet pemilik Antaboga, Robert Tantular dan Hartawan Aluwi, punya harta US$ 3,5 juta di Hong Kong. ”Itu juga kita minta untuk dibekukan,” kata Arif.
Mungkin karena jumlahnya yang paling besar itulah, tim terpadu pengembalian aset Bank Century memfokuskan usahanya untuk menarik dana di Hong Kong. Akhir Juli lalu, satu tim yang dipimpin Wakil Jaksa Agung Darmono terbang ke sana untuk melanjutkan negosiasi. ”Memang Hong Kong yang paling kooperatif dengan kita,” kata Darmono, dua pekan lalu.
Namun prosesnya tentu tak gampang. Menurut Arif Havas Oegroseno, sekarang persoalannya ada di pembuktian. ”Ini sudah urusan pengadilan,” katanya. Apalagi Rafat Ali dan Hesham tak tinggal diam. Mereka kini menggugat bank-bank di Hong Kong yang membekukan aset mereka.
Karena itulah, awal tahun ini, Kejaksaan Agung cepat-cepat melimpahkan berkas dakwaan atas Hesham dan Rafat ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Keduanya kini diadili secara in absentia atas tuduhan korupsi. Sidang sekarang sudah memasuki proses pemeriksaan saksi. ”Putusan atas kasus ini bisa menjadi alat kami untuk menarik aset mereka di Hong Kong,” kata sumber Tempo di Kejaksaan Agung.
Tentu tim pemburu aset ini tidak berhenti di Hong Kong. Sedikitnya, ada lima negara yang merespons positif permintaan kerja sama pengembalian aset tim ini. Selain dari Hong Kong, lampu hijau datang dari Inggris, Prancis, Australia, dan Singapura. Utusan-utusan khusus tim terpadu pun sudah dikirim menemui aparat hukum di empat wilayah itu. Satu tim menemui pejabat Serious Fraud Office (SFO) di London, Inggris, kemudian menyeberang ke Bailiwick Jersey, untuk mengadakan rapat dengan jaksa di sana.
Menurut sumber Tempo, salah satu materi negosiasi adalah pentingnya penggunaan instrumen Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Konvensi itu mengharuskan semua negara penanda tangan untuk bekerja sama dalam proses asset recovery semacam ini. Menurut Susno dalam laporannya ke DPR, tim terpadu sendiri menerima bantuan staf ahli dari kantor perwakilan PBB di Jakarta.
Jumlah aset di empat negara itu tak sedikit. Di Singapura, misalnya, pemerintah mengejar isi rekening Rafat Ali di ING Asia Private Bank Ltd. sebesar S$ 30 ribu. Rekening istri Robert Tantular, Tan Chi Fang, di United Overseas Bank, yang baru saja menerima transfer jutaan dolar dari Everich Holdings Ltd., Inggris, juga diincar. Bahkan rekening 58 ribu pound sterling di Inggris juga diminta kembali. ”Itu memang recehan, tapi tidak apa-apa,” kata Arif Havas.
Sayangnya, sama seperti sengketa duit triliunan rupiah milik Bank Century di Bank Dresdner, upaya pengembalian aset ini juga tak dikoordinasi dengan rapi. Seorang jaksa di Gedung Bundar mengeluh ada tumpang-tindih kewenangan antara tim pemburu koruptor yang dikepalai Wakil Jaksa Agung dan tim penyidik di bawah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. ”Mereka sering mengadakan rapat tanpa kami,” katanya kesal.
Akibatnya, sudah setahun berlalu, belum ada satu pun aset yang kembali. ”Padahal kebanyakan aset itu baru dibekukan sementara untuk periode 6-12 bulan,” katanya. ”Kalau tidak ada respons lagi dari kita, semua perintah pembekuan itu bisa kedaluwarsa.”
Wahyu Dhyatmika, Setri Yasra, Purwani Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo