Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bali bagi banyak fotografer dunia adalah surga visual yang menawarkan keindahan warna, baik manusia maupun panorama alamnya. Sudah ratusan bahkan mungkin ribuan fotografer dunia mencoba mengolahnya, tapi John Stanmeyer, 46 tahun, mencoba lain.
Ia menggunakan kamera Holga, kamera yang sedang populer bagi pencinta pop art karena mampu menghasilkan efek low-fi, blur, distorsi, vignetting, light leak, atau efek cahaya yang bocor di setiap frame. Namun ia tidak menggunakan Holga sebagaimana anak-anak muda dengan kacamata tren budaya pop. Ia tidak terseret nuansa tren kamera pop ini.
”Saya menggunakan Holga justru karena saya ingin menjadikan setiap perspektif dalam frame foto saya tetap memunculkan kekunoan Bali, yang tak lekang oleh waktu,” ujar Stanmeyer.
Di tangan Stanmeyer, kamera Holga justru bisa menjadi sebuah penjaga waktu. Lihatlah foto Tanah Lot: seorang wanita menari dalam sebuah prosesi adat dengan gaun kebaya tradisional Bali berwarna putih. Kita melihat sekilas melintas wajah Bali masa lalu, tapi apa yang terjadi adalah sesuatu di masa kini. Pada bagian foto inilah seakan Stanmeyer menginjakkan satu kaki pada masa lampau dan satu kaki di masa kini.
John Stanmeyer di dunia fotografer dikenal banyak menyuguhkan gambar dramatis penderitaan di berbagai belahan dunia. Fotografer peraih World Press Photo 1999 dan Robert Capa Award 2000 ini terbiasa berdiri di banyak perang dan tempat hilangnya kemanusiaan.
Kini, dengan kamera Holganya, ia seakan keluar dari sebuah pertapaan panjang di Bali dan menyajikan foto-foto tradisi penuh jiwa.
”Kamera Holga tak ubahnya Leica bagi saya. Kamera ini berukuran 6 x 6, jauh sekali dengan kamera format 35 mm. Saya akui kamera ini sangat baik bila kita mampu menggunakannya.”
Apa yang menjadi materi Island of the Spirits oleh fotografer yang bergabung dalam VII Photo Agency ini ibarat sebuah reportase jurnalis yang mendalam. Ia benar-benar tenggelam dalam studi antropologi yang berkembang dalam tradisi Hindu Bali. Ia menyamakan proses yang dijalani layaknya membuat sebuah teori dalam program ”doktoral”. Teori-teori ia gali sendiri dari sosiologi kultural budaya adat setempat.
Totalitasnya memang luar biasa. Untuk melahirkan frame-frame hitam-putih dalam buku ini, ia rela menceburkan badannya ke dalam sungai saat harus mengabadikan wanita Bali yang berjalan di atas jembatan sambil membawa sesaji. Dengan sangat dalam ia berusaha membukakan jendela agar kita melihat tradisi Hindu Bali abad kuno, Bali yang benar-benar jauh dari modernitas. Liar tapi masih dalam koridornya, begitu mungkin apa yang hendak ia sampaikan.
Tengoklah sekumpulan laki-laki Bali yang mandi di tepian sungai tanpa sehelai kain pun atau sebuah tarian yang menggambarkan helat perkelahian dalam suatu tarian yang dilakukan oleh dua laki-laki. Kita diajaknya masuk dan terlempar seperti dalam kancah perang di masa kuno, zaman Hindu lama, di Bali.
Selama lima tahun ia menghabiskan waktu mengejar tradisi yang tercecer di setiap pelosok Bali yang awalnya sangatlah asing baginya. Dengan bantuan Lisa Botos, editor foto majalah Time, dan Oscar Motuloh dari Galeri Foto Jurnalistik Antara, ia menyeleksi sekitar 500 foto.
Island of the Spirits tidak ia cetak di negerinya, Amerika Serikat, meski ia sadar akan memperoleh kualitas terbaik. Ia memilih mencetak buku foto eksklusif ini di Jakarta.
Ketekunan fotografer ini tidak hanya dalam proses memotret dan menggali keakuratan informasi dari setiap foto yang ia hasilkan. Hingga proses akhir pencetakan bukunya, ia ikut menunggui selama tiga minggu di Jakarta. Ia sempat membuang cetakan pertama Island of the Spirits ke tempat sampah karena kesalahan dalam kontrol kualitas warna hitam dan putih, yang pekat, saat pencetakan.
Bismo Agung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo