Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menyaksikan sinar neraka

Kisah perancang reaktor atom, enrico fermi, pembuat bom i, bradbury dan arsitek bom dengan berbagai bentuk & ukuran j. robert oppenheimer. (sel)

17 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA mulanya adalah cahaya. Sinar putih cemerlang yang membuat pemandangan di gurun itu 20 kali lebih terang ketimbang siang. Untuk beberapa detik, tak ada suara. Padahal sejenis bom yang dahsyat sedang dicoba: bom atom, yang kemudian dijatuhkan di atas Hiroshima dan Nagasaki. Harinya adalah 16 Juli 1945, 37 tahun yang lalu. 'Tes Tritunggal' (Trinity Test) itu diselenggarakan di Gurun Alamogordo, New Mexico, Amerika. Serikat. Sebagian besar ilmuwan yang menyaksikan 'isyarat Armageddon' itu mengambil jarak sekitar 10 mil dari tempat ledakan. Mereka sebetulnya belum tahu pasti akibat yang bakal ditimbulkannya. Dan cahaya itu meluas dan semakin meninggi. Beberapa di antara pengamat bahkan dihinggapi panik, kalau-kalau perluasan medan cahaya itu tidak pernah berhenti, meskipun hal itu secara ilmiah mustahil. Adalah Enrico Fermi, orang pertama yang merancang reaktor atom di dunia, yang telah membuat perhitungan pembakaran nitrogen secara spontan di atmosfir. Fermi tak pernah salah, tapi tetap saja ada kekhawatiran melihat cahaya luar biasa itu -- terhadap proses yang bisa mengubah planet bumi menjadi matahari. Lima puluh detik kemudian barulah terdengar suara ledakan. Gelegar yang sungguh dahsyat, yang sukar dilupakan para saksi mata di Gurun Alamogordo. Namun "cahaya itu tetap lebih mengesankan," kata Norris Bradbury, salah seorang saksi mata. Kini, setelah hampir 40 tahun berlalu, apa kata para perancang dan pembuat bom atom itu tentang "karya besar" mereka? Pertanyaan itu rupanya menggoda Thomas Powers, dan mengantarkan dia melalui berbagai perjalanan menemui para tokoh yang turut mengubah sejarah dunia. BRADBURY termasuk salah seorang pembuat bom pertama. Ia, kini, berada di jenjang usia 70-an. Memasuki masa pensiun pada September 1970, 25 tahun kemudian sejak ia ditunjuk sebagai direktur laboratorium Los Alamos, tempat bom atom pertama dirancang dan dibuat. Ia pun kini tetap bermukim di Los Alamos, sebuah kota sekitar 30 mil di utara Santa Fe, New Mexico. Kota ini dibangun dalam gaya motel, tapi daerah pinggirannya sangat indah. Berperawakan gemuk dan kekar, Bradbury senantiasa riang, dengan uban menghias sisi kepalanya yang sulah. Dasinya selalu licin, dengan jepitan perak hadiah tatkala akan memasuki masa pensiun. Ia mengendarai mobil pickup, dan seperti para pembuat bom atom lainnya ia menyatakan kesediaan berbicara, namun merasa tak tahu apa yang harus dibicarakan. Bradbury adalah tipe khas teknokrat yang kurang kepercayaan diri sendiri. Ia menganggap dirinya tak lebih seorang administrator, sama sekali tak berperanan dalam mengambil keputusan penting. "Dengan cara itu pula Bradbury mengabdikan dirinya dalam semangat Oppenheimer," kata Thomas Powers dalam tulisannya di Rolling Stone 29 April 1982. Adalah J. Robert Oppenheimer, direktur Los Alamos selama masa Perang Dunia II, dialah yang memberi nama 'Tes Tritunggal' pada percobaan bom atom tadi. Tapi mengapa 'Tritunggal'? Tak pernah ada penjelasan. "Oppenheimer melaksanakan proyek bom itu tanpa mengenal istirahat," kata Thomas Powers, "sampai bom yang pertama akhirnya berhasil dibuat " Peristiwa itu merupakan sukses teknologi yang sangat penting. Dan Bradbury tak bisa melupakan kebanggaan Oppenheimer. Dalam ungkapan Bradbury, Oppenheimer bangga "bagai seekor burung merak". Barulah kemudian menyusul rasa was-was. Dalam pikirannya, tiba-tiba melintas sepenggal sajak Hindu: "Akulah sang maut, penghancur dunia." Oppenheimer menyadari hal itu. Dalalm sebuah wawancara dengan Time beberapa waktu kemudian, ia mencetuskan ucapannya yang sangat terkenal: "para fisikawan telah mencicipi dosa" (TEMPO 17 Oktober 1981). Secara pribadi pula Oppenheimer mengaku kepada Presiden Truman, tangannya "telah berdarah". Bradbury menerima jabatan direktur Los Alamos di bawah bayangan Oppenheimer. Dari segi temperamen, ia bukan orang yang ingin memikul tanggung jawab moral atas nasib dunia di pundaknya. Selama 25 tahun setelah perang, ia memimpin laboratorium Los Alamos dan melayani permintaan Washington dengan takzim. Mulanya bom buatan Los Alamos berukuran besar, kasar, tidak stabil, dan berbahaya sekali untuk "diurus". Bom yang menghancurkan Hirhoshima, misalnya, adalah sebuah monster berbentuk singkong dengan nama Fat Boy (Si Buyung Gendut). Hakekatnya, konon, bom ini menggunakan semua cadangan uranium 235 yang ada di muka bumi waktu itu". Tahap akhir pembuatannya dilakukan di udara: mencegah ledakan dan terbunuhnya semua orang Amerika di Pulau Tinian. Tapi kini, "kebijaksanaan nuklir sama berbahayanya dengan bom-bom pertama di sekitar 1945-1946 itu," kata Thomas Powers dalam tulisannya. Ia kemudian bertanya, "Berapa banyak bom yang dibutuhkan Amerika sesungguhnya?" Jenderal Leslie R. Groves, Komandan Proyek Manhattan yang membawahkan Los Alamos, memberi jawaban dengan perhitungan sederhana. Ia menjumlahkan kapasitas produksi uranium 235 dan plutonium negeri itu. Angka tadi dibagi dengan takaran yang dibutuhkan sebiji bom. Dan itulah jumlah bom yang diperlukan. PARA ilmuwan yang tetap tinggali Los Alamos setelah perang lebih banyak terlibat dalam hal "penimbunan dan pengadaan" barang. Umpamanya, bagaimana menghasilkan ledakan yang lebih yahud dengan jumlah plutonium dan U-235 yang lebih kecil. Atau membuat bom yang lebih mungil dan ringan, sehingga gampang dibawa ke mana-mana. Pekerjaan membuat bom hidrogen dimulai Januari 1950. Bom pertama yang dapat dijatuhkan dari pesawat udara itu sama besarnya dengan seekor ikan paus. Panjangnya 24 kaki, garis tengahnya lima kaki, beratnya 21 ton. Pada masa jabatan Bradbury, Los Alamos bagai terlibat dalam suatu perlombaan pembuatan bom gila-gilaan. Di satu pihak Rusia juga sedang getol-getolnya mencoba pelbagai bom. Di pihak lain, Los Alamos bersaingan dengan "pabrik bom" Amerika yang lain, laboratorium Livermore, yang didirikan di California pada 1952. "Sungguh bangga bisa bekerja di sini," ujar seorang teknikus yang menghabiskan 20 tahun masa kerja dalam urusan bom. "Los Alamos mempunyai lebih banyak persediaan ketimbang Livermore," katanya melanjutkan. Oppenheimer mungkin berhak disebut arsitek bom atom yang pertama," namun Bradbury menghasilkan lebih banyak," kata Thomas Powes. Produksi Los Alamos kini meliputi pelbagai model dan ukuran. "Anda sekarang ini dapat memasukkan selusin bom di ruang belakang sebuah mobil station wagon -- dengan kekuatan yang mampu membunuh beberapa juta manusia, dan menghancurkan sebuah metropolitan." Lalu, kapan semua ini baru berakhir? Oppenheimer pernah berlagak tahu. Ketika itu ia berbicara di tengah para pembantunya di Los Alamos, Oktober 1945. "Bila bom atom ditambahkan sebagai barang baru dalam gudang senjata bangsa-bangsa yang sedang berperang, atau bangsa-bangsa yang mempersiapkan diri untuk berperang, barulah umat manusia boleh mengutuk nama Los Alamos dan Hiroshima," katanya. Tapi Bradbury tokoh yang lebih "dingin". Ia tampaknya tak ambil pusing akan akibat yang bisa datang dari produknya. Berbeda dengan Oppenheimer, ia tak pernah mengaitkan bom atom dengan suatu kekuatan yang dapat menjadi "penghancur dunia". Tahu apa yang dikatakannya setelah Hiroshima remuk redam? "Itu bukan urusan saya. Saya seorang teknikus. Tugas saya ialah membuat segalanya berjalan lancar." Bersungguh-sungguhkah Bradbury? "Dia sebetulnya orang yang paling gugupan," kata Thomas Powers dalam tulisannya. Hal itu terlihat dalam wawancara tiga jam yang diberikannya di ruang konperensi Los Alamos. Ketika itu ia ditanya, apa yang harus kita persiapkan sebelum kita sendiri hancur berkeping-keping. Ia gugup "Alam memainkan tipuan yang jorok ini terhadap kita," katanya konon, terbata-bata. "Dalam usia saya kini, saya tak lagi terlalu pusing memikirkan keselamatan .. . Berapa banyak bom bisa dianggap cukup? Jumlahnya sudah di luar proporsi . . . Anda tak akan pernah lagi melihat demokrasi. Anda hanya bisa menyaksikan para jenderal terlibat dalam urusan ini . . . Saya tidak yakin masih cukup kuat kepentingan bersama di dunia untuk mengontrol barang ini . . . Satu orang gila saja sudah cukup . . . Sebelum seorang presiden meninggalkan lapangan golfnya, separuh negeri ini mungkin sudah kiamat. "Saya ini sudah tua. Konsep saya mengenai perang nuklir? Sebuah perang kecil saja sudah cukup menghancurkan dunia ini. Saya mungkin sedang berada di ujung jalan. Semua orang sedang melangkah di jalan itu. Meski tampak berbeda satu sama lain, "Oppenheimer dan Bradbury dirasuk firasat yang sama," kata Thomas Power. Hanya dalam gaya kedua orang itu tampak berbeda. Dalam pembicaraan Bradbury tersirat suatu kesimpulan akan maut yang semakin dekat, akan malapetaka yang pasti bakal terjadi. Sementara itu, seorang anak kandungnya sendiri ikut bekerja di Los Alamos. Tokoh lain yang ditemlui Thomas Powers untuk meramu tulisannya dalam Rolling Stone, 29 April lalu, adalah George Kistiakowsky, bos Bradbury di Los Alamos di masa perang. Orang ini sakit-sakitan. Pernah digigit kanker, sesak napas, dan harus tertegun-tegun bila menaiki tangga menuju kantornya di Laboratorium Kimia Gibbs di Harvard, tempat ia didudukkan sebagai profesor emiritus. Umurnya sudah 61. Kadang-kadang ia mengoceh, dalam usia itu ia tak ambil pusing lagi akan urusan nuklir "Tapi bila saya sedikit lebih muda," katanya, "Saya akan bangkit dalam amarah, dan tak dapat berpangku tangan." Ia memang tidak berpangku tangan. Kendati tak lagi berurusan dengan masalah pertahanan -- ia keluar dari Pentagon 1958 -- dia Ketua "Dewan untuk dunia yang lebih patut didiami" Lembaga ini berkantor di Boston dan Vashington. Banyak berbicara tentang bom atom, dan senantiasa menyambut usaha meneduhkan perlombaan nuklir Soviet-Amerika. Selama dua tahun -- sejak Juli 1959 hingga akhir masa jabatan Eisenhower yang kedua, 1961 -- Kistiakowsky menjadi penasihat ilmu sang presiden. Jabatan itu diperolehnya bukan lantaran karirnya sebagai kimiawan fisika, atau peranannya di Los Alamos, melainkan keterlibatannya dengan pelbagai masalah pertahanan, antara lain daam sebuah komite yang diketuai matematikawan cemerlang John von Neumann. Pada 1953 dan 1954, komite itulah yang mendesak penggalakan proyek rudal antarbenua (ICBM), sebagai ganti senjata bom yang harus diterbangkan dan dijatuhkan pilot-pilot khusus. Di atas kertas, Kistiakowsky penasihat Presiden Eisenhower mengenai segala macam ilmu pengetahuan. Tapi dalam kenyataan, "hari-hari kerjanya habis untuk memikirkan masalah pertahanan, senjata nuklir, dan cara mengungguli Rusia." Ia sangat menghargai Eisenhower. Ia menyebut Kennedy "muda, gegabah, sembrono, bahkan lancang." Pada 1960, salah satu tema kampanye Kennedy adalah "gap rudal" -- semacam ancaman akan kemampuan balistik Soviet yang semakin tinggi, hingga bisa menenggelamkan Amerika Serikat dalam serangan mendadak. Kistiakowsky menganggap kekhawatiran ini omong kosong. "Pesawat mata-mata U-2 kita tak pernah menemukan sebiji pun pangkalan rudal Soviet," katanya bersinis-sinis. Setelah Pemilu 1960, Kistiakowsky menolak permintaan menjadi penasihat ilmiah. Ia balik ke Harvard dan memperingatkan rekan-rekannya akan perang yang bakal berkecamuk. "Jika kalian mau selamat," katanya, "buatlah perlindungan yang kebal serangan udara." Pada Oktober 1962, ketika Krisis Rudal Kuba mencapai puncaknya, ramalan Kistiakowsky nyaris tepat. Kennedy memaklumkan karantina lautan atas negeri pulau itu. Dan berhasil mencegah perang yang sudah di bibir jurang. Kistiakowsky rupanya kecewa. Suatu siang, tatkala ketegangan sedang mencapai puncaknya, Kistiakowsky tertegun di tengah kuliahnya. "Kita bubar saja," katanya kepada para mahasiswanya yang kebingungan. "Kimia, fisika toh akhirnya tidak berguna. Saya tak dapat melanjutkan kuliah ini. Perang sedang mengancam kita." Namun perang itu urung adanya. Carson Mark adalah orang ketiga yang dijumpai Thomas Powers. Fisikawan Kanada ini tiba sebagai anak muda di Los Alamos, Mei 1945. Dan kini ia tampak jijik bila harus mengenang Los Alamos. "Alangkah baiknya bila kita melakukan percobaan bom atom di atmosfir setahun sekali," katanya. "Kita ajak semua anggota PBB dan semua kepala negara menyaksikan percobaan itu." Carson memang lebih mudah diajak bicara. "Saya yakin Margaret Thatcher tak pernah menyaksikan ledakan nuklir," katanya melanjutkan. "Apalagi Reagan. Bahkan Haig." Ia menganggap perlu melaksanakan semacam "penataran" tentang arti sesungguhnya senjata nuklir. Menyaksikan mungkin cara-terbaik untuk menghayati. Mark sendiri baru beroleh pengalaman langsung pada 'Operasi Sandstone' di Eniwetok, Pasifik, 1948. Suatu pengalaman yang lebih dari cukup. "Anda tak habis bertanya: dapatkah malapetaka ini dihentikan?" hatanya. ARK tinggal di Los Alamos setelah Perang -- sampai sekarang. Ia telah menyaksikan sekitar 15 sampai 20 kali percobaan nuklir, sampai percobaan yang terakhir di Kepulauan Christmas 1962. Dalam satu percobaan itu, suatu ketika ia berdiri di sisi seorang fisikawan, seorang konsultan aktif dan berpengaruh dari Departemen Pertahanan. Tokoh tersebut, kata Mark, dikenal sangat bergairah akan bombom nuklir, menganggap barang tersebut alat menentukan dalam perang modern, dan giat menyarankan pembuatan senjata nuklir. Tapi dia belum pernah menyaksikan sekali pun percobaan peledakan. Padahal percobaan yang pertama kali disaksikannya ini termasuk ukuran kecil, "sekedar" 10 kiloton. Dilakukan di tepi pantai, dalam jarak yang cukup jauh dari para pengamat. Mark bercakap-cakap dengan fisikawan itu sampai saatnya tiba untuk countdown. Kemudian terjadilah yang dinanti-nanti. Fisikawan itu memandang cahaya yang tiba-tiba bersinar, dengan mata terbelalak. "Yesus Kristus!" pekiknya, dan ia menghambur menuju pantai. Ketika ia tak lagi bisa berlari, ia menyusup ke semak-semak dan menutupi kepalanya dengan tangan. "Ia telah menyaksikannya," kata Mark mengakhiri ceritanya. Robert Bacher adalah tokoh lain yang ditemui Thomas Powers. Bacher bertugas membuat bagian terpenting -- inti plutonium -- dalam 'Tes Tritunggal'. Ia menyaksikan percobaan itu dari jarak 10 mil. Suara countdown disiarkan melalui radio gelombang panjang. Sementara hitungan menuju titik "Fire!" dari pemancar radio lokal terdengar musik Tchaikovsky Nutrocker Suite .... Bulan berikutnya Bacher bertugas mengawasi pembuatan inti plutonium untuk tiga biji bom. Dua di antaranya kelak dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Satu lagi sedianya diperuntukkan bagi sebuah kota Jepang juga. Barang tersebut sudah siap pada 10 Agustus 1945. DI luar bengkel asmbling itu menunggu kendaraan militer, yang mengangkut bombom tersebut ke Albuquerque di New Mexico. Di sana sudah menanti pesawat terbang yang akan berangkat menuju Pasifik. Bacher berada dalam sebuah kamar di seberang kantornya, siap menyampaikan laporan terakhir. Ia sedang menyerahkan bom itu kepada seorang perwira, tatkala tiba-tiba Oppenheimer muncul tergesa-gesa. "Kita menerima perintah pembatalan," katanya. Bom ketiga itu tetap berada di Los Alamos sampai hari ini. Dan sejak saat itulah, agaknya, Amerika mulai dengan penimbunan senjata nuklir. Dalam minggu itu juga, dengan menumpang kereta api, Bacher menuju Washington untuk menanyakan pada Groves apa yang harus dilakukan selanjutnya. Pada suatu malam, tatkala melintasi wilayah Kansas bagian barat, tibalah berita berakhirnya Perang Dunia II. "Seseorang kebetulan membawa Johnny Walker Black Label," ujar Bacher mengenang. "Kami minum-minum a la kadarnya, kemudian tidur." Bacher lantas segera kembali ke Universitas Cornell, tempat ia mengajar sebelum Perang. Tapi rupanya ia belum diberi kesempatan bersenang-senang. Sebagai salah seorang anggota Komisi Energi Atom sejak lembaga itu terbentuk, ia diminta memberikan nasihat ilmiah bagi Bernard Baruch. Yang disebut terakhir ini sedang mencoba berunding dengan Rusia, menjajaki kesepakatan tentang pengawasan senjata nuklir. Bacher juga penasihat pada Ramo Woolridge, tatkala perusahaan itu mulai membangun ICBM Amerika Serikat yang pertama, 1954. Sejak saat itu ia masih terlibat dalam kegiatan pelbagai komisi. Kini ia profesor emiritus pada Institut Teknologi California. Tatkala Thomas Powers datang mewawancarainya, dan menanyakan kesan Bacher tentang bom atom itu sekarang, orang tua itu terlompat kaget. "Sungguh suatu mukjizat bahwa kita masih hidup hari ini," katanya. "Pada 1945, saya berpikir akan suatu perjanjian internasional, paling tidak 10 tahun kemudian, mengenai pengawasan senjata nuklir. Atau dunia ini musnah dalam lautan api. Ternyata kekhawatiran saya berlebihan." Ia kini mengatakan, kita tengah hidup di dunia yang dipersenjatai secara sangat berlebihan. Masing-masing pihak yang saling mengintai sama menyadari betapa berbahayanya senjata nuklir. Ia dapat mengakibatkan kehancuran dalam "skala yang sesungguhnya tak bisa dibayangkan." Dan dalam dekade mendatang, kata Bacher, Amerika masih memiliki senjata nuklir lebih dari cukup, bahkan bila jumlahnya dikurangi separuh. Pada saat itu nanti, AS akan memiliki 9.000 rudal strategis. Bila dikurangi separuh, jumlah yang tinggal masih 4.500. Ambillah 10% saja dari jumlah ini, sehingga yang tersisa hanya 450. Ketika Robert McNamara menjadi menteri pertahanan pada 1960-an, ia mengatakan 400 rudal saja sudah cukup untuk membuat Rusia babak belur. Bila ke-400 rudal itu ditembakkan, separuh industri Rusia lumpuh dan seperempat penduduk negeri itu berangkat ke alam baka. "Jauh dari maksud mengurangi, hingga sekarang malah kita terus berlomba menimbun senjata nuklir," kata Thomas Powers. Musim panas 1950, Richard Garwin masih duduk di bangku kuliah jurusan fisika Universitas Chicago. Los Alamos ketika itu sedang mulai dengan sebuah crash program pembuatan bom termonuklir -- semacam paduan atau bom hidrogen, dengan pemisahan biasa inti atom sebagai picu. Segera setelah Hiroshima, dan Garwin masih berusia 17, ia memperoleh sebuah salinan laporan resmi Proyek Manhattan, yang ditulis Henry de Wolfe Smythe. Ketika itu Garwin baru saja menyelesaikan tahun pertamanya di universitas. Adalah Enrico Fermi yang pertama kali melihat bahwa anak ini dapat diharapkan di masa depan. Dan ia memberi Garwin rekomendasi berkunjung ke Los Alamos setiap libur musim panas. Garwin menikmati kunjungan-kunjungan itu. Ia selalu datang sampai musim panas 1964 -- dan terlibat dalam banyak percobaan. Di kalangan pertahanan, "Garwin adalah tokoh yang unik," kata Thomas Powers. Ia bekerja di bidang perencanaan senjata, tapi tak sekali pun menyaksikan percobaan peledakan. Padahal ia punya banyak kesempatan. Ketika hal ini ditanyakan kepadanya, Garwin menjawab polos, "Saya tak menyukainya." Ada dua pekerjaan pokoknya. Ia teman riset Thomas J. Watson di IBM, dan pembantu guru besar fisika di Universitas Columbia. Namun perhatiannya yang terbesar ditumpahkan pada bidang pertahanan. Dalam pandangan Garwin, satu-satunya keuntungan yang dijanjikan senjata nuklir adalah "stabilitas". Semacam keyakinan, bahwa setiap serangan nuklir dari luar pasti mendapat balasan setimpal. Kalangan pertahanan cenderung mengaitkan sikap ini sebagai tindakan berjaga-jaga. Dalam cara berpikir seperti itu, "makin banyak senjata nuclir berarti makin terjamin stabilitas." Kalau sikap ini disahkan, "maka semua negeri membangun persenjataan nuklirnya masing-masing, tanpa henti," kata Thomas Powers. Padahal sekarang ini, "makin banyak orang yang tak mendapat kesempatan menyaksikan percobaan peledakan senjata nuklir." Makin banyak pula orang yang lupa betapa dahsyat sesungguhnya senjata itu. Para presiden dan penasihat tingkat pusat tak pernah tahu detil peperangan. Mereka hanya memandang peta, dan mencatat kekalahan serta kemenangan dengan angka satuan yang bisa kelihatan tidak begitu berkesan. Garwin tahu sebagian besar detil itu. Ia pernah bekerja dalam Dewan Pertimbangan Keilmuan Joint Strategic Target Planning Staff (JSTPS) yang berada di bawah Komando Udara Strategis di Pangkalan Angkatan Udara Offut di dekat Omaha, Nebraska. Hingga 1960, ketika menteri pertahanan Thomas Gates mendirikan JSTPS, Angkatan Darat, Laut dan Udara AS mempunyai rencana sendiri-sendiri dalam menggasak Uni Soviet. Kini JSTPS menyusun rencana tunggal yang dinamakan Rencana Operasi Tunggal Terpadu (SIOP). SIOP-lah yang menentukan sasaran untuk setiap rudal. Garwin tahu persis bahaya apa yang berlindung di balik semua rencana besar itu. Tapi para presiden tak mengetahuinya. Mereka menganggap urusan ini remeh-temeh. Dan sementara itu JSTPS berusaha menebak dan melayani keinginan Washington hanya berdasarkan pidato-pidato presiden. Tokoh berikutnya yang patut disebut adalah Victor Weisskopf. Fisikawan Austria ini datang ke Amerika Serikat pada 1937, dan menjabat Direktur Pusat Riset Nuklir Eropa (CERN) hingga pertengahan 1960-an. Ia mengembangkan CERN sebagai iurannya kepada "peradaban Eropa". Sampai sekarang ia masih menghabiskan tiap musim panasnya untuk CERN di Jenewa -- dan menganggap pekerjaan itu "bagian yang paling menarik dalam hidup saya, lain sama sekali dari saat-saat di Los Alamos." Kini, pandangan Weisskopf terhadap dunia ini merupakan campuran antara kekhawatiran akan bom yang dulu ia turut buat, dan kecerahan optimisme yang mempercayai akal sehat manusia. Pada musim dingin 1948, dia termasuk di antara 12 fisikawan yang menandatangani sebuah ikrar untuk tidak lagi terlibat dalam pembuatan senjata hidrogen. Tapi Rusia meledakkan bomnya yang pertama, Agustus 1949. Ikrar itu turut terguncang. Satu demi satu para penanda tangan kembali dipanggil dan bekerja di berbagai laboratorium. Sebagian besar tak bisa mengelakkan diri dalam crash program Presiden Truman -- pembuatan sebuah bom H. Weisskopf satu di antara sedikit fisikawan yang tetap setia kepada ikrar. Kelak, ketika ia didesak kebutuhan uang untuk menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi, ia terpaksa juga bekerja di Departemen Pertahanan. Tapi bukan dalam urusan bom, melainkan sebagai perencana penyiaran gelombang radio di atmosfir tinggi. Ia tetap malu melakukan hal itu. IA bukan tipe orang yang mudah cemas. Oktober 1962, sementara terbenam dalam tugas-tugasnya di CERN, ia tak pernah membayangkan perang akan pecah dalam waktu singkat. Ia tak begitu pusing ketika krisis Kuba muncul. Juga tak begitu terpengaruh oleh gembar-gembor Khruschev untuk menempatkan peluru kendali jarak menengah di Kuba. Justru pada saat itu ia menerima telegram dari seorang sahabat lama, fisikawan Leo Szilard. Dan Szilard mungkin orang pertama yang mendesak Amerika Serikat untuk membuat bom atom -- sudah sejak awal Perang Dunia II. Dengan bantuan fisikawan Princeton, Eugene Wigner, Szilardlah yang merancang surat terkenal yang dikirimkan kepada Presiden Roosevelt. Ia pula yang membujuk Einstein membubuhkan tanda tangan. Hasil kongkrit surat tersebut adalah 'Proyek Manhattan'. Weisskopf menjemput sahabat lama itu di bandar udara Jenewa. Szilard tetap seperti dulu. Berperawakan kecil, botak, berkaca mata. Ia membawa 15 potong barang -- tampaknya bukan sekedar kunjungan biasa. Secara bersungguh-sungguh ia membisikkan kepada Weisskopf: "Akulah pengungsi pertama Perang Dunia III." Ia rupanya sangat yakin krisis Kuba akan menyalakan api Perang Dunia. Tapi perang itu tak kunjung datang. Khruschev berhasil dijinakkan. Dan para pembuat bom atom yang pertama terus juga bertambah tua. Sementara itu, tak sekeping pun persetujuan internasional yang sampai pada keputusan mengontrol seluruhnya penggunaan senjata nuklir. Jumlah bom yang dibuat makin hari makin banyak, dari belasan sampai puluhan ribu. Tokoh lain adalah Stanislaw Ulam. Ia datang dari Polandia. Sejak mahasiswa, ketika masih di kampung halaman, ia sudah tergila-gila matematika. Di Warsawa ia mengimpikan terlibat dalam "pekerjaan besar". Sekali waktu, di Inggris, ia pernah terpana ketika berada dekat sekali dengan kamar tempat Isaac Newton pernah tinggal ketika masih menjadi mahasiswa. Pada saat yang lain, di Paris, ia terpesona memandang jalan-jalan di sekitar Sorbonne, yang diberi nama orang-orang besar ilmu pengetahuan. "Alangkah bahagianya," katanya saat itu, "bila seratus tahun lagi namaku diabadikan sekalipun untuk sebuah lorong." Meski cita-cita itu belum terkabul, nama Ulam kini tercatat dalam sejarah fisika, paling tidak sebagai orang yang terlibat dalam pembuatan senjata atom yang pertama. Ulam tiba di Los Alamos musim gugur 1943. Dan sejak saat itu ia tak pernah meninggalkan New Mexico, kecuali untuk beberapa waktu di California, setelah Perang. KINI ia serba tak pasti bila dihadapkan dengan pertanyaan di sekitar bom maut itu. "Ia tak merasa bersalah secara pribadi," kata Thomas Powers mengambil kesimpulan. Dalam pikiran Ulam, tanpa dia toh bom itu pasti terwujud. Ia kini bahkan tak bisa membayangkan "ketololan manusia dengan cadangan senjata nuklir yang demikian banyak. Ulam sendiri tak ikut menyaksikan tes di Alamogordo. Mengapa? Ia tak mau menjelaskan. Kalau didesak juga, ia berkata seenaknya, "hanya sekedar malas". Ia memang seperti orang latah Kadang-kadang, tanpa diminta, ia berkata "Saya sangat Amerika. Saya menyukai happy ending. Tapi film-film sekarang selalu penuh horor dan kekerasan. Saya senang komedi." Sekitar 36 jam setelah Tes Tritunggal, Victor Weisskopf memandang aman untuk meninjau areal peledakan. Ia memang bertugas menjajaki segala efek yang ditimbulkan percobaan ini. Berkendaraan sebuah jeep tua, Weisskopf berangkat bersama Fermi, fisikawan Hans Bethe, dan direktur militer seluruh Proyek Manhattan, Jenderal Leslie R. Groves. Apa yang mereka temukan pertama kali adalah padang kerontang yang telanjang. Menara baja setinggi 100 kaki, tempat bom itu dipasang untuk diletupkan, raib sama sekali. Tanah sekitar tempat menara itu pernah berdiri, rata dan berkilat sampai seluas sekitar 600 kaki. Uap panas bom tersebut -- mencapai 100.000.000ø Fahrenheit, sepuluh kali lebih panas ketimbang matahari tepat di pusatnya -- mengubah gurun pasir itu menjadi hijau kelabu, berkilauan "bagai botol Coca Cola". Kelak, bagian mengkilap itu diberi nama trinitite. Pengetahuan tentang radiasi belum lengkap tatkala itu. Ketika butir-butir pertama plutonium tiba di Los Alamos dari kilangnya di Hanford, Washington, Weisskopf begitu saja meletakkan barang itu di telapak tangannya -- perbuatan yang kemudian diketahuinya sangat dungu. Karena itu tak heran, kalau ketika itu para fisikawan seenaknya saja mengambili trinitite dan meletakkannya di laboratorium. "Tatkala saya mengunjungi Los Alamos musim semi kemarin," kata Thomas Powers," saya mendengar cerita tentang seorang wanita dari tahun 1960-an." Wanita itu mengenakan kalung yang terbuat dari trinitite, tanpa mengerti perhiasan itu berbahaya sekali. Thomas sendiri menyaksikan trinitite pertama kali di museum kecil di Los Alamos, yang diberi nama Norris Bradbury. Bradbury sendiri memandang pemberian nama itu tindakan yang tolol. "Saya 'kan belum mati?" katanya dengan wajah jenaka. Tepat di belakang pintu museum, terdapat sebuah etalase kecil. Di situ dipajang pelbagai benda yang berhubungan dengan perkembangan atom. Ada sepotong logam yang dipungut dari reruntuhan Hiroshima, atau segenggam pasir yang dijemput dari pulau kecil di Pasifik, tempat bom termonuklir diledakkan dalam suatu percobaan. Di antara "fosil" itulah terdapat trinitite, tak lebih besar dari sekeping dollar perak. Diletakkan dengan cara yang cermat di dalam kotak kaca tebal, pemandu museum menerangkan kepada Thomas, "barang ini mengandung radio aktif." SEPULUH hari setelah kunjungan ke museum kecil Los Alamos itu, Thomas Powers berada di Laboratorium Nasional Argonne, agak di luar Kota Chicago. Ia bertanya kepada Ellis Steinberg akan kandungan trinitite. Fisikawan terkenal itu menerangkan pelbagai hal. Trinitite, misalnya, mengandung isotop seperti iodine 131 dengan kondisi setengah hidup selama delapan hari. Hal itu berarti 1% radio aktivitasnya membusuk dalam setiap delapan hari. Tapi masih banyak kandungan lain. Maka ketika Thomas Powers bercerita tentang wanita yang mengenakan kalung trinitite tadi, Steinberg terperanjat. Sejarah bom atom sejak Perang Dunia II teryata bukannya makin suram, tapi malahan makin cemerlang Tapi tentang para fisikawan sendiri, "optimisme mereka belum hilang," kata Thomas Powers. Kecuali memang pada George Kistiakowsky. Ia seperti tak melihat setitik pun lagi sinar terang. Ia melihat segala sesuatu berdasarkan kesaksiannya dalam percobaan di Gurun Alamogordo bulan Juli 1945 itu. Maklum ia terlibat dalam seluruh proses percobaan peledakan pertama itu. Bekerja siang dan malam, mengawasi pembangunan menara baja setinggi 100 kaki, bahkan turut berjaga pada malam menjelang peledakan, sebagai usaha mencegah kemungkinan sabotase. Kistiakowsky hanya 5% mil dari tempat percobaan, ketika bom pertama itu meledak. Ia terguncang. Meski mengenakan kaca mata hitam dan membelakangi arah ledakan, ia masih dapat menyaksikan cahaya luar biasa yang dipantulkan kembali oleh gunung gemunung yang memagari Alamogordo. Ia tak menyangka "hasil karya"nya demikian dahsyat. Sehari setelah itu ia kembali ke Los Alamos -- siap mengerjakan bom yang akan menghancurkan Nagasaki tiga minggu kemudian. Makan siang di kafetaria hari itu, ia ditemani reporter New York Times William Laurence. Laurence menanyakan reaksi Kistiakowsky atas Tes Tritunggal. Jawabnya: "Saya percaya bahwa pada akhir dunia -- pada milisekon terakhir eksistensi bumi -- makhluk terakhir akan bisa menyaksikan apa yang telah kami saksikan." Ketika baru-baru ini Thomas Powers kembali menanyakan hal yang sama kepada Kistiakowsky, ia tak mengubah jawabannya. Ia bahkan menepuk meja. Ia tak bisa diajak lagi mempercayai hari depan dunia dengan cadangan senjata nuklir yang semakin bertumpuk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus