DALAM perlawatanan rohani dari planet ke planet, seorang penyair
dari bumi singgah di daerah Yupiter. Di sana dia bertemu dengan
tiga roh suci. Meski terbilang suci, ketiga roh itu tidak
tinggal di surga. Mereka lebih suka mengembara selamanya.
"Kenapa tuan-tuan tidak tinggal di surga bersama para mukmin
yang lain?" tanya sang penyair. "Manusia bebas seperti kami,"
jawab salah satunya, "tak mungkin rohnya ditempatkan di surga.
Surga para kiai ialah anggur dengan para pelayan dan bidadari,
surga kami ialah pengembaraan abadi. Surga para mullah ialah
makan, tidur dan bernyanyi, surga kami merenungi hidup ini."
Itu sebuah adegan dalam drama-puisi Iqbal, Javid-nama, terbit
1932 dalam bahasa Parsi. Dalam karya itu Iqbal menempatkan diri
sebagai penyair dari bumi itu, dengan nama Zinda-Rud (Arus Yang
Hidup) -- nama sebuah sungai besar di Isfahan, Iran. Roh yang
menjawab pertanyaan penyair itu roh Al-Hallaj -- sufi terkenal
yang dihukum mati di Baghdad semasa pemerintahan Khalifah
Al-Muqtadir di abad X Masehi. Ia dipersalahkan telah mengajarkan
pengertian-pengertian seperti fana' fillah (musnah dalam Allah)
dan anal-Haq -- akulah Al-Haq (Tuhan) dan yang seperti itu.
Bahwa Al-Hallaj digambarkan sebagai roh suci, yang "tidak
tinggal di surga", menunjukkan penilaian tertentu Iqbal, penyair
yang barangkali pemikir terpenting dunia Islam abad ini -- dan
"arsitek" negara Islam Pakistan. Seperti itu juga penilaian
terhadap dua "roh" lain: Tahira, penyair wanita Persia yang juga
dihukum mati, tahun 1852, dan Ghalib, penyair berbahasa Parsi di
India, 1797-1869.
Tokoh-tokoh kontroversial. Seperti juga Muhyidin Ibnul Arabi
(11651240), sufi Spanyol yang terkenal dengan karyanya
Turjumanul Asywaq (Terjemahan Rindu), yang banyak menimbulkan
debat lantaran temanya yang erotik dan sekaligus esoterik. Atau
seperti Syeh Siti Jenar di Jawa yang dihukum mati. Atau seperti
juga Hamzah Fansuri bersama muridnya Syamsuddin as-Samtrani di
Aceh di pertengahan kedua abad ke-16, para penganut tarekat
Wujudiyah (emanasi) yang mendapat tantangan sengit Nuruddin
ar-Raniri, sehingga buku-buku karangan mereka disuruh bakar.
Dari Akhbar al-Hallaj (Berita tentang Al-Hallaj) dan
sumber-sumber lain, seperti diterjemahkan Eric Schroeder dalam
bahasa Inggris, bisa didengar beberapa kesaksian tentang sufi
tersebut di hari-hari terakhir hidupnya.
Ajaran Al-Hallaj menimbulkan perbedaan pendapat yang sengit di
Baghdad. Sebagian orang lantas memuliakannya sebagai orang suci,
sebagian yang lain mengutuknya sebagai orang yang ingkar Tuhan
-- kafir. Bagaimana tanggapan Al-Hallaj sendiri, bisadidengar
dari kesaksian Ibrahim ibn Fatik, khadamnya.
Suatu hari Ibn Fatik masuk ke bilik Al-Hallaj. Sang sufi sedang
bersujud. Seuntai doa ia ucapkan. Setelah itu, melihat Ibn
Fatik, sang sufi menyuruhnya datang mendekat. "Sini," katanya.
"Kau tidak mengganggu."
Ibn Fatik duduk di hadapannya. Mata sang sufi menyala bagai
bara. "Nak," katanya kepada si khadam, "kudengar orang-orang
meributkan aku. Sebagian mengatakan aku ini orang suci. Sebagian
lagi mengatakan aku telah ingkar Tuhan. Aku lebih suka yang
kedua itu. Begitu pula Tuhan."
"Mengapa begitu, Guru?"
"Yah, yang mengatakan aku orang suci adalah mereka yang takzim
kepadaku. Tetapi mereka yang mengatakan aku mengingkari Tuhan
adalah mereka yang begitu gigih mencintai agama mereka. Orang
yang gigih mencintai agamanya lebih berharga bagiku, dan bagi
Tuhan pula, ketimbang orang yang mengagungkan sesama makhluk.
Bagaimana pendapatmu sendiri nanti, pada hari kau lihat aku di
tiang gantungan, dihukum mati, dan dibakar? Namun itulah hari
paling bahagia dalam hidupku selama ini." Kemudian katanya
cepat: "Nah, sekarang pergilah dalam rahmat Allah."
Ada lagi kesaksian dari sumber yang tidak disebut. Peristiwanya
konon terjadi di Masjid al-Mansur.
Suatu hari, Al-Hallaj masuk ke masjid itu dan berseru:
"Berkumpullah, dan dengarkan apa yang mesti kukatakan pada
kalian."
Jemaat yang besar berkumpul: para pencinta, pengikut, pembenci.
"Kalian mesti tahu ini," katanya. "Tuhan telah menakdirkan aku
terkucil dari hukum kalian. Maka bunuh aku."
Orang-orang di antara para jemaat mulai menangis. Tapi Abdul
Wadud, juga sufi, mendekat berkata, "Syekh mana mungkin kami
membunuh orang yang mengerjakan sembahyang, puasa dan mengaji?"
"Syekh," jawab Al-Hallaj, "sembahyang, puasa dan membaca Quran
tak ada sangkut-pautnya dengan alasan untuk tidak mengalirkan
darahku. Kenapa kalian tidak membunuhku? Kalian akan mendapat
pahala, dan aku kedamaian. Bagi kalian itu perang sabil, bagiku
mati syahid."
Menurut penuturan Abdul Wadud sendiri, ketika Al-Hallaj
meninggalkan masjid itu dia mengikutinya pulang dan berkata
kepadanya: "Syekh, yang anda katakan tadi membingungkan kami."
"Nah," sahut Al-Hallaj, "tiada kewajiban yang lebih mendesak
bagi orang muslim saat ini daripada menghukum mati diriku.
Ingatlah, kematianku akan menyelamatkan kesucian Hukum Ilahi
siapa telah melanggarnya harus menanggung akibatnya."
Kemudian kesaksian dari sebuah sumber menuturkan hal lain. Di
satu saat, setelan mendengar apa yang disampaikan Al-Hallaj
dalam khotbahnya, Ibn Dawud, ulama fiqh, berpendapat kata-kata
si guru, sebagai orang muslim, berlawanan dengan kebenaran yang
telah dibawa Nabi Muhammad. Jadi terhitung dusta. "Kareha itu,"
katanya, "secara sah dia bisa dihukum mati."
Tapi ketika kemudian perintah penahanan terhadap Al-Hallaj
diberikan oleh Ibn Furat, yang berwewenang, sang sufi sudah
keburu meninggalkan Baghdad bersama seorang muridnya. Ini
terjadi di tahun 297 Hijriah, 918 Masehi.
Tahun 301 H (922 M) dia tertangkap di Susa. Dan ditahan di sana.
Lantas dibawa ke Ibukota. Keterangan yang didapat di Ahwaz dan
di Baghdad ternyata membuktikan, dia mengaku dirinya Tuhan. Juga
mengatakan bahwa Tuhan menitis hulul dalam diri para keturunan
'Ali. Buat sementara dia lantas ditahan di istana Khalifah.
Sampai delapan tahun -- menurut sumber itu. Ia diperlakukan
dengan baik, diperbolehkan menerima para tamu. Bahkan berhasil
mempengaruhi Nasr, kepala rumah tangga Istana yang bertugas
mengurusnya. Juga, menurut cerita-cerita yang didengar Hamid ibn
Abbas (sang Wazir), para khadam dan orang-orang lain di
lingkungan Istana telah pula terkesan oleh dia: seakan bisa saja
merighidupkan orang mati dan melakukan hal-hal luar biasa dengan
mukjizat seperti yang dimiliki Nabi -- jika mau. Beberapa
pegawai Istana dan bahkan seorang bangsawan Hasyimi malahan
dikabarkan telah bertindak sebagai penyebar ajarannya:
mengatakan bahwa Al-Hallaj adalah Tuhan.
MEREKA itu kemudian dithan, dan dalam pemeriksaan ulang yang
dilakukan sang Wazir, mengaku -- bahkan yakin bahwa Al-Hallaj
memang Tuhan dengan kekuasaan yang dapat menghidupkan orang
mati. Tetapi ketika mereka mengulangi yang telah mereka katakan
itu di muka Al-Hallaj, sang sufi membantah. "Adalah larangan
Allah bagiku untuk mengaku diri sebagai tuhan atau nabi,"
katanya. "Aku cuma seorang yang menyembah Allah, sembahyang,
berpuasa dan berbuat baik -- tak lebih dari itu."
Segera sang Wazir membuka surat yang ditulis Al-Hallaj, dan
menyuruh seseorang membacakannya di sidang pengadilan itu. Pada
pokoknya surat itu memuat penjelasan: bila orang ingin
menunaikan ibadah haji tapi tak dapat melaksanakannya,
hendaklah dia mendirikan sebuah bangunan berbentuk persegi di
rumahnya sendiri. Bila saat ibadat haji tiba, dia lakukanlah di
situ upacara thawaf seperti yang dilakukan di Ka'bah.
Lalu dia harus mengadakan pesta untuk 30 anak yatim-piatu.
Menunggui mereka sampai selesai makan. Kemudian selaku khadam,
dia harus membasu semua tangan mereka. Dan akhirnya memberi
setiap mereka uang tujuh dirham dan sehelai kain jubah baru.
Yang demikian -- menurut surat yang dibacakan itu -- dapat
menggantikan ibadat haji yang sebenarnya.
Setelah dibacakan surat itu -- menurut kesaksian Ibn Zanji --
Hakim Abu Umar berpaling kepada Al-Hallaj.
"Dari mana anda dapatkan ajaran serupa itu?"
"Dari Kitab Peribadatan, tulisan Hasan dari Basra (Imam Hasan
al-Basri)."
"Bohong!" kata Abu Umar. "Murtad! Kami telah mendengar tentang
kitab itu ketika belajar di Makkah. Tak ada sama sekali ajaran
serupa itu."
WAKTU Hakim Abu Umar menyebut murtad, Hamid -- sang Wazir --
menyela, menyuruh agar itu dicatat. Sementara itu Abu Umar terus
berusaha memusatkan tekanan, bahwa ajaran seperti itu adalah
kufur, dan penganutnya bisa dihukum mati.
Tetapi hakim lain, Ibn Buhlul, menyatakan pendapatnya. Katanya,
"Jika Al-Hallaj mau menyatakan, bahwa ia hanya sekedar
menyebutkan ajaran itu tetapi ia sendiri tidak mempercayainya,
kemudian bersedia mencabut kembali yang telah ia sebutkan itu,
ia dapat dibebaskan." Tambahnya: "Tetapi jika ia menolak, sudah
sepantasnya ia dihukum mati."
Tetapi Wazir Hamid tak menghendaki pemeriksaan dilanjutkan. Dia
berkeras agar Abu Umar menuliskan pendapatnya bahwa Al-Hallaj
murtad Hakim itu setuju, dan membubuhkan tanda tangannya. Yang
lain-lain ikut menandatangani.
Mengetahui pelanggaran yang tengah berlangsung, Al-Hallaj
berseru: "Jangan bunuh aku dengan cara begini. Tuan-tuan tak
berhak menyingkirkan aku sebagai murtad lantaran suatu kias.
Agamaku Islam. Aliranku Jalan Yang Benar. Ada buku-buku
tulisanku tentang Jalan Yang Benar di toko-toko buku saat ini.
Sungguh kumohon, atas nama Tuhan, jangan bunuh aku!"
Itu ia ucapkan sementara orang-orang sibuk membubuhkan tanda
tangan menyetujui pendapat Abu Umar. Tanda tangan itu
disampaikan kepada Khalifah.
Sementara itu Nasr, kepala rumah tangga Istana, pergi menghadap
Ibu Suri. "Hamba takut," katanya pada wanita tua itu, "kalau
nanti azab Tuhan menimpa Khalifah karena matinya guru suci itu."
Maka wanita tua itu segera menemui Khalifah, dan minta putranya
menyelamatkan Al-Hallaj. Namun sia-sia. Khalifah segera
mengeluarkan surat perintah kepada Ham,d: bawa Al-Hallaj ke
Kantor Polisi, lecut seribu kali, dan jika belum juga mati,
potong kaki dan tangannya, lalu pancung kepalanya dan pancangkan
di tonggak, kemudian bakar badannya.
Tetapi pada hari ketika surat perintah itu dikeluarkan, Khalifah
jatuh sakit -- demam. Ini makin menguatkan kepercayaan Nasr dan
Ibu Suri bahwa ketakutan mereka semula memang benar: Tuhan
menurunkan azab-Nya. Bahkan Khalifah sendiri pun merasa tak enak
-- lantas buru-buru memerintahkan Hamid menangguhkan pelaksanaan
hukuman itu. Maka terjadilah penundaan beberapa hari, sampai
Khalifah sembuh dan merasa tenang kembali.
Bahkan, ketika datang saatnya Hamid mendesak pelaksanaan hukuman
itu, Khalifah berusaha mengesampingkan perkara tersebut sebagai
hal yang tak penting.
NAMUN Hamid berkeras. "Amirul mukminin!" kata Wazir itu. "Bila
Hallaj dibiarkan hidup, dia akan merusak Hukum dan membuat
murtad rakyat Paduka. Dan itu berarti akhir daulat kekhalifahan
Paduka. Maka izinkanlah hamba melaksanakan hukuman itu. Bila itu
mengakibatkan kesusahan, boleh Paduka perintahkan untuk membunuh
hamba sendiri."
Khalifah akhirnya mengizinkan. Rencana pelaksanaan pun dibuat.
Lantaran dikhawatirkan ada usaha-usaha untuk menyelamatkan
Al-Hallaj, Kepala Polisi diperintahkan datang setelah gelap --
dengan membawa serombongan budak dan orang-orang yang naik
bagal, berpakaian sebagai tukang-tukang kuda.
Nazuk, Kepala Polisi, melaksanakan semua itu. Dan begitulah
malam itu dia mengambil Al-Hallaj dan membawanya keluar.
Kemudian bersama anak buahnya ia sendiri melakukan penjagaan
ketat sepanjang malam di sekeliling gedung Balai Sidang tempat
Al-Hallaj dipindahkan menunggu esok, saat hukuman bakal
dilaksanakan.
Malam sebelum eksekusi itu, menurut kesaksian putra Al-Hallaj
sendiri, Hamd, sang sufi bersembahyang dua rakaat. Setelah itu
dia pun tenggelam dalam mengucapkan kata ini: khayal, khayal,
khayal . . . diulang-ulangnya seperti kepada dirinya
sendiri-sampai lewat tengah malam. Kemudian lama terdiam. Lantas
tiba-tiba berseru: "Al-Haqq! Al-Haqq!" sambil berjingkrak. Dia
ikatkan sorban di kepalanya, dia kenakan jubah, dan dengan
lengan terkembang menghadap ke kiblat dia pun tenggelam dalam
ekstase -- dan bicara dengan Tuhan.
Beberapa bagian dari yang dia ucapkan ketika itu ada diingat
Hamd dan si khadam Ibn Fatik yang menyertainya.
Antara lain: "Di langit -- Tuhan. Di bumi -- Tuhan. Ya Pengatur
peredaran zaman, Pencipta segala perwujudan. Yang dengan
takdir-Nya semua jasad ini terbentuk! Kau akan tampak bersinar
cahaya, bila Kau menghendaki, kepada siapa yang Kaukehendaki,
dan seperti yang Kaukehendaki, sebagaimana Kau dulu memancarkan
takdir-Mu pada sosok perwujudan paling indah, perwujudan Adam,
yang akan memancarkan Kata -- perwujudan tunggal yang dikaruniai
pengetahuan dan bahasa ucapan, kekuasaan bebas dan bukti
kebenaran." Dan di bagian yang lebih kemudian, semacam ratapan:
"Mengapa mesti berakhir begini? Bahwa aku mesti berangkat mati,
menerima kematian sebagai penjahat, digantung di tiang
gantungan, tubuh dibakar dan abu diserahkan kepada angin dan
arus air? Duh!" Seterusnya: "Pasti, pastilah sekelumit terkecil
dari daging ini, yang telah menjadi dupa-Mu, ialah janji bagi
seutuh tubuh akan Kebangkitanku, janji akan kenyataan yang lebih
pasti dari bukit-bukit paling perkasa yang terpampang nyata!"
Terakhir dia bicara sajak. Di baitnya yang penghabisan:
"Dengar dukaku, ya Kau!
Bagi mereka yang akan lenyap dan tiada,
Seperti kaum 'Ad yang alpa atau
Taman Duniawi yang telah lama sirna!
Dan kemudian kelompok yang ditinggalkan pun mengelana,
Tersaruk-saruk dan buta, lebih
buta dari kawanan domba."
Sejenak kemudian Ibrahim, salah seorang khadamnya pula, berkata:
"Guru, beri hamba sepatah dua patah kata sebagai
kenang-kenangan."
"Dirimu sendiri!", jawabnya. "Jika kamu tak menguasai dia, dia
menguasai kamu."
Ketika hari fajar, para petugas datang mengambil Al-Hallaj dan
membawanya ke luar, ke alun-alun. "Aku mengawasinya ketika dia
pergi," tutur Hamd. "Dia menari-nari dengan tangan dibelenggu."
Rakyat berjubel di alun-alun.
Ketika para petugas menggiring dia ke tiang gantungan (menurut
Abu Hasan dari Hulwan yang menyaksikannya), Al-Hallaj
ketawa-ketawa sampai keluar air matanya melihat panggung
pembantaian di sana. Waktu berpaling memandang orang banyak di
seputar alun-alun, dia melihat Abu Bakr Syibli. Segera serunya:
"Abu Bakr! Ada kau bawa sajadahmu?"
"Ada," jawab Syibli.
"Boleh kupinjam?"
Cepat Abu Bakr Syibli mengantarkan sajadah itu dan
membentangkannya di muka Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj segera
melakukan salat dua rakaat. Yang satu dengan ayat yang dimulai
dengan "Akan Kami coba kamu . . . " Dan yang kedua dengan ayat
yang dimulai dengan "Segala jiwa mengecap kematian . . . "
Kemudian ia bicara. Sebagian ucapannya yang diingat Abu Hasan
antara lain:
"Dan hamba-hambaMu yang berkumpul di sini untuk membantaiku,
lantaran begitu bergairah mencintai agama-Mu, berharap mendapat
karunia-Mu, ampunilah mereka, ya Tuhan. Kasihanilah mereka.
Sungguh, sekiranya Kau memperlihatkan pada mereka yang telah Kau
perlihatkan padaku, mereka tak akan melakukan yang telah mereka
lakukan ini. Dan sekiranya Kau rahasiakan bagiku apa yang telah
Kau rahasiakan bagi mereka, aku takkan menderita kemalangan ini.
Namun apa pun yang akan Kau lakukan, pujiku padaMu. Apa pun yang
Kau kehendaki, pujiku padaMu!"
Algojo naik mendekatinya. Lalu memberikan pukulan padanya antara
kedua mata. Darah mengucur dari lubang hidungnya. Syibli
berteriak dan merobek pakaiannya sendiri, kemudian jatuh
pingsan.
Algojo diperintahkan melecut Al-Hallaj seribu kali. Perintah
dilaksanakan. Tak selengking jerit pun kedengaran. Tak pula
teriakan minta ampun dari Al-Hallaj.
Cuma menurut seorang saksi, setelah lecutan keenam ratus,
Al-Hallaj berseru pada Kepala Polisi, "Biar aku datang padamu!
Akan kukatakan apa yang lebih berarti bagi Khalifah daripada
penyerbuan Konstantinopel."
"Tawaran semacam itu memang sudah kami duga," jawab Nazuk,
"atau yang lebih hebat dari itu. Namun itu tidak membebaskan
anda dari lecutan -- sama sekali tidak."
Setelah itu Al-Hallaj tak berkata-kata lagi -- sampai lecutan
yang keseribu. Lantas tangan dan kakinya dipotong. Kemudian dia
diikatkan di tiang gantungan. Sampai malam turun, ketika
perintah Khalifah datang memberi perkenan untuk melakukan
pemancungan. Tetapi perwira yang ditugasan mengatakan: "Sudah
terlambat. Biarkan saja sampai esok."
Pagi-pagi Al-Hallaj pun diturunkan. Lalu diseret untuk
dipancung. Saat itulah terluncur kata-katanya yang penghabisan:
"Segala yang telah mengenal 'isyq (ekstase, dalam cinta)
mendambakan ini . . . kesunyian Yang Maha Tunggal . . . sendiri
bersama Yang Sendiri."
DIA ditempatkan beberapa langkah di muka tiang gantungan --
lantas kepalanya dipenggal. Batang tubuhnya diringkus dalam
gwlungan tikar bambu, lalu direndam dalam nafta. Kemudian
dibakar.
Waktu dilakukan pembakaran itu sang katib Ibn Zanji, menurut
penuturannya sendiri, menyaksikan dengan berdiri di punggung
bagalnya lantaran tak dapat masuk ke alun-alun. Batang tubuh
Al-Hallaj meliuk-liuk di atas bara sementara api berkobar
membakarnya. Setelah musnah dan tinggal abu, dikumpulkan.
Kemudian dari menara dibuang ke Sungai Dajlah (Tigris).
Kepalanya dipasang di atas jembatan selama dua hari, lalu dibawa
ke Khurasan untuk dipertontonkan di berbagai wilayah.
Semua penjual buku dikumpulkan. Diwajibkan bersumpah tak akan
menjual atau membeli buku-buku tulisan Al-Hallaj.
Tulisan yang masih ada dari pihak-pihak yang memusuhinya,
seperti disebutkan Idries Syah dalam The Sufis, memandang
Al-Hallaj sebagai seorang munafik dan licik. Mungkin saja dia
menimbulkan kesan demikian. Dalam pemeriksaan yang dilakukan
sang wazir misalnya, dia menyangkal keterangan saksi yang
mengatakan dia mengaku Tuhan. Tetapi mungkin memang tidak begitu
maksud Al-Hallaj yang sebenarnya. Sebab seperti kata Ali
al-Hujwiri, juga ulama sufi, apa yang dilakukan atau dikatakan
seorang sufi tak bisa ditafsirkan secara dangkal. Hakekat
Kenyataan yang dihayati sang sufi "tak mungkin diungkapkan dalam
bahasa yang biasa". Setidak-tidaknya percobaan untuk itu tak
menampilkan makna yang dimaksud -- dan karena itu dapat
menimbulkan salah paham.
Sementara itu, seperti juga disebutkan Idries SYah, Al-Hallaj
sering mengadakan pertemuan rahasia di rumahnya. Lantaran itulah
dia dikhawatirkan akan menimbulkan keguncangan sosial, bahkan
dapat merupakan ancaman politik. Tak heran jika sang wazir
begitu gigih. Ucapannya di hadapan Khalifah waktu minta perkenan
untuk melaksanakan hukuman mati, dengan jelas menyebut
kekhawatiran itu.
Di kalangan kaum sufi sendiri, Al-Hallaj -- lengkapnya: Husain
ibn Mansur al-Hallaj -- dipandang sebagai salah seorang dari
guru-guru terbesar mereka. "Pencinta -- (sufi) mempunyai taman
mawar di tengah tabir darah," kata Jalaluddin Rumi, penyairsufi
Persia di abad ke-13 dan "guru" Iqbal, dalam satu kasidahnya.
"Banyak Mansur (Al-Hallaj) tersembunyi, yang percaya pada jiwa
Cinta, setelah meninggalkan lubang sekapan kemudian naik ke
tiang gantungan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini