PADA mulanya adalah cahaya. Sinar putih cemerlang yang membuat
pemandangan di gurun itu 20 kali lebih terang ketimbang siang.
Untuk beberapa detik, tak ada suara. Padahal sejenis bom yang
dahsyat sedang dicoba: bom atom, yang kemudian dijatuhkan di
atas Hiroshima dan Nagasaki.
Harinya adalah 16 Juli 1945, 37 tahun yang lalu. 'Tes
Tritunggal' (Trinity Test) itu diselenggarakan di Gurun
Alamogordo, New Mexico, Amerika. Serikat. Sebagian besar ilmuwan
yang menyaksikan 'isyarat Armageddon' itu mengambil jarak
sekitar 10 mil dari tempat ledakan. Mereka sebetulnya belum tahu
pasti akibat yang bakal ditimbulkannya.
Dan cahaya itu meluas dan semakin meninggi. Beberapa di antara
pengamat bahkan dihinggapi panik, kalau-kalau perluasan medan
cahaya itu tidak pernah berhenti, meskipun hal itu secara ilmiah
mustahil.
Adalah Enrico Fermi, orang pertama yang merancang reaktor atom
di dunia, yang telah membuat perhitungan pembakaran nitrogen
secara spontan di atmosfir. Fermi tak pernah salah, tapi tetap
saja ada kekhawatiran melihat cahaya luar biasa itu -- terhadap
proses yang bisa mengubah planet bumi menjadi matahari.
Lima puluh detik kemudian barulah terdengar suara ledakan.
Gelegar yang sungguh dahsyat, yang sukar dilupakan para saksi
mata di Gurun Alamogordo. Namun "cahaya itu tetap lebih
mengesankan," kata Norris Bradbury, salah seorang saksi mata.
Kini, setelah hampir 40 tahun berlalu, apa kata para perancang
dan pembuat bom atom itu tentang "karya besar" mereka?
Pertanyaan itu rupanya menggoda Thomas Powers, dan mengantarkan
dia melalui berbagai perjalanan menemui para tokoh yang turut
mengubah sejarah dunia.
BRADBURY termasuk salah seorang pembuat bom pertama. Ia, kini,
berada di jenjang usia 70-an. Memasuki masa pensiun pada
September 1970, 25 tahun kemudian sejak ia ditunjuk sebagai
direktur laboratorium Los Alamos, tempat bom atom pertama
dirancang dan dibuat.
Ia pun kini tetap bermukim di Los Alamos, sebuah kota sekitar 30
mil di utara Santa Fe, New Mexico. Kota ini dibangun dalam gaya
motel, tapi daerah pinggirannya sangat indah.
Berperawakan gemuk dan kekar, Bradbury senantiasa riang, dengan
uban menghias sisi kepalanya yang sulah. Dasinya selalu licin,
dengan jepitan perak hadiah tatkala akan memasuki masa pensiun.
Ia mengendarai mobil pickup, dan seperti para pembuat bom atom
lainnya ia menyatakan kesediaan berbicara, namun merasa tak tahu
apa yang harus dibicarakan.
Bradbury adalah tipe khas teknokrat yang kurang kepercayaan diri
sendiri. Ia menganggap dirinya tak lebih seorang administrator,
sama sekali tak berperanan dalam mengambil keputusan penting.
"Dengan cara itu pula Bradbury mengabdikan dirinya dalam
semangat Oppenheimer," kata Thomas Powers dalam tulisannya di
Rolling Stone 29 April 1982. Adalah J. Robert Oppenheimer,
direktur Los Alamos selama masa Perang Dunia II, dialah yang
memberi nama 'Tes Tritunggal' pada percobaan bom atom tadi.
Tapi mengapa 'Tritunggal'? Tak pernah ada penjelasan.
"Oppenheimer melaksanakan proyek bom itu tanpa mengenal
istirahat," kata Thomas Powers, "sampai bom yang pertama
akhirnya berhasil dibuat " Peristiwa itu merupakan sukses
teknologi yang sangat penting.
Dan Bradbury tak bisa melupakan kebanggaan Oppenheimer. Dalam
ungkapan Bradbury, Oppenheimer bangga "bagai seekor burung
merak". Barulah kemudian menyusul rasa was-was. Dalam
pikirannya, tiba-tiba melintas sepenggal sajak Hindu: "Akulah
sang maut, penghancur dunia."
Oppenheimer menyadari hal itu. Dalalm sebuah wawancara dengan
Time beberapa waktu kemudian, ia mencetuskan ucapannya yang
sangat terkenal: "para fisikawan telah mencicipi dosa" (TEMPO 17
Oktober 1981). Secara pribadi pula Oppenheimer mengaku kepada
Presiden Truman, tangannya "telah berdarah".
Bradbury menerima jabatan direktur Los Alamos di bawah bayangan
Oppenheimer. Dari segi temperamen, ia bukan orang yang ingin
memikul tanggung jawab moral atas nasib dunia di pundaknya.
Selama 25 tahun setelah perang, ia memimpin laboratorium Los
Alamos dan melayani permintaan Washington dengan takzim.
Mulanya bom buatan Los Alamos berukuran besar, kasar, tidak
stabil, dan berbahaya sekali untuk "diurus". Bom yang
menghancurkan Hirhoshima, misalnya, adalah sebuah monster
berbentuk singkong dengan nama Fat Boy (Si Buyung Gendut).
Hakekatnya, konon, bom ini menggunakan semua cadangan uranium
235 yang ada di muka bumi waktu itu". Tahap akhir pembuatannya
dilakukan di udara: mencegah ledakan dan terbunuhnya semua orang
Amerika di Pulau Tinian.
Tapi kini, "kebijaksanaan nuklir sama berbahayanya dengan
bom-bom pertama di sekitar 1945-1946 itu," kata Thomas Powers
dalam tulisannya. Ia kemudian bertanya, "Berapa banyak bom yang
dibutuhkan Amerika sesungguhnya?"
Jenderal Leslie R. Groves, Komandan Proyek Manhattan yang
membawahkan Los Alamos, memberi jawaban dengan perhitungan
sederhana. Ia menjumlahkan kapasitas produksi uranium 235 dan
plutonium negeri itu. Angka tadi dibagi dengan takaran yang
dibutuhkan sebiji bom. Dan itulah jumlah bom yang diperlukan.
PARA ilmuwan yang tetap tinggali Los Alamos setelah perang
lebih banyak terlibat dalam hal "penimbunan dan pengadaan"
barang. Umpamanya, bagaimana menghasilkan ledakan yang lebih
yahud dengan jumlah plutonium dan U-235 yang lebih kecil. Atau
membuat bom yang lebih mungil dan ringan, sehingga gampang
dibawa ke mana-mana.
Pekerjaan membuat bom hidrogen dimulai Januari 1950. Bom pertama
yang dapat dijatuhkan dari pesawat udara itu sama besarnya
dengan seekor ikan paus. Panjangnya 24 kaki, garis tengahnya
lima kaki, beratnya 21 ton.
Pada masa jabatan Bradbury, Los Alamos bagai terlibat dalam
suatu perlombaan pembuatan bom gila-gilaan. Di satu pihak Rusia
juga sedang getol-getolnya mencoba pelbagai bom. Di pihak lain,
Los Alamos bersaingan dengan "pabrik bom" Amerika yang lain,
laboratorium Livermore, yang didirikan di California pada 1952.
"Sungguh bangga bisa bekerja di sini," ujar seorang teknikus
yang menghabiskan 20 tahun masa kerja dalam urusan bom. "Los
Alamos mempunyai lebih banyak persediaan ketimbang Livermore,"
katanya melanjutkan.
Oppenheimer mungkin berhak disebut arsitek bom atom yang
pertama," namun Bradbury menghasilkan lebih banyak," kata Thomas
Powes. Produksi Los Alamos kini meliputi pelbagai model dan
ukuran. "Anda sekarang ini dapat memasukkan selusin bom di ruang
belakang sebuah mobil station wagon -- dengan kekuatan yang
mampu membunuh beberapa juta manusia, dan menghancurkan sebuah
metropolitan."
Lalu, kapan semua ini baru berakhir? Oppenheimer pernah berlagak
tahu. Ketika itu ia berbicara di tengah para pembantunya di Los
Alamos, Oktober 1945. "Bila bom atom ditambahkan sebagai barang
baru dalam gudang senjata bangsa-bangsa yang sedang berperang,
atau bangsa-bangsa yang mempersiapkan diri untuk berperang,
barulah umat manusia boleh mengutuk nama Los Alamos dan
Hiroshima," katanya.
Tapi Bradbury tokoh yang lebih "dingin". Ia tampaknya tak ambil
pusing akan akibat yang bisa datang dari produknya. Berbeda
dengan Oppenheimer, ia tak pernah mengaitkan bom atom dengan
suatu kekuatan yang dapat menjadi "penghancur dunia". Tahu apa
yang dikatakannya setelah Hiroshima remuk redam? "Itu bukan
urusan saya. Saya seorang teknikus. Tugas saya ialah membuat
segalanya berjalan lancar."
Bersungguh-sungguhkah Bradbury? "Dia sebetulnya orang yang
paling gugupan," kata Thomas Powers dalam tulisannya. Hal itu
terlihat dalam wawancara tiga jam yang diberikannya di ruang
konperensi Los Alamos. Ketika itu ia ditanya, apa yang harus
kita persiapkan sebelum kita sendiri hancur berkeping-keping.
Ia gugup "Alam memainkan tipuan yang jorok ini terhadap kita,"
katanya konon, terbata-bata. "Dalam usia saya kini, saya tak
lagi terlalu pusing memikirkan keselamatan .. . Berapa banyak
bom bisa dianggap cukup? Jumlahnya sudah di luar proporsi . . .
Anda tak akan pernah lagi melihat demokrasi. Anda hanya bisa
menyaksikan para jenderal terlibat dalam urusan ini . . . Saya
tidak yakin masih cukup kuat kepentingan bersama di dunia untuk
mengontrol barang ini . . . Satu orang gila saja sudah cukup . .
. Sebelum seorang presiden meninggalkan lapangan golfnya,
separuh negeri ini mungkin sudah kiamat.
"Saya ini sudah tua. Konsep saya mengenai perang nuklir? Sebuah
perang kecil saja sudah cukup menghancurkan dunia ini. Saya
mungkin sedang berada di ujung jalan. Semua orang sedang
melangkah di jalan itu.
Meski tampak berbeda satu sama lain, "Oppenheimer dan Bradbury
dirasuk firasat yang sama," kata Thomas Power. Hanya dalam gaya
kedua orang itu tampak berbeda. Dalam pembicaraan Bradbury
tersirat suatu kesimpulan akan maut yang semakin dekat, akan
malapetaka yang pasti bakal terjadi. Sementara itu, seorang
anak kandungnya sendiri ikut bekerja di Los Alamos.
Tokoh lain yang ditemlui Thomas Powers untuk meramu tulisannya
dalam Rolling Stone, 29 April lalu, adalah George Kistiakowsky,
bos Bradbury di Los Alamos di masa perang. Orang ini
sakit-sakitan. Pernah digigit kanker, sesak napas, dan harus
tertegun-tegun bila menaiki tangga menuju kantornya di
Laboratorium Kimia Gibbs di Harvard, tempat ia didudukkan
sebagai profesor emiritus.
Umurnya sudah 61. Kadang-kadang ia mengoceh, dalam usia itu ia
tak ambil pusing lagi akan urusan nuklir "Tapi bila saya sedikit
lebih muda," katanya, "Saya akan bangkit dalam amarah, dan tak
dapat berpangku tangan."
Ia memang tidak berpangku tangan. Kendati tak lagi berurusan
dengan masalah pertahanan -- ia keluar dari Pentagon 1958 -- dia
Ketua "Dewan untuk dunia yang lebih patut didiami" Lembaga ini
berkantor di Boston dan Vashington. Banyak berbicara tentang
bom atom, dan senantiasa menyambut usaha meneduhkan perlombaan
nuklir Soviet-Amerika.
Selama dua tahun -- sejak Juli 1959 hingga akhir masa jabatan
Eisenhower yang kedua, 1961 -- Kistiakowsky menjadi penasihat
ilmu sang presiden. Jabatan itu diperolehnya bukan lantaran
karirnya sebagai kimiawan fisika, atau peranannya di Los Alamos,
melainkan keterlibatannya dengan pelbagai masalah pertahanan,
antara lain daam sebuah komite yang diketuai matematikawan
cemerlang John von Neumann.
Pada 1953 dan 1954, komite itulah yang mendesak penggalakan
proyek rudal antarbenua (ICBM), sebagai ganti senjata bom yang
harus diterbangkan dan dijatuhkan pilot-pilot khusus.
Di atas kertas, Kistiakowsky penasihat Presiden Eisenhower
mengenai segala macam ilmu pengetahuan. Tapi dalam kenyataan,
"hari-hari kerjanya habis untuk memikirkan masalah pertahanan,
senjata nuklir, dan cara mengungguli Rusia."
Ia sangat menghargai Eisenhower. Ia menyebut Kennedy "muda,
gegabah, sembrono, bahkan lancang."
Pada 1960, salah satu tema kampanye Kennedy adalah "gap rudal"
-- semacam ancaman akan kemampuan balistik Soviet yang semakin
tinggi, hingga bisa menenggelamkan Amerika Serikat dalam
serangan mendadak. Kistiakowsky menganggap kekhawatiran ini
omong kosong. "Pesawat mata-mata U-2 kita tak pernah menemukan
sebiji pun pangkalan rudal Soviet," katanya bersinis-sinis.
Setelah Pemilu 1960, Kistiakowsky menolak permintaan menjadi
penasihat ilmiah. Ia balik ke Harvard dan memperingatkan
rekan-rekannya akan perang yang bakal berkecamuk. "Jika kalian
mau selamat," katanya, "buatlah perlindungan yang kebal serangan
udara."
Pada Oktober 1962, ketika Krisis Rudal Kuba mencapai puncaknya,
ramalan Kistiakowsky nyaris tepat. Kennedy memaklumkan karantina
lautan atas negeri pulau itu. Dan berhasil mencegah perang yang
sudah di bibir jurang. Kistiakowsky rupanya kecewa.
Suatu siang, tatkala ketegangan sedang mencapai puncaknya,
Kistiakowsky tertegun di tengah kuliahnya. "Kita bubar saja,"
katanya kepada para mahasiswanya yang kebingungan. "Kimia,
fisika toh akhirnya tidak berguna. Saya tak dapat melanjutkan
kuliah ini. Perang sedang mengancam kita." Namun perang itu
urung adanya.
Carson Mark adalah orang ketiga yang dijumpai Thomas Powers.
Fisikawan Kanada ini tiba sebagai anak muda di Los Alamos, Mei
1945. Dan kini ia tampak jijik bila harus mengenang Los Alamos.
"Alangkah baiknya bila kita melakukan percobaan bom atom di
atmosfir setahun sekali," katanya. "Kita ajak semua anggota PBB
dan semua kepala negara menyaksikan percobaan itu."
Carson memang lebih mudah diajak bicara. "Saya yakin Margaret
Thatcher tak pernah menyaksikan ledakan nuklir," katanya
melanjutkan. "Apalagi Reagan. Bahkan Haig." Ia menganggap perlu
melaksanakan semacam "penataran" tentang arti sesungguhnya
senjata nuklir.
Menyaksikan mungkin cara-terbaik untuk menghayati. Mark sendiri
baru beroleh pengalaman langsung pada 'Operasi Sandstone' di
Eniwetok, Pasifik, 1948. Suatu pengalaman yang lebih dari cukup.
"Anda tak habis bertanya: dapatkah malapetaka ini dihentikan?"
hatanya. ARK tinggal di Los Alamos setelah Perang -- sampai
sekarang. Ia telah menyaksikan sekitar 15 sampai 20 kali
percobaan nuklir, sampai percobaan yang terakhir di Kepulauan
Christmas 1962. Dalam satu percobaan itu, suatu ketika ia
berdiri di sisi seorang fisikawan, seorang konsultan aktif dan
berpengaruh dari Departemen Pertahanan.
Tokoh tersebut, kata Mark, dikenal sangat bergairah akan bombom
nuklir, menganggap barang tersebut alat menentukan dalam perang
modern, dan giat menyarankan pembuatan senjata nuklir. Tapi dia
belum pernah menyaksikan sekali pun percobaan peledakan.
Padahal percobaan yang pertama kali disaksikannya ini termasuk
ukuran kecil, "sekedar" 10 kiloton. Dilakukan di tepi pantai,
dalam jarak yang cukup jauh dari para pengamat.
Mark bercakap-cakap dengan fisikawan itu sampai saatnya tiba
untuk countdown. Kemudian terjadilah yang dinanti-nanti.
Fisikawan itu memandang cahaya yang tiba-tiba bersinar, dengan
mata terbelalak. "Yesus Kristus!" pekiknya, dan ia menghambur
menuju pantai. Ketika ia tak lagi bisa berlari, ia menyusup ke
semak-semak dan menutupi kepalanya dengan tangan. "Ia telah
menyaksikannya," kata Mark mengakhiri ceritanya.
Robert Bacher adalah tokoh lain yang ditemui Thomas Powers.
Bacher bertugas membuat bagian terpenting -- inti plutonium --
dalam 'Tes Tritunggal'. Ia menyaksikan percobaan itu dari jarak
10 mil. Suara countdown disiarkan melalui radio gelombang
panjang. Sementara hitungan menuju titik "Fire!" dari pemancar
radio lokal terdengar musik Tchaikovsky Nutrocker Suite ....
Bulan berikutnya Bacher bertugas mengawasi pembuatan inti
plutonium untuk tiga biji bom. Dua di antaranya kelak dijatuhkan
di Hiroshima dan Nagasaki. Satu lagi sedianya diperuntukkan bagi
sebuah kota Jepang juga. Barang tersebut sudah siap pada 10
Agustus 1945.
DI luar bengkel asmbling itu menunggu kendaraan militer, yang
mengangkut bombom tersebut ke Albuquerque di New Mexico. Di sana
sudah menanti pesawat terbang yang akan berangkat menuju
Pasifik.
Bacher berada dalam sebuah kamar di seberang kantornya, siap
menyampaikan laporan terakhir. Ia sedang menyerahkan bom itu
kepada seorang perwira, tatkala tiba-tiba Oppenheimer muncul
tergesa-gesa. "Kita menerima perintah pembatalan," katanya. Bom
ketiga itu tetap berada di Los Alamos sampai hari ini.
Dan sejak saat itulah, agaknya, Amerika mulai dengan penimbunan
senjata nuklir.
Dalam minggu itu juga, dengan menumpang kereta api, Bacher
menuju Washington untuk menanyakan pada Groves apa yang harus
dilakukan selanjutnya. Pada suatu malam, tatkala melintasi
wilayah Kansas bagian barat, tibalah berita berakhirnya Perang
Dunia II. "Seseorang kebetulan membawa Johnny Walker Black
Label," ujar Bacher mengenang. "Kami minum-minum a la kadarnya,
kemudian tidur."
Bacher lantas segera kembali ke Universitas Cornell, tempat ia
mengajar sebelum Perang. Tapi rupanya ia belum diberi kesempatan
bersenang-senang. Sebagai salah seorang anggota Komisi Energi
Atom sejak lembaga itu terbentuk, ia diminta memberikan nasihat
ilmiah bagi Bernard Baruch. Yang disebut terakhir ini sedang
mencoba berunding dengan Rusia, menjajaki kesepakatan tentang
pengawasan senjata nuklir.
Bacher juga penasihat pada Ramo Woolridge, tatkala perusahaan
itu mulai membangun ICBM Amerika Serikat yang pertama, 1954.
Sejak saat itu ia masih terlibat dalam kegiatan pelbagai komisi.
Kini ia profesor emiritus pada Institut Teknologi California.
Tatkala Thomas Powers datang mewawancarainya, dan menanyakan
kesan Bacher tentang bom atom itu sekarang, orang tua itu
terlompat kaget. "Sungguh suatu mukjizat bahwa kita masih hidup
hari ini," katanya. "Pada 1945, saya berpikir akan suatu
perjanjian internasional, paling tidak 10 tahun kemudian,
mengenai pengawasan senjata nuklir. Atau dunia ini musnah dalam
lautan api. Ternyata kekhawatiran saya berlebihan."
Ia kini mengatakan, kita tengah hidup di dunia yang
dipersenjatai secara sangat berlebihan. Masing-masing pihak yang
saling mengintai sama menyadari betapa berbahayanya senjata
nuklir. Ia dapat mengakibatkan kehancuran dalam "skala yang
sesungguhnya tak bisa dibayangkan." Dan dalam dekade mendatang,
kata Bacher, Amerika masih memiliki senjata nuklir lebih dari
cukup, bahkan bila jumlahnya dikurangi separuh.
Pada saat itu nanti, AS akan memiliki 9.000 rudal strategis.
Bila dikurangi separuh, jumlah yang tinggal masih 4.500.
Ambillah 10% saja dari jumlah ini, sehingga yang tersisa hanya
450.
Ketika Robert McNamara menjadi menteri pertahanan pada 1960-an,
ia mengatakan 400 rudal saja sudah cukup untuk membuat Rusia
babak belur. Bila ke-400 rudal itu ditembakkan, separuh industri
Rusia lumpuh dan seperempat penduduk negeri itu berangkat ke
alam baka. "Jauh dari maksud mengurangi, hingga sekarang malah
kita terus berlomba menimbun senjata nuklir," kata Thomas
Powers.
Musim panas 1950, Richard Garwin masih duduk di bangku kuliah
jurusan fisika Universitas Chicago. Los Alamos ketika itu sedang
mulai dengan sebuah crash program pembuatan bom termonuklir --
semacam paduan atau bom hidrogen, dengan pemisahan biasa inti
atom sebagai picu.
Segera setelah Hiroshima, dan Garwin masih berusia 17, ia
memperoleh sebuah salinan laporan resmi Proyek Manhattan, yang
ditulis Henry de Wolfe Smythe. Ketika itu Garwin baru saja
menyelesaikan tahun pertamanya di universitas. Adalah Enrico
Fermi yang pertama kali melihat bahwa anak ini dapat diharapkan
di masa depan. Dan ia memberi Garwin rekomendasi berkunjung ke
Los Alamos setiap libur musim panas. Garwin menikmati
kunjungan-kunjungan itu. Ia selalu datang sampai musim panas
1964 -- dan terlibat dalam banyak percobaan.
Di kalangan pertahanan, "Garwin adalah tokoh yang unik," kata
Thomas Powers. Ia bekerja di bidang perencanaan senjata, tapi
tak sekali pun menyaksikan percobaan peledakan. Padahal ia punya
banyak kesempatan. Ketika hal ini ditanyakan kepadanya, Garwin
menjawab polos, "Saya tak menyukainya."
Ada dua pekerjaan pokoknya. Ia teman riset Thomas J. Watson di
IBM, dan pembantu guru besar fisika di Universitas Columbia.
Namun perhatiannya yang terbesar ditumpahkan pada bidang
pertahanan.
Dalam pandangan Garwin, satu-satunya keuntungan yang dijanjikan
senjata nuklir adalah "stabilitas". Semacam keyakinan, bahwa
setiap serangan nuklir dari luar pasti mendapat balasan
setimpal.
Kalangan pertahanan cenderung mengaitkan sikap ini sebagai
tindakan berjaga-jaga. Dalam cara berpikir seperti itu, "makin
banyak senjata nuclir berarti makin terjamin stabilitas."
Kalau sikap ini disahkan, "maka semua negeri membangun
persenjataan nuklirnya masing-masing, tanpa henti," kata Thomas
Powers. Padahal sekarang ini, "makin banyak orang yang tak
mendapat kesempatan menyaksikan percobaan peledakan senjata
nuklir."
Makin banyak pula orang yang lupa betapa dahsyat sesungguhnya
senjata itu. Para presiden dan penasihat tingkat pusat tak
pernah tahu detil peperangan. Mereka hanya memandang peta, dan
mencatat kekalahan serta kemenangan dengan angka satuan yang
bisa kelihatan tidak begitu berkesan.
Garwin tahu sebagian besar detil itu. Ia pernah bekerja dalam
Dewan Pertimbangan Keilmuan Joint Strategic Target Planning
Staff (JSTPS) yang berada di bawah Komando Udara Strategis di
Pangkalan Angkatan Udara Offut di dekat Omaha, Nebraska.
Hingga 1960, ketika menteri pertahanan Thomas Gates mendirikan
JSTPS, Angkatan Darat, Laut dan Udara AS mempunyai rencana
sendiri-sendiri dalam menggasak Uni Soviet. Kini JSTPS menyusun
rencana tunggal yang dinamakan Rencana Operasi Tunggal Terpadu
(SIOP). SIOP-lah yang menentukan sasaran untuk setiap rudal.
Garwin tahu persis bahaya apa yang berlindung di balik semua
rencana besar itu. Tapi para presiden tak mengetahuinya. Mereka
menganggap urusan ini remeh-temeh. Dan sementara itu JSTPS
berusaha menebak dan melayani keinginan Washington hanya
berdasarkan pidato-pidato presiden.
Tokoh berikutnya yang patut disebut adalah Victor Weisskopf.
Fisikawan Austria ini datang ke Amerika Serikat pada 1937, dan
menjabat Direktur Pusat Riset Nuklir Eropa (CERN) hingga
pertengahan 1960-an. Ia mengembangkan CERN sebagai iurannya
kepada "peradaban Eropa". Sampai sekarang ia masih menghabiskan
tiap musim panasnya untuk CERN di Jenewa -- dan menganggap
pekerjaan itu "bagian yang paling menarik dalam hidup saya, lain
sama sekali dari saat-saat di Los Alamos."
Kini, pandangan Weisskopf terhadap dunia ini merupakan campuran
antara kekhawatiran akan bom yang dulu ia turut buat, dan
kecerahan optimisme yang mempercayai akal sehat manusia. Pada
musim dingin 1948, dia termasuk di antara 12 fisikawan yang
menandatangani sebuah ikrar untuk tidak lagi terlibat dalam
pembuatan senjata hidrogen. Tapi Rusia meledakkan bomnya yang
pertama, Agustus 1949. Ikrar itu turut terguncang.
Satu demi satu para penanda tangan kembali dipanggil dan bekerja
di berbagai laboratorium. Sebagian besar tak bisa mengelakkan
diri dalam crash program Presiden Truman -- pembuatan sebuah bom
H.
Weisskopf satu di antara sedikit fisikawan yang tetap setia
kepada ikrar. Kelak, ketika ia didesak kebutuhan uang untuk
menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi, ia terpaksa juga
bekerja di Departemen Pertahanan. Tapi bukan dalam urusan bom,
melainkan sebagai perencana penyiaran gelombang radio di
atmosfir tinggi. Ia tetap malu melakukan hal itu.
IA bukan tipe orang yang mudah cemas. Oktober 1962, sementara
terbenam dalam tugas-tugasnya di CERN, ia tak pernah
membayangkan perang akan pecah dalam waktu singkat. Ia tak
begitu pusing ketika krisis Kuba muncul. Juga tak begitu
terpengaruh oleh gembar-gembor Khruschev untuk menempatkan
peluru kendali jarak menengah di Kuba.
Justru pada saat itu ia menerima telegram dari seorang sahabat
lama, fisikawan Leo Szilard. Dan Szilard mungkin orang pertama
yang mendesak Amerika Serikat untuk membuat bom atom -- sudah
sejak awal Perang Dunia II. Dengan bantuan fisikawan Princeton,
Eugene Wigner, Szilardlah yang merancang surat terkenal yang
dikirimkan kepada Presiden Roosevelt. Ia pula yang membujuk
Einstein membubuhkan tanda tangan. Hasil kongkrit surat tersebut
adalah 'Proyek Manhattan'.
Weisskopf menjemput sahabat lama itu di bandar udara Jenewa.
Szilard tetap seperti dulu. Berperawakan kecil, botak, berkaca
mata. Ia membawa 15 potong barang -- tampaknya bukan sekedar
kunjungan biasa. Secara bersungguh-sungguh ia membisikkan kepada
Weisskopf: "Akulah pengungsi pertama Perang Dunia III." Ia
rupanya sangat yakin krisis Kuba akan menyalakan api Perang
Dunia.
Tapi perang itu tak kunjung datang. Khruschev berhasil
dijinakkan. Dan para pembuat bom atom yang pertama terus juga
bertambah tua.
Sementara itu, tak sekeping pun persetujuan internasional yang
sampai pada keputusan mengontrol seluruhnya penggunaan senjata
nuklir. Jumlah bom yang dibuat makin hari makin banyak, dari
belasan sampai puluhan ribu.
Tokoh lain adalah Stanislaw Ulam. Ia datang dari Polandia. Sejak
mahasiswa, ketika masih di kampung halaman, ia sudah
tergila-gila matematika. Di Warsawa ia mengimpikan terlibat
dalam "pekerjaan besar".
Sekali waktu, di Inggris, ia pernah terpana ketika berada dekat
sekali dengan kamar tempat Isaac Newton pernah tinggal ketika
masih menjadi mahasiswa. Pada saat yang lain, di Paris, ia
terpesona memandang jalan-jalan di sekitar Sorbonne, yang diberi
nama orang-orang besar ilmu pengetahuan. "Alangkah bahagianya,"
katanya saat itu, "bila seratus tahun lagi namaku diabadikan
sekalipun untuk sebuah lorong." Meski cita-cita itu belum
terkabul, nama Ulam kini tercatat dalam sejarah fisika, paling
tidak sebagai orang yang terlibat dalam pembuatan senjata atom
yang pertama.
Ulam tiba di Los Alamos musim gugur 1943. Dan sejak saat itu ia
tak pernah meninggalkan New Mexico, kecuali untuk beberapa waktu
di California, setelah Perang.
KINI ia serba tak pasti bila dihadapkan dengan pertanyaan di
sekitar bom maut itu. "Ia tak merasa bersalah secara pribadi,"
kata Thomas Powers mengambil kesimpulan. Dalam pikiran Ulam,
tanpa dia toh bom itu pasti terwujud. Ia kini bahkan tak bisa
membayangkan "ketololan manusia dengan cadangan senjata nuklir
yang demikian banyak.
Ulam sendiri tak ikut menyaksikan tes di Alamogordo. Mengapa? Ia
tak mau menjelaskan. Kalau didesak juga, ia berkata seenaknya,
"hanya sekedar malas". Ia memang seperti orang latah
Kadang-kadang, tanpa diminta, ia berkata "Saya sangat Amerika.
Saya menyukai happy ending. Tapi film-film sekarang selalu
penuh horor dan kekerasan. Saya senang komedi."
Sekitar 36 jam setelah Tes Tritunggal, Victor Weisskopf
memandang aman untuk meninjau areal peledakan. Ia memang
bertugas menjajaki segala efek yang ditimbulkan percobaan ini.
Berkendaraan sebuah jeep tua, Weisskopf berangkat bersama Fermi,
fisikawan Hans Bethe, dan direktur militer seluruh Proyek
Manhattan, Jenderal Leslie R. Groves.
Apa yang mereka temukan pertama kali adalah padang kerontang
yang telanjang. Menara baja setinggi 100 kaki, tempat bom itu
dipasang untuk diletupkan, raib sama sekali. Tanah sekitar
tempat menara itu pernah berdiri, rata dan berkilat sampai
seluas sekitar 600 kaki.
Uap panas bom tersebut -- mencapai 100.000.000ø Fahrenheit,
sepuluh kali lebih panas ketimbang matahari tepat di pusatnya --
mengubah gurun pasir itu menjadi hijau kelabu, berkilauan "bagai
botol Coca Cola". Kelak, bagian mengkilap itu diberi nama
trinitite.
Pengetahuan tentang radiasi belum lengkap tatkala itu. Ketika
butir-butir pertama plutonium tiba di Los Alamos dari kilangnya
di Hanford, Washington, Weisskopf begitu saja meletakkan barang
itu di telapak tangannya -- perbuatan yang kemudian diketahuinya
sangat dungu. Karena itu tak heran, kalau ketika itu para
fisikawan seenaknya saja mengambili trinitite dan meletakkannya
di laboratorium.
"Tatkala saya mengunjungi Los Alamos musim semi kemarin," kata
Thomas Powers," saya mendengar cerita tentang seorang wanita
dari tahun 1960-an." Wanita itu mengenakan kalung yang terbuat
dari trinitite, tanpa mengerti perhiasan itu berbahaya sekali.
Thomas sendiri menyaksikan trinitite pertama kali di museum
kecil di Los Alamos, yang diberi nama Norris Bradbury. Bradbury
sendiri memandang pemberian nama itu tindakan yang tolol. "Saya
'kan belum mati?" katanya dengan wajah jenaka.
Tepat di belakang pintu museum, terdapat sebuah etalase kecil.
Di situ dipajang pelbagai benda yang berhubungan dengan
perkembangan atom. Ada sepotong logam yang dipungut dari
reruntuhan Hiroshima, atau segenggam pasir yang dijemput dari
pulau kecil di Pasifik, tempat bom termonuklir diledakkan dalam
suatu percobaan. Di antara "fosil" itulah terdapat trinitite,
tak lebih besar dari sekeping dollar perak. Diletakkan dengan
cara yang cermat di dalam kotak kaca tebal, pemandu museum
menerangkan kepada Thomas, "barang ini mengandung radio aktif."
SEPULUH hari setelah kunjungan ke museum kecil Los Alamos itu,
Thomas Powers berada di Laboratorium Nasional Argonne, agak di
luar Kota Chicago. Ia bertanya kepada Ellis Steinberg akan
kandungan trinitite. Fisikawan terkenal itu menerangkan pelbagai
hal.
Trinitite, misalnya, mengandung isotop seperti iodine 131 dengan
kondisi setengah hidup selama delapan hari. Hal itu berarti 1%
radio aktivitasnya membusuk dalam setiap delapan hari. Tapi
masih banyak kandungan lain. Maka ketika Thomas Powers bercerita
tentang wanita yang mengenakan kalung trinitite tadi, Steinberg
terperanjat.
Sejarah bom atom sejak Perang Dunia II teryata bukannya makin
suram, tapi malahan makin cemerlang Tapi tentang para fisikawan
sendiri, "optimisme mereka belum hilang," kata Thomas Powers.
Kecuali memang pada George Kistiakowsky. Ia seperti tak melihat
setitik pun lagi sinar terang. Ia melihat segala sesuatu
berdasarkan kesaksiannya dalam percobaan di Gurun Alamogordo
bulan Juli 1945 itu.
Maklum ia terlibat dalam seluruh proses percobaan peledakan
pertama itu. Bekerja siang dan malam, mengawasi pembangunan
menara baja setinggi 100 kaki, bahkan turut berjaga pada malam
menjelang peledakan, sebagai usaha mencegah kemungkinan
sabotase.
Kistiakowsky hanya 5% mil dari tempat percobaan, ketika bom
pertama itu meledak. Ia terguncang. Meski mengenakan kaca mata
hitam dan membelakangi arah ledakan, ia masih dapat menyaksikan
cahaya luar biasa yang dipantulkan kembali oleh gunung gemunung
yang memagari Alamogordo. Ia tak menyangka "hasil karya"nya
demikian dahsyat.
Sehari setelah itu ia kembali ke Los Alamos -- siap mengerjakan
bom yang akan menghancurkan Nagasaki tiga minggu kemudian. Makan
siang di kafetaria hari itu, ia ditemani reporter New York Times
William Laurence. Laurence menanyakan reaksi Kistiakowsky atas
Tes Tritunggal. Jawabnya: "Saya percaya bahwa pada akhir dunia
-- pada milisekon terakhir eksistensi bumi -- makhluk terakhir
akan bisa menyaksikan apa yang telah kami saksikan."
Ketika baru-baru ini Thomas Powers kembali menanyakan hal yang
sama kepada Kistiakowsky, ia tak mengubah jawabannya. Ia bahkan
menepuk meja. Ia tak bisa diajak lagi mempercayai hari depan
dunia dengan cadangan senjata nuklir yang semakin bertumpuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini