Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAMA menghuni bui, Muhammad Nazaruddin tak kehilangan selera humor. "Suruh Pak Jokowi bersih-bersih Monas," ujarnya kepada wartawan sebelum diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pada Kamis pekan lalu. "Nanti, kalau ada orang yang digantung, Monas sudah bersih." Didesak siapa orang yang dimaksud, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat itu cuma mesem, lalu ngeloyor.
Semua tahu belaka Nazaruddin sedang mengolok-olok bekas koleganya satu partai, Anas Urbaningrum. Hampir setahun lalu, di media sosial Twitter, Ketua Umum Demokrat itu sesumbar berani digantung di Monumen Nasional bila terbukti "menerima serupiah pun" dana proyek Hambalang. Nazaruddin kembali menyinggungnya setelah tersiar kabar Anas dijadikan tersangka oleh KPK.
Sepanjang pekan lalu, status Anas jadi pertanyaan orang banyak. Terutama setelah beredar dokumen KPK yang menulis Anas sebagai tersangka suap proyek pusat pendidikan dan pelatihan sekolah olahraga nasional di Bukit Hambalang, Bogor. Belum mau memastikan dokumennya bocor, KPK menyangkal berkas itu surat perintah penyidikan atau sprindik kasus Anas. "Kasus Anas masih di tahap penyelidikan," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, Selasa pekan lalu.
Seorang sumber memastikan kesahihan dokumen itu, tapi bukan surat perintah penyidikan, melainkan draf persetujuan menerbitkan sprindik. Itu sebabnya setiap pemimpin KPK harus memaraf rancangan tersebut. Setelah kelima komisioner membubuhkan persetujuan, terbitlah surat perintah penyidikan. Sebelum paraf semua pemimpin komisi antikorupsi tergurat, draf lebih dulu tersiar ke luar gedung.
Dalam surat yang beredar, tergores paraf tiga pemimpin KPK, yakni Abraham Samad, Zulkarnain, dan Adnan Pandu Praja. Para penyidik perkara ini juga membubuhkan paraf. Di situ tertulis mereka meneken surat pada 7 Februari 2013. Pada dua kolom lainnya, dua pemimpin KPK, Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto, belum membubuhkan tanda tangan.
Tanpa paraf Bambang dan Busyro, muncul sangkaan komisi antikorupsi terbelah. Keduanya dituding menghambat kasus. Persoalan sebenarnya: pada Kamis, 7 Februari, itu Bambang dan Busyro berdinas ke luar Jakarta. Bambang berada di Singapura dan Busyro di Medan. Pada hari itu, setelah diteken kepala satuan tugas hingga deputi penindakan, draf surat perintah penyidikan diedarkan berurutan kepada Abraham, Zulkarnain, dan Adnan Pandu. Karena Bambang dan Busyro tak ada, dari Adnan Pandu draf kembali ke tangan Abraham.
KPK jadi maju-kena-mundur-kena. Kubu Anas menuding lembaga ini tak steril dari intervensi Istana. Indikasinya, rencana KPK menetapkan Anas sebagai tersangka berbarengan dengan pengambilalihan Demokrat oleh Majelis Tinggi Partai, yang diketuai Susilo Bambang Yudhoyono. Apalagi belakangan Adnan Pandu mencabut paraf di draf karena merasa kasus belum diekspos di depan semua komisioner.
Gelar perkara sebenarnya sudah dilakukan pada Desember lalu. Semua pemimpin KPK, termasuk Bambang dan Busyro, setuju kasus Anas naik ke penyidikan. Syaratnya, Toyota Harrier 2.4 berwarna hitam yang diberikan kepada Anas mesti dipastikan berhubungan dengan Hambalang. Akhir Januari lalu, penyelidik yakin kasus Anas cukup bukti. Mereka melakukan gelar perkara, lalu mengusulkan draf persetujuan surat perintah penyidikan.
Seorang pejabat menyebutkan Adnan Pandu salah paham karena merujuk gelar perkara pada akhir Januari-awal Februari. Pada hari-hari itu, pemimpin KPK, penyelidik, dan penyidik memang tak mengekspos Hambalang. Adapun yang dimaksud gelar perkara Hambalang untuk Anas Urbaningrum oleh pemimpin KPK yang lain adalah ekspos bulan Desember. Bahkan, sebelum Pandu mencabut paraf, Ketua KPK Abraham Samad sebenarnya sudah menepis lembaganya tak kompak. "Sudah sepakat, tapi surat harus ditandatangani semua pemimpin," kata Abraham, Jumat dua pekan lalu.
Sejak Nazaruddin bernyanyi soal keterlibatan Anas di Hambalang, KPK berfokus mengusut dua hal. Pertama, ihwal dugaan gelontoran Rp 100 miliar dari PT Adhi Karya untuk pemenangan Anas dalam Kongres Demokrat di Bandung pada Mei 2010. Kedua, soal pemberian Toyota Harrier, juga dari Adhi Karya. Fulus dan mobil itu diduga imbalan untuk memuluskan Adhi Karya sebagai penggarap proyek Hambalang.
Seorang sumber mengatakan kasus yang pertama masih gelap. Walau Nazaruddin menceritakan dengan detail bagaimana Anas ikut merencanakan proyek Hambalang dan lalu lintas uang, penyelidik belum menemukan cukup bukti. Fakta bahwa Adhi Karya menggandeng PT Dutasari Citralaras—salah satu pemiliknya Atthiyah Laila, istri Anas—dalam menggarap Hambalang dan ikut merugikan keuangan negara pun tak serta-merta menjadikan Anas tersangka.
Peluru paling tajam komisi antisuap ada di perkara Harrier. Abraham Samad mengatakan bukti-buktinya telak. Harrier diterima Anas ketika dia baru saja dilantik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 2009.
Setahun sebelum proyek Hambalang ditenderkan pada September-Oktober 2010, PT Adhi Karya sudah menebar mahar. Pada September 2009, Adhi Karya diduga memberikan duit kepada Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam lewat seorang pengusaha yang kerap menggarap proyek di Kementerian. Duit itu diserahkan dua kali, masing-masing Rp 1 miliar. Menurut seorang sumber, permintaan duit disertai kalimat, "Untuk menalangi kebutuhan Pak Sesmen."
Muhammad Nazaruddin dengan perusahaannya di bawah payung Grup Permai juga mengincar Hambalang, yang saat itu masih dalam tahap perencanaan. Mindo Rosalina Manulang, anak buah Nazaruddin, bolak-balik bertemu dengan petinggi Adhi Karya memberitahukan niat bosnya. Belum diketahui motif persisnya—apakah untuk membeli "pengaruh" Anas—Adhi Karya juga disangka menyetorkan Rp 1 miliar kepada Grup Permai. Melihat mahar yang telah ditebar untuk Kementerian, pemberian uang ini pun tidak aneh.
Ketika itu, Anas baru saja terpilih sebagai anggota DPR dari Demokrat—partai pemenang pemilihan umum—tapi belum dilantik. Ia juga pernah tercatat sebagai salah seorang pemegang saham PT Anugrah Nusantara, yang berada di bawah Grup Permai. Salah seorang direktur PT Anugrah, Marisi Matondang, mengaku menerima Rp 1 miliar dari Adhi Karya pada 8 September 2009.
Pada 12 September, Nazaruddin bermaksud membelikan Anas mobil dari uang itu. Ia menerbitkan cek bernomor EP 677964 atas nama PT Pacific Putra Metropolitan sebesar Rp 520 juta. Cek itu bersumber dari rekening PT Pacific bernomor 103-000-52220-68 di Bank Mandiri Cabang Sabang, Jakarta. Tiga hari kemudian, pada 15 September, cek itu diserahkan Neneng Sri Wahyuni, istri Nazar, kepada Yulianis, Direktur Keuangan Grup Permai.
Neneng juga meminta Yulianis merogoh Rp 150 juta dari brankas perusahaan. "Untuk membeli Harrier," kata Neneng seperti ditirukan Yulianis, Jumat pekan lalu. Oleh Yulianis, duit tunai plus cek itu diteruskan kepada Muhajiddin Nur Hasyim, adik Nazaruddin. Yulianis tak mengetahui siapa yang mengurus pembelian Harrier. Tapi, pada 17 September, cek itu dicairkan dan, bersama duit tunai Rp 150 juta, ditransfer ke rekening BCA Hadi Wijaya, pemilik Duta Motor, dealer mobil di Pecenongan, Jakarta.
Pengirim duit itu karyawan Nazaruddin bernama Clara. Pada slip transfer tertulis maksud transaksi: pembayaran mobil. Dalam faktur pembelian mobil yang kelak berpelat nomor B-15-AUD, tertulis pemiliknya Anas Urbaningrum. Tanggal dalam faktur: 19 Oktober 2009. Pada tanggal itu, Anas sudah resmi menjadi penyelenggara negara. Ia dilantik sebagai anggota DPR sekaligus Ketua Fraksi Demokrat pada 1 Oktober.
Inilah yang mengunci Anas. Kepolisian Daerah Metro Jaya membenarkan mobil itu pernah dimiliki Anas—meski pada 14 Juli 2010 pelatnya berganti jadi B-2170-H. Keterangan yang belum klop adalah soal asal-usul duit yang digunakan untuk membeli mobil. Di ujung perkara, ia tak bisa berkelit pernah menerima Harrier.
Direktur Utama Adhi Karya Kiswodarmawan belum merespons pertanyaan Tempo. Tapi, dalam sejumlah kesempatan, Adhi Karya menyangkal telah mengucurkan pelumas untuk Anas. Anas berkali-kali membantah menerima Harrier. Terakhir, ketika dicegat wartawan setelah meneken pakta integritas untuk partainya pada Kamis pekan lalu, Anas kembali menyangkal.
Seorang pejabat KPK memastikan kasus Anas jalan terus. "Tak mungkin dilepeh lagi. Harus ditelan," ujarnya. Menurut sumber itu, yang belum disepakati pemimpin KPK: kapan Anas resmi diumumkan sebagai tersangka. Jika buru-buru mengumumkan, KPK terkesan diintervensi Istana.
Ditanya kapan Anas ditetapkan jadi tersangka, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menggantung jawaban: "Percayalah pada perhitungan penguasa langit yang menyertai kebenaran, bukan isu."
Anton Septian, Tri Suharman, Aryani Kristanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo