Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gelandangan dari masa ke masa

Gelandangan telah dikenal di indonesia sejak dulu. pada akhir abad ke-18, di antara yogya dan semarang ada 35.000 pekerja kasar yang disebut batur. pada abad 19 sebutan kelompok ini ialah kuli.

17 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA bulan yang lalu Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta mengundang berbagai akademisi untuk mengadakan seminar mengenai gelandangan. Ini bukan pertama kalinya seminar semacam ini diadakan di Indonesia. Perkumpulan budaya Mitra-Budaya juga pernah menseminarkan masalah gelandangan di Jakarta dengan pembicara utama Parsudi Suparlan, sarjana antropologi dari Universitas Indonesia, dan mungkin peneliti yang pertama memperhatikan soal itu. Apakah "gelandangan itu? Secara umum "gelandangan" dapat didefinisikan sebagai orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap maupun tempat tinggal tetap. Gejala dan masalah "gelandangan" bukan terdapat di Indonesia saja. Ia adalah gejala di berbagai negara pra-industri. Daerah Eropa Barat dan Amerika yang kini maju kira-kira 200 tahun yang lalu juga punya gejala "gelandangan". Gelandangan di kota dan desa Eropa ini disebut vagrants. Masalah vagrants di Eropa dahulu juga seperti masalah gelandangan masa kini di sini. Mereka dianggap gawat, baik oleh masyarakat maupun negara khususnya karena para vagrants membahayakan keamanan. Artinya, bila mereka melihat kesempatan untuk mencuri, hal itu pun mereka lakukan -- atau demikianlah prasangka orang. Maka, para vagrants dalam masyarakat Eropa dilihat sebagai pengacau dan dijauhkan sedapat mungkin oleh golongan mapan. Untuk pertama kali di Jawa ditemukan laporan tentang kelompok sejenis vagrants itu pada akhir abad ke-18. Laporan orang Barat itu berasal dari gubernur sampai keresiden. Mereka menyebut bahwa umpamanya antara Yogyakarta dan Semarang terdapat sekitar 35.000 pekerja kasar, yang disebut batur. Batur ini bercelana cawet, tidak memakai baju, tidak punya rumah tetap, tak juga keluarga tetap. Kebanyakan mereka bekerja sebagai pengangkut barang atau "kuli" (istilah yang baru timbul abad ke-l9) kasar. Karena itu para batur ini dikatakan sering berdiam di dekat pasar, sebab di sanalah banyak barang yang diangkut. Laporan-laporan selanjutnya menyebut bahwa sesegera para batur menerima upah uang sedikit saja, mereka menghamburkannya ke perjudian. Juga disebut bahwa para batur ini merupakan unsur masyarakat yang liar, yang akan ikut dengan setiap pemberontakan dan gerakan ratu-adil yang menjanjikan pada mereka apa saja. PARA batur memang dikatakan merupakan unsur penting dalam perlawanan Diponegoro (1825-1830). Mereka berfungsi sebagai penghubung antara satuan pemberontakan yang tersebar di seluruh Jawa Tengah. Belanda bahkan melihat golongan batur ini jadi sumber prajurit Diponegoro, bukan sekedar penghubung saja. Tentu dapat dipersoalkan sampai di mana hal ini benar. Sebab mungkin hanya prasangka Belanda bahwa golongan miskin merupakan sumber revolusioner atau pengacau. Demikianlah, pada awal abad ke-19 orang sudah melihat adanya suatu kelompok manusia yang cukup besar jumlahnya yang hidup secara "liar", tidak memiliki tempat tinggal tetap dan kebanyakan bekerja sebagai kuli pengangkut. Memang hal ini mungkin agak berlainan dengan gambaran konvensionil bahwa semua orang Jawa -- khususnya yang dahulu -- hidup menetap (sedentair) dan sedikit bergerak dari tempat kediaman mereka. Padahal sebenarnya dahulu kala orang Jawa kelihatan mondar-mandir dari tempat ke tempat lain. Salah suatu sebab dari mobilitas yang demikian tinggi adalah bahwa satu-satunya sumber tenaga pengangkut dan komunikasi adalah manusia. Kalau kini pesan dapat disampaikan melalui telepon, dan barang dapat dikirim melalui kendaraan bermotor dalam jumlah banyak, maka dahulu segala sesuatu hanya bergerak dengan tenaga manusia dan binatang. Mobilitas fisik dalam masyarakat pra-industrial dan belum berkembang merupakan suatu keharusan. Apalagi para batur pada awal abad ke-19 ini, biarpun kebanyakan bekerja sebagai kuli pengangkut barang, juga bekerja sebagai buruh kasar lain untuk membangun gedung-gedung VOC dan jalan atau pun untuk membantu panen padi. Dalam abad ke-19 istilah batur ini rupanya lambat-laun diganti dengan kuli. DALAM abad ke-20, suatu kelompok di kota yang mirip dengan deskripsi batur mungkin adalah tukang becal dan kuli kasar lainnya. Pun hidup mereka sering dikategorisasikan sebagai agak "liar" -- tanpa tempat tinggal tetap. Seringkali becak merangkap sebagai tempat tidur. Kebutuhan masyarakat yang serba kurang telah menekan upah pada tenaga-tenaga kasar ini, dan akibatnya ialah gaya hidup "liar" tadi. Namun karena kebutuhan masyarakat pula orang masih sedikit banyak menerima adanya kelompok pekerja liar itu -- lain daripada reaksi terlladap gelandangan. Para buruh atau tenaga kasar miskin sejak dahulu ada di Indonesia dan merupakan persoalan keamanan. Namun yang menyebabkan keguncangan bagi orang kota yang mapan adalah munculnya jumlah besar para jembel dengan pakaian yang compang-camping dan gejala-gejala lain seperti kelaparan -- suatu pertanda disintegrasi sosial ekonomi secara besar-besaran. Demikianlah umpamanya laporan mengenai Jawa dalam pertengahan abad ke-19. Sebagai akibat tanam paksa, timbul kegagalan panen dan kelaparan di pesisir utara Jawa. Ribuan penduduk desa di pesisiran dalam keadaan jembel melarikan diri dari desa untuk mencari makanan di daerah pedalaman. Banyak antara mereka yang mati kelaparan dan kecapekan. Hal ini menimbulkan bahaya meluasnya epidemi, dan banyak dari mereka dicoba untuk ditampung untuk dipekerjakan pada bangunan Belanda atau jalan-jalan raya. Timbulnya gqala gelandangan yang jembel seperti di atas dalam abad ini mungkin mulai muncul semasa pendudukan Jepang (1942-1945), biarpun ada orang yang mengatakan bahwa gejala ini mungkin juga terlihat dalam masa depresi ekonomi tahun 1930-an. Yang jelas, Perang Pasifik berakibat bencana bagi berbagai daerah. Hal ini ditambah dengan dipaksakannya desa-desa menyerahkan sebanyak mungkin hasil produksi padi mereka untuk keperluan tentara Jepang dan orang kota. Disintegrasi sosial ekonomi desa sebagai akibat politik itu terlihat dengan munculnya gelandangan dalam jumlah besar di kota. Zaman revolusi dengan peperangannya, juga masa sesudahnya, di mana terdapat banyak gangguan keamanan, tidak kurang menyebabkan makin gawatnya persoalan gelandangan ini. Para jembel adalah contoh yang paling ekstrim dari para gelandangan. Bagi golongan masyarakat yang mapan ada persoalan lain dengan adanya kaum jembel itu. Tidak kurang penting adalah dampak golongan miskin terhadap struktur politik. Yakni bahwa bila kaum miskin ini jumlahnya besar maka sukarlah berkembang demokrasi. Sebenarnya mereka menunjang otokrasi, pejabatisme dan apa yang sering disebut "feodalisme" itu. Kadang-kadang memang orang melihat golongan miskin seperti gelandangan sebagai unsur revolusioner. Sebab menurut teori, orang yang tidak ada kepentingan terhadap kestabilan negara tentu akan ikut dengan setiap pengacauan atau gerakan anti-negara. Tetapi buktinya adalah bahwa kaum gelandangan juga tidak melihat kepentingan mereka dalam suatu perubahan sosial, karena mereka tidak memiliki saham sama sekali dalam masyarakat. Para gelandangan ini cenderung untuk memberi dukungan pada yang paling berkuasa dan kaya, karena yang terlemah harus mencari perlindungan. Perlindungan itu tidak bisa didapatkannya di tempat lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus