Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sumbu Api di Jalan Timor

Jauh sebelum peristiwa Malari, Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani menggalang Ramadi dan kawan-kawan lewat organisasi keagamaan. Kelak kelompok ini dituding menunggangi aksi mahasiswa.

13 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesibukan meningkat di rumah Ramadi di Jalan Timor 14, Jakarta. Kesibukan itu terjadi beberapa hari menjelang peristiwa 15 Januari 1974. Rumah yang disulap menjadi kantor Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI) itu mendadak sering kedatangan tamu. Rapat terjadi hampir setiap hari.

Heru Cahyono dalam Peranan Ulama dalam Golkar 1971-1980: Dari Pemilu sampai Malari menulis bahwa rapat di rumah Ramadi bukan untuk membahas soal pembaruan pendidikan Islam. Pertemuan itu justru menyiapkan gerakan huru-hara di Jakarta. Caranya: menyusup dan menunggangi aksi mahasiswa menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka.

Dalam rapat terakhir, menurut Heru, diputuskan sasaran perusakan adalah mobil-mobil Jepang serta kantor Toyota Astra dan Coca-Cola. Gerakan itu juga akan dibungkus isu "bantulah mahasiswa" untuk menciptakan kesan bahwa kerusuhan dilakukan mahasiswa. Diharapkan, bila berhasil, operasi itu bisa memukul Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Jenderal Soemitro, yang dikenal dekat dengan mahasiswa, sekaligus menghukum para aktivis mahasiswa.

1 1 1

Tidak ada yang istimewa dari sosok Ramadi. Pria kelahiran Pontianak ini sudah berusia 61 tahun ketika terpilih sebagai ketua pengerahan massa. Soemitro, dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari '74, melukiskan Ramadi jalannya agak tertatih-tatih. Dia juga kurang tangkas dalam berpikir. Sepanjang berkantor di Jalan Timor 14, pekerjaannya lebih sering hanya duduk-duduk dan membicarakan hal yang tak jelas juntrungannya. "Kita tidak bakal menyangka bahwa inilah sosok penanda tangan Dokumen Ramadi," kata Soemitro.

Konon Ramadi adalah pembuat dokumen yang menghebohkan dunia intelijen dalam negeri beberapa waktu sebelum Malari meletus. Laporan yang dikenal sebagai "Dokumen Ramadi" itu menuding Soemitro hendak melakukan gerakan menggulingkan Presiden Soeharto.

Soemitro menyebut Ramadi sebagai orang binaan Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani. Ia sudah lama berseberangan dengan Ali Moertopo. Soemitro tidak suka dengan kiprah Ali sebagai asisten pribadi Presiden yang dianggapnya terlalu banyak mencampuri urusan pergantian pejabat di militer. Dalam wawancara dengan Tempo (21 Juli 1990), Soemitro mengaku pernah meminta Presiden Soeharto tidak memilih Ali sebagai Kepala Badan Koordinasi Intelijen.

Sebelum aktif di GUPPI, Ramadi pernah menyandang pangkat kolonel bidang hukum militer. Tapi dia tidak punya pekerjaan yang jelas. Pada 1970, Soedjono mengajak Ramadi menghidupkan GUPPI agar bisa menjadi mesin politik Golkar untuk meraup suara dari pesantren.

Semula GUPPI didirikan sekelompok ulama tradisional di daerah Sukabumi, Jawa Barat, pada 1950. Tujuannya memperbaiki sistem pendidikan pondok pesantren. Namun organisasi itu tidak bisa berkembang karena persoalan biaya. Dengan iming-iming bantuan, Soedjono dan Ramadi bisa masuk dan mencengkeram GUPPI.

Di kepengurusan baru GUPPI, Soedjono menjabat pelindung kehormatan. Adapun Ramadi, yang tidak memiliki latar belakang pendidikan Islam, diangkat menjadi penasihat. Aminuddin Ramadi dan Aminuddin Day, anak dan menantu Ramadi, diangkat menjadi sekretaris dan wakil bendahara.

Tak cukup di sampai di situ. Soedjono juga menjadikan Ramadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Golongan Karya pada 1971. Satu tahun kemudian Ramadi tercatat sebagai komisaris PT Ravitex.

Sebaliknya, jasa Ramadi kepada "tuan"-nya juga tidaklah kecil. Pada 1973, ia pernah mendapat instruksi dari Soedjono untuk menetralkan penolakan atas Rancangan Undang-Undang Perkawinan.

Di GUPPI, Ramadi berperan sebagai kepanjangan tangan Soedjono dan Ali. Karena itu, meski jabatannya sebagai penasihat, kekuasaan Ramadi jauh melebihi ketua, yang saat itu dijabat Sjarifuddin Muhammad Amin. Posisi Ramadi semakin kokoh pada pertengahan 1973, ketika kantor GUPPI dipindah dari gedung Departemen Agama ke rumahnya di Jalan Timor.

Sejak itu, kegiatan GUPPI tidak lagi berkaitan dengan pendidikan Islam. Pengurus yang aktif hanya orang-orang yang satu barisan dengan Ramadi. Ia juga gencar memasukkan orang luar yang dianggapnya satu kubu. Salah satunya Mayor Jenderal Purnawirawan Suadi, mantan Duta Besar RI di Australia yang juga kawan Soedjono. Secara sepihak Ramadi mengangkat Suadi sebagai penasihat organisasi. Ketua GUPPI, Sjarifuddin, yang menolak pengangkatan itu, tak bisa berbuat apa-apa.

Menurut Soemitro, meski menjadi pemimpin GUPPI, Ramadi dan kelompoknya bukan tergolong penganut Islam yang taat. Bila tiba waktu salat Jumat, misalnya, Ramadi kerap menutup pintu dan tirai kantor supaya tak terlihat tidak sembahyang.

Pertemuan rahasia di Jalan Timor semakin sering digelar menjelang peristiwa Malari. Orang-orang binaan Ali Moertopo, terutama mantan aktivis Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), sering bertandang ke sana. Mereka antara lain Danu Muhammad Hasan (mantan Panglima DI Jawa Barat) dan Ki Mansyur, yang disebut sebagai bekas Gubernur DI/TII. Anak Kartosoewirjo, Dardo Kartosoewirjo, juga dikabarkan sering datang.

Dalam salah satu rapat di Jalan Timor itu, menurut Heru Cahyono, Ramadi terpilih sebagai pelaksana utama pengerahan massa. Sedangkan massa yang akan dimobilisasi berasal dari kelompok aktivis DI/TII Karawang yang telah menjadi binaan Ali Moertopo. Massa juga akan dikerahkan dari para pengikut GUPPI Banten. Di sana massa akan dikoordinasi Kiai Nur, tokoh GUPPI yang kala itu terkenal memiliki pengaruh luas di Banten.

Di luar massa Islam, tukang becak dan preman di Jakarta yang digalang oleh Roy Simanjuntak juga akan ikut bergerak. Roy mendapat tugas khusus: menciptakan kerusuhan di wilayah Senen hingga Harmoni.

Meski telah menjadi keputusan rapat, Ramadi masih ragu memimpin gerakan. Ia lantas meminta Soedjono Hoemardani membuat surat pernyataan bahwa huru-hara yang akan mereka lakukan telah diketahui pejabat tinggi negara. Meski enggan, menurut Heru, Soedjono mengabulkan permintaan Ramadi. Sejak itulah sumbu Malari siap menyala.

Pitut Soeharto, salah satu orang kepercayaan Ali Moertopo di Opsus, dalam wawancara dengan Heru Cahyono, tak menyangkal jika sebagian orang binaan Ali di DI/TII terlibat dalam peristiwa Malari. Pitut, yang ditugasi Ali menggarap berbagai kelompok Islam, juga tak membantah kabar bahwa orang binaan Ali kerap berkunjung ke kantor GUPPI beberapa hari sebelum Malari. Pitut juga membenarkan bahwa mobil Ramadi kerap dipinjamkan kepada orang-orang binaan Ali itu.

Mereka siap memantik api huru-hara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus