BEBERAPA bulan yang lalu Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia di Yogyakarta mengundang berbagai akademisi untuk
mengadakan seminar mengenai gelandangan.
Ini bukan pertama kalinya seminar semacam ini diadakan di
Indonesia. Perkumpulan budaya Mitra-Budaya juga pernah
menseminarkan masalah gelandangan di Jakarta dengan pembicara
utama Parsudi Suparlan, sarjana antropologi dari Universitas
Indonesia, dan mungkin peneliti yang pertama memperhatikan soal
itu.
Apakah "gelandangan itu? Secara umum "gelandangan" dapat
didefinisikan sebagai orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan
tetap maupun tempat tinggal tetap.
Gejala dan masalah "gelandangan" bukan terdapat di Indonesia
saja. Ia adalah gejala di berbagai negara pra-industri. Daerah
Eropa Barat dan Amerika yang kini maju kira-kira 200 tahun yang
lalu juga punya gejala "gelandangan". Gelandangan di kota dan
desa Eropa ini disebut vagrants.
Masalah vagrants di Eropa dahulu juga seperti masalah
gelandangan masa kini di sini. Mereka dianggap gawat, baik oleh
masyarakat maupun negara khususnya karena para vagrants
membahayakan keamanan. Artinya, bila mereka melihat kesempatan
untuk mencuri, hal itu pun mereka lakukan -- atau demikianlah
prasangka orang. Maka, para vagrants dalam masyarakat Eropa
dilihat sebagai pengacau dan dijauhkan sedapat mungkin oleh
golongan mapan.
Untuk pertama kali di Jawa ditemukan laporan tentang kelompok
sejenis vagrants itu pada akhir abad ke-18. Laporan orang Barat
itu berasal dari gubernur sampai keresiden. Mereka menyebut
bahwa umpamanya antara Yogyakarta dan Semarang terdapat sekitar
35.000 pekerja kasar, yang disebut batur.
Batur ini bercelana cawet, tidak memakai baju, tidak punya rumah
tetap, tak juga keluarga tetap. Kebanyakan mereka bekerja
sebagai pengangkut barang atau "kuli" (istilah yang baru timbul
abad ke-l9) kasar. Karena itu para batur ini dikatakan sering
berdiam di dekat pasar, sebab di sanalah banyak barang yang
diangkut.
Laporan-laporan selanjutnya menyebut bahwa sesegera para batur
menerima upah uang sedikit saja, mereka menghamburkannya ke
perjudian. Juga disebut bahwa para batur ini merupakan unsur
masyarakat yang liar, yang akan ikut dengan setiap pemberontakan
dan gerakan ratu-adil yang menjanjikan pada mereka apa saja.
PARA batur memang dikatakan merupakan unsur penting dalam
perlawanan Diponegoro (1825-1830). Mereka berfungsi sebagai
penghubung antara satuan pemberontakan yang tersebar di seluruh
Jawa Tengah. Belanda bahkan melihat golongan batur ini jadi
sumber prajurit Diponegoro, bukan sekedar penghubung saja.
Tentu dapat dipersoalkan sampai di mana hal ini benar. Sebab
mungkin hanya prasangka Belanda bahwa golongan miskin merupakan
sumber revolusioner atau pengacau.
Demikianlah, pada awal abad ke-19 orang sudah melihat adanya
suatu kelompok manusia yang cukup besar jumlahnya yang hidup
secara "liar", tidak memiliki tempat tinggal tetap dan
kebanyakan bekerja sebagai kuli pengangkut.
Memang hal ini mungkin agak berlainan dengan gambaran
konvensionil bahwa semua orang Jawa -- khususnya yang dahulu --
hidup menetap (sedentair) dan sedikit bergerak dari tempat
kediaman mereka.
Padahal sebenarnya dahulu kala orang Jawa kelihatan
mondar-mandir dari tempat ke tempat lain.
Salah suatu sebab dari mobilitas yang demikian tinggi adalah
bahwa satu-satunya sumber tenaga pengangkut dan komunikasi
adalah manusia. Kalau kini pesan dapat disampaikan melalui
telepon, dan barang dapat dikirim melalui kendaraan bermotor
dalam jumlah banyak, maka dahulu segala sesuatu hanya bergerak
dengan tenaga manusia dan binatang.
Mobilitas fisik dalam masyarakat pra-industrial dan belum
berkembang merupakan suatu keharusan. Apalagi para batur pada
awal abad ke-19 ini, biarpun kebanyakan bekerja sebagai kuli
pengangkut barang, juga bekerja sebagai buruh kasar lain untuk
membangun gedung-gedung VOC dan jalan atau pun untuk membantu
panen padi. Dalam abad ke-19 istilah batur ini rupanya
lambat-laun diganti dengan kuli.
DALAM abad ke-20, suatu kelompok di kota yang mirip dengan
deskripsi batur mungkin adalah tukang becal dan kuli kasar
lainnya. Pun hidup mereka sering dikategorisasikan sebagai agak
"liar" -- tanpa tempat tinggal tetap. Seringkali becak merangkap
sebagai tempat tidur.
Kebutuhan masyarakat yang serba kurang telah menekan upah pada
tenaga-tenaga kasar ini, dan akibatnya ialah gaya hidup "liar"
tadi. Namun karena kebutuhan masyarakat pula orang masih sedikit
banyak menerima adanya kelompok pekerja liar itu -- lain
daripada reaksi terlladap gelandangan.
Para buruh atau tenaga kasar miskin sejak dahulu ada di
Indonesia dan merupakan persoalan keamanan. Namun yang
menyebabkan keguncangan bagi orang kota yang mapan adalah
munculnya jumlah besar para jembel dengan pakaian yang
compang-camping dan gejala-gejala lain seperti kelaparan --
suatu pertanda disintegrasi sosial ekonomi secara besar-besaran.
Demikianlah umpamanya laporan mengenai Jawa dalam pertengahan
abad ke-19. Sebagai akibat tanam paksa, timbul kegagalan panen
dan kelaparan di pesisir utara Jawa.
Ribuan penduduk desa di pesisiran dalam keadaan jembel melarikan
diri dari desa untuk mencari makanan di daerah pedalaman. Banyak
antara mereka yang mati kelaparan dan kecapekan. Hal ini
menimbulkan bahaya meluasnya epidemi, dan banyak dari mereka
dicoba untuk ditampung untuk dipekerjakan pada bangunan Belanda
atau jalan-jalan raya.
Timbulnya gqala gelandangan yang jembel seperti di atas dalam
abad ini mungkin mulai muncul semasa pendudukan Jepang
(1942-1945), biarpun ada orang yang mengatakan bahwa gejala ini
mungkin juga terlihat dalam masa depresi ekonomi tahun 1930-an.
Yang jelas, Perang Pasifik berakibat bencana bagi berbagai
daerah. Hal ini ditambah dengan dipaksakannya desa-desa
menyerahkan sebanyak mungkin hasil produksi padi mereka untuk
keperluan tentara Jepang dan orang kota.
Disintegrasi sosial ekonomi desa sebagai akibat politik itu
terlihat dengan munculnya gelandangan dalam jumlah besar di
kota. Zaman revolusi dengan peperangannya, juga masa sesudahnya,
di mana terdapat banyak gangguan keamanan, tidak kurang
menyebabkan makin gawatnya persoalan gelandangan ini.
Para jembel adalah contoh yang paling ekstrim dari para
gelandangan. Bagi golongan masyarakat yang mapan ada persoalan
lain dengan adanya kaum jembel itu. Tidak kurang penting adalah
dampak golongan miskin terhadap struktur politik. Yakni bahwa
bila kaum miskin ini jumlahnya besar maka sukarlah berkembang
demokrasi. Sebenarnya mereka menunjang otokrasi, pejabatisme dan
apa yang sering disebut "feodalisme" itu.
Kadang-kadang memang orang melihat golongan miskin seperti
gelandangan sebagai unsur revolusioner. Sebab menurut teori,
orang yang tidak ada kepentingan terhadap kestabilan negara
tentu akan ikut dengan setiap pengacauan atau gerakan
anti-negara. Tetapi buktinya adalah bahwa kaum gelandangan juga
tidak melihat kepentingan mereka dalam suatu perubahan sosial,
karena mereka tidak memiliki saham sama sekali dalam masyarakat.
Para gelandangan ini cenderung untuk memberi dukungan pada yang
paling berkuasa dan kaya, karena yang terlemah harus mencari
perlindungan. Perlindungan itu tidak bisa didapatkannya di
tempat lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini