Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hari-hari terakhir al-hallaj

Sufi terkenal di baghdad, dihukum pancung semasa pemerintahan khalifah al-muqtadir. pada abad x, dipersalahkan telah mengajarkan pengertian-pengertian yang menimbulkan perbedaan pendapat di baghdad.(sel)

17 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM perlawatanan rohani dari planet ke planet, seorang penyair dari bumi singgah di daerah Yupiter. Di sana dia bertemu dengan tiga roh suci. Meski terbilang suci, ketiga roh itu tidak tinggal di surga. Mereka lebih suka mengembara selamanya. "Kenapa tuan-tuan tidak tinggal di surga bersama para mukmin yang lain?" tanya sang penyair. "Manusia bebas seperti kami," jawab salah satunya, "tak mungkin rohnya ditempatkan di surga. Surga para kiai ialah anggur dengan para pelayan dan bidadari, surga kami ialah pengembaraan abadi. Surga para mullah ialah makan, tidur dan bernyanyi, surga kami merenungi hidup ini." Itu sebuah adegan dalam drama-puisi Iqbal, Javid-nama, terbit 1932 dalam bahasa Parsi. Dalam karya itu Iqbal menempatkan diri sebagai penyair dari bumi itu, dengan nama Zinda-Rud (Arus Yang Hidup) -- nama sebuah sungai besar di Isfahan, Iran. Roh yang menjawab pertanyaan penyair itu roh Al-Hallaj -- sufi terkenal yang dihukum mati di Baghdad semasa pemerintahan Khalifah Al-Muqtadir di abad X Masehi. Ia dipersalahkan telah mengajarkan pengertian-pengertian seperti fana' fillah (musnah dalam Allah) dan anal-Haq -- akulah Al-Haq (Tuhan) dan yang seperti itu. Bahwa Al-Hallaj digambarkan sebagai roh suci, yang "tidak tinggal di surga", menunjukkan penilaian tertentu Iqbal, penyair yang barangkali pemikir terpenting dunia Islam abad ini -- dan "arsitek" negara Islam Pakistan. Seperti itu juga penilaian terhadap dua "roh" lain: Tahira, penyair wanita Persia yang juga dihukum mati, tahun 1852, dan Ghalib, penyair berbahasa Parsi di India, 1797-1869. Tokoh-tokoh kontroversial. Seperti juga Muhyidin Ibnul Arabi (11651240), sufi Spanyol yang terkenal dengan karyanya Turjumanul Asywaq (Terjemahan Rindu), yang banyak menimbulkan debat lantaran temanya yang erotik dan sekaligus esoterik. Atau seperti Syeh Siti Jenar di Jawa yang dihukum mati. Atau seperti juga Hamzah Fansuri bersama muridnya Syamsuddin as-Samtrani di Aceh di pertengahan kedua abad ke-16, para penganut tarekat Wujudiyah (emanasi) yang mendapat tantangan sengit Nuruddin ar-Raniri, sehingga buku-buku karangan mereka disuruh bakar. Dari Akhbar al-Hallaj (Berita tentang Al-Hallaj) dan sumber-sumber lain, seperti diterjemahkan Eric Schroeder dalam bahasa Inggris, bisa didengar beberapa kesaksian tentang sufi tersebut di hari-hari terakhir hidupnya. Ajaran Al-Hallaj menimbulkan perbedaan pendapat yang sengit di Baghdad. Sebagian orang lantas memuliakannya sebagai orang suci, sebagian yang lain mengutuknya sebagai orang yang ingkar Tuhan -- kafir. Bagaimana tanggapan Al-Hallaj sendiri, bisadidengar dari kesaksian Ibrahim ibn Fatik, khadamnya. Suatu hari Ibn Fatik masuk ke bilik Al-Hallaj. Sang sufi sedang bersujud. Seuntai doa ia ucapkan. Setelah itu, melihat Ibn Fatik, sang sufi menyuruhnya datang mendekat. "Sini," katanya. "Kau tidak mengganggu." Ibn Fatik duduk di hadapannya. Mata sang sufi menyala bagai bara. "Nak," katanya kepada si khadam, "kudengar orang-orang meributkan aku. Sebagian mengatakan aku ini orang suci. Sebagian lagi mengatakan aku telah ingkar Tuhan. Aku lebih suka yang kedua itu. Begitu pula Tuhan." "Mengapa begitu, Guru?" "Yah, yang mengatakan aku orang suci adalah mereka yang takzim kepadaku. Tetapi mereka yang mengatakan aku mengingkari Tuhan adalah mereka yang begitu gigih mencintai agama mereka. Orang yang gigih mencintai agamanya lebih berharga bagiku, dan bagi Tuhan pula, ketimbang orang yang mengagungkan sesama makhluk. Bagaimana pendapatmu sendiri nanti, pada hari kau lihat aku di tiang gantungan, dihukum mati, dan dibakar? Namun itulah hari paling bahagia dalam hidupku selama ini." Kemudian katanya cepat: "Nah, sekarang pergilah dalam rahmat Allah." Ada lagi kesaksian dari sumber yang tidak disebut. Peristiwanya konon terjadi di Masjid al-Mansur. Suatu hari, Al-Hallaj masuk ke masjid itu dan berseru: "Berkumpullah, dan dengarkan apa yang mesti kukatakan pada kalian." Jemaat yang besar berkumpul: para pencinta, pengikut, pembenci. "Kalian mesti tahu ini," katanya. "Tuhan telah menakdirkan aku terkucil dari hukum kalian. Maka bunuh aku." Orang-orang di antara para jemaat mulai menangis. Tapi Abdul Wadud, juga sufi, mendekat berkata, "Syekh mana mungkin kami membunuh orang yang mengerjakan sembahyang, puasa dan mengaji?" "Syekh," jawab Al-Hallaj, "sembahyang, puasa dan membaca Quran tak ada sangkut-pautnya dengan alasan untuk tidak mengalirkan darahku. Kenapa kalian tidak membunuhku? Kalian akan mendapat pahala, dan aku kedamaian. Bagi kalian itu perang sabil, bagiku mati syahid." Menurut penuturan Abdul Wadud sendiri, ketika Al-Hallaj meninggalkan masjid itu dia mengikutinya pulang dan berkata kepadanya: "Syekh, yang anda katakan tadi membingungkan kami." "Nah," sahut Al-Hallaj, "tiada kewajiban yang lebih mendesak bagi orang muslim saat ini daripada menghukum mati diriku. Ingatlah, kematianku akan menyelamatkan kesucian Hukum Ilahi siapa telah melanggarnya harus menanggung akibatnya." Kemudian kesaksian dari sebuah sumber menuturkan hal lain. Di satu saat, setelan mendengar apa yang disampaikan Al-Hallaj dalam khotbahnya, Ibn Dawud, ulama fiqh, berpendapat kata-kata si guru, sebagai orang muslim, berlawanan dengan kebenaran yang telah dibawa Nabi Muhammad. Jadi terhitung dusta. "Kareha itu," katanya, "secara sah dia bisa dihukum mati." Tapi ketika kemudian perintah penahanan terhadap Al-Hallaj diberikan oleh Ibn Furat, yang berwewenang, sang sufi sudah keburu meninggalkan Baghdad bersama seorang muridnya. Ini terjadi di tahun 297 Hijriah, 918 Masehi. Tahun 301 H (922 M) dia tertangkap di Susa. Dan ditahan di sana. Lantas dibawa ke Ibukota. Keterangan yang didapat di Ahwaz dan di Baghdad ternyata membuktikan, dia mengaku dirinya Tuhan. Juga mengatakan bahwa Tuhan menitis hulul dalam diri para keturunan 'Ali. Buat sementara dia lantas ditahan di istana Khalifah. Sampai delapan tahun -- menurut sumber itu. Ia diperlakukan dengan baik, diperbolehkan menerima para tamu. Bahkan berhasil mempengaruhi Nasr, kepala rumah tangga Istana yang bertugas mengurusnya. Juga, menurut cerita-cerita yang didengar Hamid ibn Abbas (sang Wazir), para khadam dan orang-orang lain di lingkungan Istana telah pula terkesan oleh dia: seakan bisa saja merighidupkan orang mati dan melakukan hal-hal luar biasa dengan mukjizat seperti yang dimiliki Nabi -- jika mau. Beberapa pegawai Istana dan bahkan seorang bangsawan Hasyimi malahan dikabarkan telah bertindak sebagai penyebar ajarannya: mengatakan bahwa Al-Hallaj adalah Tuhan. MEREKA itu kemudian dithan, dan dalam pemeriksaan ulang yang dilakukan sang Wazir, mengaku -- bahkan yakin bahwa Al-Hallaj memang Tuhan dengan kekuasaan yang dapat menghidupkan orang mati. Tetapi ketika mereka mengulangi yang telah mereka katakan itu di muka Al-Hallaj, sang sufi membantah. "Adalah larangan Allah bagiku untuk mengaku diri sebagai tuhan atau nabi," katanya. "Aku cuma seorang yang menyembah Allah, sembahyang, berpuasa dan berbuat baik -- tak lebih dari itu." Segera sang Wazir membuka surat yang ditulis Al-Hallaj, dan menyuruh seseorang membacakannya di sidang pengadilan itu. Pada pokoknya surat itu memuat penjelasan: bila orang ingin menunaikan ibadah haji tapi tak dapat melaksanakannya, hendaklah dia mendirikan sebuah bangunan berbentuk persegi di rumahnya sendiri. Bila saat ibadat haji tiba, dia lakukanlah di situ upacara thawaf seperti yang dilakukan di Ka'bah. Lalu dia harus mengadakan pesta untuk 30 anak yatim-piatu. Menunggui mereka sampai selesai makan. Kemudian selaku khadam, dia harus membasu semua tangan mereka. Dan akhirnya memberi setiap mereka uang tujuh dirham dan sehelai kain jubah baru. Yang demikian -- menurut surat yang dibacakan itu -- dapat menggantikan ibadat haji yang sebenarnya. Setelah dibacakan surat itu -- menurut kesaksian Ibn Zanji -- Hakim Abu Umar berpaling kepada Al-Hallaj. "Dari mana anda dapatkan ajaran serupa itu?" "Dari Kitab Peribadatan, tulisan Hasan dari Basra (Imam Hasan al-Basri)." "Bohong!" kata Abu Umar. "Murtad! Kami telah mendengar tentang kitab itu ketika belajar di Makkah. Tak ada sama sekali ajaran serupa itu." WAKTU Hakim Abu Umar menyebut murtad, Hamid -- sang Wazir -- menyela, menyuruh agar itu dicatat. Sementara itu Abu Umar terus berusaha memusatkan tekanan, bahwa ajaran seperti itu adalah kufur, dan penganutnya bisa dihukum mati. Tetapi hakim lain, Ibn Buhlul, menyatakan pendapatnya. Katanya, "Jika Al-Hallaj mau menyatakan, bahwa ia hanya sekedar menyebutkan ajaran itu tetapi ia sendiri tidak mempercayainya, kemudian bersedia mencabut kembali yang telah ia sebutkan itu, ia dapat dibebaskan." Tambahnya: "Tetapi jika ia menolak, sudah sepantasnya ia dihukum mati." Tetapi Wazir Hamid tak menghendaki pemeriksaan dilanjutkan. Dia berkeras agar Abu Umar menuliskan pendapatnya bahwa Al-Hallaj murtad Hakim itu setuju, dan membubuhkan tanda tangannya. Yang lain-lain ikut menandatangani. Mengetahui pelanggaran yang tengah berlangsung, Al-Hallaj berseru: "Jangan bunuh aku dengan cara begini. Tuan-tuan tak berhak menyingkirkan aku sebagai murtad lantaran suatu kias. Agamaku Islam. Aliranku Jalan Yang Benar. Ada buku-buku tulisanku tentang Jalan Yang Benar di toko-toko buku saat ini. Sungguh kumohon, atas nama Tuhan, jangan bunuh aku!" Itu ia ucapkan sementara orang-orang sibuk membubuhkan tanda tangan menyetujui pendapat Abu Umar. Tanda tangan itu disampaikan kepada Khalifah. Sementara itu Nasr, kepala rumah tangga Istana, pergi menghadap Ibu Suri. "Hamba takut," katanya pada wanita tua itu, "kalau nanti azab Tuhan menimpa Khalifah karena matinya guru suci itu." Maka wanita tua itu segera menemui Khalifah, dan minta putranya menyelamatkan Al-Hallaj. Namun sia-sia. Khalifah segera mengeluarkan surat perintah kepada Ham,d: bawa Al-Hallaj ke Kantor Polisi, lecut seribu kali, dan jika belum juga mati, potong kaki dan tangannya, lalu pancung kepalanya dan pancangkan di tonggak, kemudian bakar badannya. Tetapi pada hari ketika surat perintah itu dikeluarkan, Khalifah jatuh sakit -- demam. Ini makin menguatkan kepercayaan Nasr dan Ibu Suri bahwa ketakutan mereka semula memang benar: Tuhan menurunkan azab-Nya. Bahkan Khalifah sendiri pun merasa tak enak -- lantas buru-buru memerintahkan Hamid menangguhkan pelaksanaan hukuman itu. Maka terjadilah penundaan beberapa hari, sampai Khalifah sembuh dan merasa tenang kembali. Bahkan, ketika datang saatnya Hamid mendesak pelaksanaan hukuman itu, Khalifah berusaha mengesampingkan perkara tersebut sebagai hal yang tak penting. NAMUN Hamid berkeras. "Amirul mukminin!" kata Wazir itu. "Bila Hallaj dibiarkan hidup, dia akan merusak Hukum dan membuat murtad rakyat Paduka. Dan itu berarti akhir daulat kekhalifahan Paduka. Maka izinkanlah hamba melaksanakan hukuman itu. Bila itu mengakibatkan kesusahan, boleh Paduka perintahkan untuk membunuh hamba sendiri." Khalifah akhirnya mengizinkan. Rencana pelaksanaan pun dibuat. Lantaran dikhawatirkan ada usaha-usaha untuk menyelamatkan Al-Hallaj, Kepala Polisi diperintahkan datang setelah gelap -- dengan membawa serombongan budak dan orang-orang yang naik bagal, berpakaian sebagai tukang-tukang kuda. Nazuk, Kepala Polisi, melaksanakan semua itu. Dan begitulah malam itu dia mengambil Al-Hallaj dan membawanya keluar. Kemudian bersama anak buahnya ia sendiri melakukan penjagaan ketat sepanjang malam di sekeliling gedung Balai Sidang tempat Al-Hallaj dipindahkan menunggu esok, saat hukuman bakal dilaksanakan. Malam sebelum eksekusi itu, menurut kesaksian putra Al-Hallaj sendiri, Hamd, sang sufi bersembahyang dua rakaat. Setelah itu dia pun tenggelam dalam mengucapkan kata ini: khayal, khayal, khayal . . . diulang-ulangnya seperti kepada dirinya sendiri-sampai lewat tengah malam. Kemudian lama terdiam. Lantas tiba-tiba berseru: "Al-Haqq! Al-Haqq!" sambil berjingkrak. Dia ikatkan sorban di kepalanya, dia kenakan jubah, dan dengan lengan terkembang menghadap ke kiblat dia pun tenggelam dalam ekstase -- dan bicara dengan Tuhan. Beberapa bagian dari yang dia ucapkan ketika itu ada diingat Hamd dan si khadam Ibn Fatik yang menyertainya. Antara lain: "Di langit -- Tuhan. Di bumi -- Tuhan. Ya Pengatur peredaran zaman, Pencipta segala perwujudan. Yang dengan takdir-Nya semua jasad ini terbentuk! Kau akan tampak bersinar cahaya, bila Kau menghendaki, kepada siapa yang Kaukehendaki, dan seperti yang Kaukehendaki, sebagaimana Kau dulu memancarkan takdir-Mu pada sosok perwujudan paling indah, perwujudan Adam, yang akan memancarkan Kata -- perwujudan tunggal yang dikaruniai pengetahuan dan bahasa ucapan, kekuasaan bebas dan bukti kebenaran." Dan di bagian yang lebih kemudian, semacam ratapan: "Mengapa mesti berakhir begini? Bahwa aku mesti berangkat mati, menerima kematian sebagai penjahat, digantung di tiang gantungan, tubuh dibakar dan abu diserahkan kepada angin dan arus air? Duh!" Seterusnya: "Pasti, pastilah sekelumit terkecil dari daging ini, yang telah menjadi dupa-Mu, ialah janji bagi seutuh tubuh akan Kebangkitanku, janji akan kenyataan yang lebih pasti dari bukit-bukit paling perkasa yang terpampang nyata!" Terakhir dia bicara sajak. Di baitnya yang penghabisan: "Dengar dukaku, ya Kau! Bagi mereka yang akan lenyap dan tiada, Seperti kaum 'Ad yang alpa atau Taman Duniawi yang telah lama sirna! Dan kemudian kelompok yang ditinggalkan pun mengelana, Tersaruk-saruk dan buta, lebih buta dari kawanan domba." Sejenak kemudian Ibrahim, salah seorang khadamnya pula, berkata: "Guru, beri hamba sepatah dua patah kata sebagai kenang-kenangan." "Dirimu sendiri!", jawabnya. "Jika kamu tak menguasai dia, dia menguasai kamu." Ketika hari fajar, para petugas datang mengambil Al-Hallaj dan membawanya ke luar, ke alun-alun. "Aku mengawasinya ketika dia pergi," tutur Hamd. "Dia menari-nari dengan tangan dibelenggu." Rakyat berjubel di alun-alun. Ketika para petugas menggiring dia ke tiang gantungan (menurut Abu Hasan dari Hulwan yang menyaksikannya), Al-Hallaj ketawa-ketawa sampai keluar air matanya melihat panggung pembantaian di sana. Waktu berpaling memandang orang banyak di seputar alun-alun, dia melihat Abu Bakr Syibli. Segera serunya: "Abu Bakr! Ada kau bawa sajadahmu?" "Ada," jawab Syibli. "Boleh kupinjam?" Cepat Abu Bakr Syibli mengantarkan sajadah itu dan membentangkannya di muka Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj segera melakukan salat dua rakaat. Yang satu dengan ayat yang dimulai dengan "Akan Kami coba kamu . . . " Dan yang kedua dengan ayat yang dimulai dengan "Segala jiwa mengecap kematian . . . " Kemudian ia bicara. Sebagian ucapannya yang diingat Abu Hasan antara lain: "Dan hamba-hambaMu yang berkumpul di sini untuk membantaiku, lantaran begitu bergairah mencintai agama-Mu, berharap mendapat karunia-Mu, ampunilah mereka, ya Tuhan. Kasihanilah mereka. Sungguh, sekiranya Kau memperlihatkan pada mereka yang telah Kau perlihatkan padaku, mereka tak akan melakukan yang telah mereka lakukan ini. Dan sekiranya Kau rahasiakan bagiku apa yang telah Kau rahasiakan bagi mereka, aku takkan menderita kemalangan ini. Namun apa pun yang akan Kau lakukan, pujiku padaMu. Apa pun yang Kau kehendaki, pujiku padaMu!" Algojo naik mendekatinya. Lalu memberikan pukulan padanya antara kedua mata. Darah mengucur dari lubang hidungnya. Syibli berteriak dan merobek pakaiannya sendiri, kemudian jatuh pingsan. Algojo diperintahkan melecut Al-Hallaj seribu kali. Perintah dilaksanakan. Tak selengking jerit pun kedengaran. Tak pula teriakan minta ampun dari Al-Hallaj. Cuma menurut seorang saksi, setelah lecutan keenam ratus, Al-Hallaj berseru pada Kepala Polisi, "Biar aku datang padamu! Akan kukatakan apa yang lebih berarti bagi Khalifah daripada penyerbuan Konstantinopel." "Tawaran semacam itu memang sudah kami duga," jawab Nazuk, "atau yang lebih hebat dari itu. Namun itu tidak membebaskan anda dari lecutan -- sama sekali tidak." Setelah itu Al-Hallaj tak berkata-kata lagi -- sampai lecutan yang keseribu. Lantas tangan dan kakinya dipotong. Kemudian dia diikatkan di tiang gantungan. Sampai malam turun, ketika perintah Khalifah datang memberi perkenan untuk melakukan pemancungan. Tetapi perwira yang ditugasan mengatakan: "Sudah terlambat. Biarkan saja sampai esok." Pagi-pagi Al-Hallaj pun diturunkan. Lalu diseret untuk dipancung. Saat itulah terluncur kata-katanya yang penghabisan: "Segala yang telah mengenal 'isyq (ekstase, dalam cinta) mendambakan ini . . . kesunyian Yang Maha Tunggal . . . sendiri bersama Yang Sendiri." DIA ditempatkan beberapa langkah di muka tiang gantungan -- lantas kepalanya dipenggal. Batang tubuhnya diringkus dalam gwlungan tikar bambu, lalu direndam dalam nafta. Kemudian dibakar. Waktu dilakukan pembakaran itu sang katib Ibn Zanji, menurut penuturannya sendiri, menyaksikan dengan berdiri di punggung bagalnya lantaran tak dapat masuk ke alun-alun. Batang tubuh Al-Hallaj meliuk-liuk di atas bara sementara api berkobar membakarnya. Setelah musnah dan tinggal abu, dikumpulkan. Kemudian dari menara dibuang ke Sungai Dajlah (Tigris). Kepalanya dipasang di atas jembatan selama dua hari, lalu dibawa ke Khurasan untuk dipertontonkan di berbagai wilayah. Semua penjual buku dikumpulkan. Diwajibkan bersumpah tak akan menjual atau membeli buku-buku tulisan Al-Hallaj. Tulisan yang masih ada dari pihak-pihak yang memusuhinya, seperti disebutkan Idries Syah dalam The Sufis, memandang Al-Hallaj sebagai seorang munafik dan licik. Mungkin saja dia menimbulkan kesan demikian. Dalam pemeriksaan yang dilakukan sang wazir misalnya, dia menyangkal keterangan saksi yang mengatakan dia mengaku Tuhan. Tetapi mungkin memang tidak begitu maksud Al-Hallaj yang sebenarnya. Sebab seperti kata Ali al-Hujwiri, juga ulama sufi, apa yang dilakukan atau dikatakan seorang sufi tak bisa ditafsirkan secara dangkal. Hakekat Kenyataan yang dihayati sang sufi "tak mungkin diungkapkan dalam bahasa yang biasa". Setidak-tidaknya percobaan untuk itu tak menampilkan makna yang dimaksud -- dan karena itu dapat menimbulkan salah paham. Sementara itu, seperti juga disebutkan Idries SYah, Al-Hallaj sering mengadakan pertemuan rahasia di rumahnya. Lantaran itulah dia dikhawatirkan akan menimbulkan keguncangan sosial, bahkan dapat merupakan ancaman politik. Tak heran jika sang wazir begitu gigih. Ucapannya di hadapan Khalifah waktu minta perkenan untuk melaksanakan hukuman mati, dengan jelas menyebut kekhawatiran itu. Di kalangan kaum sufi sendiri, Al-Hallaj -- lengkapnya: Husain ibn Mansur al-Hallaj -- dipandang sebagai salah seorang dari guru-guru terbesar mereka. "Pencinta -- (sufi) mempunyai taman mawar di tengah tabir darah," kata Jalaluddin Rumi, penyairsufi Persia di abad ke-13 dan "guru" Iqbal, dalam satu kasidahnya. "Banyak Mansur (Al-Hallaj) tersembunyi, yang percaya pada jiwa Cinta, setelah meninggalkan lubang sekapan kemudian naik ke tiang gantungan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus