Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hanya Api Semata Api

Kebakaran hutan dan lahan kembali terjadi di berbagai wilayah. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyegel lahan 52 perusahaan yang terbakar. Sebagian di antaranya terlibat dalam kebakaran besar pada 2015. Kebakaran juga terjadi karena restorasi gambut tak berjalan optimal. Diperingatkan soal potensi kebakaran sejak Februari lalu, pemerintah terlambat mengantisipasi.

21 September 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah petugas pemadam kebakaran berupaya memadamkan api di Taman Nasional Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, 14 September 2019. Reuters

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JELAGA hitam menyelimuti sebagian lahan PT Teguhkarsa Wanalestari di Desa Buantan Besar, Kabupaten Siak, Riau, pada Rabu, 18 September lalu. Di berbagai penjuru, batang dan ranting pohon tumbang dan terserak tanpa daun. Bau rumput gosong meruap di area kebun sawit itu.

Kebakaran hebat melanda lahan tersebut pada pertengahan Agustus lalu. “Penduduk sini terpaksa mengungsi,” ujar Sudirman Ritonga, 39 tahun, warga yang tinggal di sekitar lahan. Gubuk dan lahan miliknya yang berjarak tak sampai 50 meter dari tepi lahan memang masih utuh, tapi bisa tersambar api kapan saja. Sudirman dan sejumlah penduduk sekitar yang ditemui Tempo tak mengetahui asal-muasal api. “Tiba-tiba saja api sudah membesar.”

Ketua Masyarakat Peduli Api di Kecamatan Bunga Raya, Ucu Sukarto, mengaku dihubungi penduduk sekitar lokasi saat api sudah meluas. Menurut Ucu, tim pemadam kebakaran tak mampu menaklukkan kobaran api di wilayah gambut tersebut karena tak ada akses ke sumber air, seperti sungai atau kanal. Dengan ember dan slang, penduduk ikut membantu dengan menyiramkan air dari parit. “Kami padamkan sekenanya saja,” ujarnya. Tapi, di lahan gambut, api me-rembet lebih cepat.

Api di wilayah itu mulai padam setelah hujan buatan turun dua kali dalam dua pekan terakhir. Namun, saat Tempo bertandang ke sana, langit Desa Buantan Besar yang terletak di Kecamatan Bunga Raya itu masih terlihat kelabu, dengan angin menerbangkan jerubu yang memedihkan mata. Di satu lokasi gambut yang sudah mendingin, terpancang pita kuning sepanjang tiga meter milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kondisi ahan PT Teguhkarsa Wanalestari di Desa Buantan Besar, Kabupaten Siak, Riau, September 2019. TEMPO/Hilman Faturahman W

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani mengatakan pita kuning dipasang sebagai tanda penyegelan lahan. Tapi dia enggan menyebut identitas lengkap perusahaan yang lahannya disegel. “Kami masih menyelidiki ada tindakan pidana atau tidak dalam kebakaran tersebut,” ujar Rasio. Hingga Jumat pekan lalu, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum telah menyegel lahan milik 52 perusahaan dan seorang individu di Sumatera dan Kalimantan. Menurut Rasio, jumlahnya mungkin bakal terus bertambah.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat hutan dan lahan yang terbakar sepanjang tahun ini mencapai 328 ribu hektare. Walhasil, asap menyebar ke berbagai wilayah, bahkan hingga Singapura, Malaysia, dan Thailand. Kabut asap juga mengakibatkan sekolah di sejumlah provinsi diliburkan dan penerbangan terganggu. Adapun luas lahan yang terbakar di lahan konsesi lebih dari 9.000 hektare.

Kondisi serupa melanda Indonesia pada 2015. Saat itu, ada sekitar 2,6 juta hektare hutan dan lahan yang terbakar. Hasil riset Bank Dunia yang dirilis pada Februari 2016 menunjukkan kerugian mencapai US$ 16,1 miliar atau sekitar Rp 221 triliun. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjatuhkan sanksi kepada 63 perusahaan yang terlibat kebakaran. Tiga di antaranya dicabut izinnya. Kementerian juga menggugat perdata 17 perusahaan. Perkara yang melibatkan sembilan perusahaan sudah berkekuatan hukum tetap. Total nilai yang harus diganti mereka mencapai Rp 3,9 triliun.

Nyatanya, sanksi itu belum menimbulkan efek jera. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Riau, Riko Kurniawan, mengatakan titik api masih berpendar di perusahaan yang sama. Pemantauan lembaga pemerhati lingkungan lainnya, Auriga Nusantara, menemukan hal serupa. Berdasarkan pantauan satelit sejak 2014 hingga September 2019, titik panas selalu muncul di lebih dari 300 perusahaan. “Kami memantau titik panas yang tingkat kepercayaannya di atas 80 persen,” ujar peneliti Auriga, Syahrul Fitra. Menurut Syahrul, banyak di antara per-usahaan itu merupakan perseroan besar.

Salah satunya PT Riau Andalan Pulp and Paper. Pada 2014, tercatat 360 titik panas di lahan milik RAPP. Setahun berikutnya, ada 107 titik. Lalu jumlahnya menurun menjadi 23 dan 2 titik selama dua tahun berikutnya. Tahun lalu, tak tercatat titik panas di perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto—pada 2018 menjadi orang terkaya nomor 25 versi majalah Forbes—itu. Tapi tahun ini kembali muncul 19 titik panas. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diperoleh Tempo menunjukkan lahan yang terbakar di area RAPP di Siak mencapai sekitar 50 hektare.

Rasio Ridho Sani. TEMPO/Nurdiansah

Direktur Corporate Affairs Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) Group, perusahaan induk RAPP, Agung Laksamana, mengatakan kebakaran di area konsesi RAPP terjadi di wilayah yang diokupasi dan digarap penduduk sekitar. “Api merambat dari wilayah di luar area konsesi,” ujarnya. Agung mengklaim perusahaannya sudah mencoba mengantisipasi kebakaran. Menurut dia, APRIL Group mengucurkan US$ 9 juta buat mencegah kebakaran, antara lain untuk dua helikopter, menara pengintai, pompa air, dan pelatihan pemadaman di 39 desa di Riau. “Kami juga memiliki 260 pemadam kebakaran profesional.”

Perusahaan yang terafiliasi dengan RAPP, PT Sumatera Riang Lestari, juga terdeteksi menghasilkan titik panas. Pada 2014, jumlah titik mencapai 549 dan setahun berikutnya 99 titik. Akhir 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengumumkan pembekuan izin Sumatera Riang akibat terlibat kebakaran hutan. Meski izin perusahaan dibekukan, titik panas masih terlihat selama empat tahun berikutnya. Tahun ini, jumlah titik panas di wilayah perusahaan yang dalam akta pendiriannya juga dimiliki Polar Yanto Tanoto—adik Sukanto—ini meningkat menjadi hampir 200. Sejak 2014, ada lebih dari 900 titik panas di lahan Sumatera Riang. Berdasarkan data Kementerian, luas lahan Sumatera Riang yang terbakar tahun ini mencapai sekitar 700 hektare.

Manajer Hubungan Masyarakat PT Sumatera Riang Lestari, Abdul Hadi, mengklaim perusahaannya justru aktif mencegah kebakaran hutan. Caranya adalah mengadakan program desa bebas api di sekitar wilayah konsesi. “Kami juga tak pernah menanam sawit di area yang pernah terbakar,” ujar Abdul Hadi.

Ihwal titik panas di kawasan Sumatera Riang yang muncul setelah perusahaan itu dibekukan, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani mengaku belum mengetahuinya. Menurut dia, bisa jadi pembekuan dicabut setelah perusahaan itu memenuhi kewajibannya. Kini, Kementerian telah menyegel lahan Sumatera Riang yang terbakar. Rasio mengatakan, meskipun ada titik panas di wilayahnya, belum tentu perusahaan itu bersalah. “Ada tahap penyelidikan, penyidikan, dan penetapan tersangka. Nanti akan dibuktikan di pengadilan,” ujar Rasio.

Untuk kebakaran tahun ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan lima perusahaan sebagai tersangka pembakaran hutan. Dua di antaranya PT Arrtu Borneo Perkebunan dan Arrtu Borneo Resources. Kedua perusahaan itu dimiliki PT Eagle High Plantations, perusahaan yang dimiliki PT Rajawali Corpora—perusahaan yang sahamnya dipunyai pengusaha Peter Sondakh—dan Felda, perusahaan asal Malaysia. Berdasarkan pemetaan Auriga Nusantara, di lahan Arrtu Energie Resources tahun ini muncul 143 titik panas.

Peter tak menjawab pertanyaan yang diajukan Tempo. Begitu pula Sekretaris Perusahaan Eagles High Plantations Satrija Budi Wibawa. Wakil Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Togar Sitanggang membantah kabar bahwa anggota asosiasinya terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan. “Untuk apa kami membakar investasi kami sendiri?” ujarnya.

Kabut asap di Desa Tuah Indrapura, Kabupaten Siak, Riau, 18 September 2019. TEMPO/Hilman Faturahman W

Togar menyalahkan penduduk sekitar perkebunan yang kerap membakar lahan. Menurut dia, pembakaran itu akhirnya merembet ke perkebunan milik perusahaan. “Dengan musim kemarau panjang dan angin kencang, akhirnya timbul kebakaran. Yang mudah disalahkan ya perusahaan sawit.” Tapi Rasio Ridho Sani mengatakan tak tertutup kemungkinan perusahaan membakar sendiri lahannya. “Alibinya memang begitu, tidak mungkin membakar lahan sendiri. Tapi bisa saja mereka membakar untuk mengganti tanaman yang kualitasnya jelek,” ujar Rasio.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo mengatakan hampir semua kasus kebakaran hutan terjadi karena kesengajaan. Menurut dia, 99 persen penyebab kebakaran adalah manusia—sisanya alam. “Mayoritas pelaku menerima bayaran,” ujar Doni. Senada dengan Doni, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Raffles B. Panjaitan mengatakan bisa saja perusahaan membayar orang untuk membakar lahannya. Setelah itu, perusahaan menikmati hasilnya. “Biasanya, setelah terbakar, ditanami sawit atau berubah menjadi perumahan.”

Tempo menemui seorang pelaku pembakaran lahan yang mengaku sudah bertobat. Abdul, bukan nama sebenarnya, warga Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelala-wan, Riau, mengatakan selalu menggunakan obat nyamuk bakar yang pangkalnya diberi batang korek api berlumur minyak tanah atau bensin. Saat situasi sepi, obat nyamuk berbentuk spiral itu diletakkan di lahan gambut kering. Ketika api melalap gambut dan serasah di sekitarnya, dia sudah berada di rumah.

Cara itu jauh lebih murah dan cepat untuk membuka lahan. Jika menyewa alat berat, kata Abdul, biayanya Rp 600 ribu per jam atau Rp 7 juta dengan sistem borongan per hektare. Menurut dia, cara ini jamak dilakukan peladang ataupun mereka yang bekerja di perusahaan sawit.

BADAN Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika sesungguhnya sudah mengingatkan soal potensi kebakaran hutan pada Februari lalu. Saat itu, BMKG memantau minimnya curah hujan dan kemunculan titik panas di sejumlah wilayah. Sebulan berselang, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo juga mengingatkan bahwa faktor El Nino—memanasnya suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah hingga timur—bakal meningkatkan potensi kebakaran hutan. Jika itu terjadi, kata Doni di Bandung, BNPB bakal kesulitan memadamkan api, terutama di wilayah gambut.

Setelah kebakaran hebat 2015, pemerintah menempatkan perlindungan dan pemulihan ekosistem gambut sebagai prioritas. Pemerintah pun membentuk Badan Restorasi Gambut pada Januari 2016. Perusahaan yang memanfaatkan lahan gambut diwajibkan merestorasi gambut yang rusak. Tapi tahun ini kebakaran di wilayah gambut tetap terjadi. Dari 328 ribu hektare hutan dan lahan yang terbakar, hampir 90 ribu di antaranya di area gambut.

Sejumlah lembaga pemerhati lingkungan yang ditemui Tempo, yaitu Auriga Nusantara, Greenpeace, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, dan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau, sama-sama meyakini program restorasi gambut lebih bersifat retorika. Walhi Riau bersama World Wildlife Fund (WWF) dan Jikalahari menemukan tiga perusahaan tetap menanam akasia dan sawit di bekas lahan gambut yang terbakar pada 2018. Padahal, sesuai dengan peta Badan Restorasi Gambut serta regulasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, area itu wajib dipulihkan dan tidak boleh ditanami tumbuhan industri.

Kepala BRG Nazir Foead mengatakan restorasi gambut belum maksimal. Menurut dia, BRG hanya bisa mengawasi pemulihan di luar wilayah konsesi. Masalah-nya, restorasi membutuhkan waktu lama. “Di Jepang saja, untuk pemulihan 300 hektare, dibutuhkan waktu sepuluh tahun supaya wilayah gambut kembali basah,” ujar Nazir. Untuk menumbuhkan kembali tanaman di atasnya, dibutuhkan ratusan tahun. Adapun pembakaran lahan gambut hanya membutuhkan waktu sekejap. Gambut, kata Nazir, juga mudah terbakar meski tak dipicu api, seperti jika ada panas berlebihan. Itulah sebabnya dibutuhkan tanaman tutupan di atasnya.

Tak hanya mempersoalkan restorasi gambut, para pegiat lingkungan menilai pemerintah terlambat mengantisipasi kebakaran. “Dengan kemarau panjang seperti sekarang, seharusnya pemerintah daerah dan pusat lebih sigap mencegah kebakaran,” ujar Direktur Walhi Riau, Riko Kurniawan.

Kesempatan untuk mencegah terjadinya kembali kebakaran sebenarnya terhampar luas. Pada 22 Maret 2017, Pengadilan Negeri Palangka Raya menyatakan pemerintah melakukan perbuatan melawan hukum dalam kebakaran 2,6 juta hektare hutan dan lahan pada 2015. Pengadilan meminta pemerintah antara lain menerbitkan peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan ini penting untuk mencegah dan menanggulangi kobaran api.

Pemerintah justru mengajukan permohonan banding, lalu kemudian kasasi, atas gugatan yang dilayangkan masyarakat tersebut. Di dua tingkat pengadilan itu, majelis hakim juga menyatakan pemerintah keliru. Alih-alih menjalankan putusan, pemerintah malah mengajukan permohonan peninjauan kembali pada Juli lalu.

Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup Raffles B. Panjaitan menyebutkan lembaganya sudah mengantisipasi kebakaran hutan sejak Februari lalu. Salah satunya dengan menyiapkan helikopter pemadam di Riau, yang dianggap berpotensi mengalami kebakaran. “Waktu itu kebakaran bisa langsung padam karena kemaraunya tidak seperti sekarang,” ujar Raffles. Menurut dia, kebakaran cepat meluas antara lain karena pemerintah daerah terlambat menetapkan status siaga.

Kepala Bidang Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Riau Jim Gofur membantah info bahwa daerahnya terlambat menetapkan status siaga. Menurut dia, status itu sudah ditetapkan sejak Februari 2019. “Pada awal tahun memang sudah terjadi beberapa kasus kebakaran,” kata Jim. Dia menilai helikopter pemerintah pusat terlambat datang untuk memadamkan api. Setelah api membesar sekitar Juli-Agustus, “Baru ada penambahan helikopter,” ucapnya.

Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas di Pekanbaru, Riau, Senin, 16 September lalu, menyayangkan perangkat pemerintah daerah dan pusat yang tak berfungsi optimal. “Kita lalai sehingga asapnya membesar,” ujar Presiden.

PRAMONO, DEVY ERNIS, ANDITA RAHMA (JAKARTA), RAYMUNDUS RIKANG (SIAK, PEKANBARU)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Stefanus Pramono

Stefanus Pramono

Bekerja di Tempo sejak November 2005, alumni IISIP Jakarta ini menjadi Redaktur Pelaksana Politik dan Hukum. Pernah meliput perang di Suriah dan terlibat dalam sejumlah investigasi lintas negara seperti perdagangan manusia dan Panama Papers. Meraih Kate Webb Prize 2013, penghargaan untuk jurnalis di daerah konflik, serta Adinegoro 2016 dan 2019.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus