Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hikayat Desa-desa Tua Oman

Dalam 40 tahun terakhir, perekonomian Oman berkembang cukup pesat. Sejak 2013, pendapatan per kapitanya US$ 29 ribu, hampir menyamai Arab Saudi yang sebesar US$ 32 ribu. Wartawan Tempo Amri Mahbub, atas undangan pemerintah Oman, menelusuri desa-desa tua di Oman untuk melihat kehidupan mereka.

23 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI yang menyengat. Sinar matahari bak menampar jalan-jalan di Nizwa, desa tradisional di Oman, akhir Oktober lalu. Teriknya memunculkan ilusi di mata: uap panas yang bergelora sejauh mata memandang. Tapi Khamis Ameer, 90 tahun, tak peduli dengan suhu udara yang mencapai 40 derajat Celsius itu. Dari rumahnya di Nizwa, ia melangkahkan kaki tuanya sejauh lima kilometer menuju Sekolah Dasar Al-Bashiir bin al-Munthiis, tempat pemungutan suara anggota Majelis Ash-Shura berlangsung.

Bagi Khamis Ameer, berjalan jauh bukan perkara sulit. Sebagai seorang Badui, yang memiliki tradisi mengembara, ia pernah menggembala kambing berpuluh-puluh kilometer. Sekarang ia lebih bersemangat lantaran akan menyumbangkan suaranya untuk calon wakil dari Nizwa, yang akan duduk di majelis. Sembari berjalan, tangan kanannya memegang tongkat kayu, sedangkan tangan kirinya sesekali mengusap janggut yang memutih.

"Demi Allah dan demi tanah air, saya tak mau ketinggalan dalam pemungutan suara tahun ini," ujarnya.

Ahad, 25 Oktober 2015, adalah puncak pesta demokrasi rakyat Oman. Selain di Al-Bashiir, ada 106 lokasi yang tersebar di 61 wilayah setara dengan kabupaten atau kota di Indonesia, termasuk dekat permukiman orang-orang Badui di Nizwa, suku pengembara di Jazirah Arab.

Pada 1991, Raja Oman, Sultan Qaboos bin Said al-Said, membentuk Majelis Ash-Shura. Majelis ini didirikan untuk menjalankan fungsi legislatif, tempat Sultan meminta pendapat mengenai kebutuhan rakyat dan tentu membuat aturan-aturan negara. Saat Sultan Said bin Taimur, ayah Sultan Qaboos, berkuasa sepanjang 1932-1970, lembaga legislatif semacam itu tak ada. Sultan Said menjalankan negara dengan Dewan Penasihat Kerajaan, yang keanggotaannya ditunjuk langsung oleh Sultan. Akan halnya anggota Ash-Shura, 85 orang dipilih langsung oleh rakyat tiap lima tahun sekali.

Sebanyak 611 ribu warga berumur di atas 21 tahun turut berpartisipasi dalam memilih wakilnya yang akan duduk di Majelis. Pemilihan sudah delapan kali dilakukan.

Khamis Ameer dan seperempat populasi Oman masih hidup secara tradisional. Mereka tersebar di berbagai penjuru negeri. Di Nizwa, mereka tinggal di lembah-lembah pegunungan, seperti Tanuf, salah satu desa kuno, dan Burkat al-Mooz, serta daerah pegunungan Jabel al-Akhdar. Di Muskat, ibu kota Oman, mereka terkonsentrasi di Amarat.

Tradisional, dalam terminologi Oman, berarti hidup dengan bertani dan menggembala ternak. Mereka membiarkan hewan berkeliaran di padang rumput untuk mencari makan yang tak jauh dari permukiman. Tempat tinggal mereka mudah dikenali dari gaya arsitektur dan ukiran jendela khas Timur Tengah (mashrabya). Bentuknya kubus dengan dibalut warna cokelat atau krem serupa dengan tanah.

Mereka dengan senang hati berbagi hasil bumi dan memberikan tempat tinggal barang satu-dua hari kepada para musafir yang kebetulan lewat. Tapi Sulaiman Hussein, warga Oman yang menemani saya dalam perjalanan ini, memperingatkan untuk tidak mengusik dua hal. "Keluarga dan ternak," ujar pria 35 tahun ini. "Mereka amat menjaga keduanya."

Khamis Ameer tinggal bersama anak tunggalnya, Mohammed Khamis, 57 tahun; menantu; serta dua cucu perempuannya. Istrinya sudah sepuluh tahun meninggal. Rumahnya tak dilengkapi alat penyejuk udara, tapi terasa sejuk karena dibangun dari bahan tanah liat dan bata.

Saat saya hendak mengeluarkan kamera, segera Sulaiman menahan tangan saya dan menggelengkan kepala. Dia bilang tak semua perempuan Badui berkenan difoto. Berbicara tentang foto, potret Sultan Qaboos terpampang di dinding rumah keluarga kecil Khamis Ameer, sebuah pemandangan yang umum di negara ini. Potret ini ibarat foto presiden dan wakilnya yang kerap dipajang di Indonesia.

"Kami semua mencintai Sultan Qaboos," ujar Mohammed Khamis. Dalam potret tersebut, Sultan tampak sedang duduk di sebuah kursi. Janggut lebatnya sudah memutih. Ia mengenakan baju terusan putih tradisional Oman (disdasha) lengkap dengan tutup kepala (mashar) berwarna merah. Dan, tentunya, khanjar—belati melengkung menyerupai huruf "J" yang diletakkan di depan perut. Belati inilah yang menjadi lambang kebangsaan dan kebanggaan masyarakat Oman. Bagi mereka, baju terusan putih itu ibarat jas dan belati melengkung adalah dasinya.

Sebelum 1970, hanya laki-laki dari keluarga kerajaan yang diperbolehkan memakai senjata ini. Namun, saat Sultan Qaboos naik takhta, aturan itu dihapus dan khanjar dijadikan lambang negara. Sejak itu, semua lelaki dari semua golongan diizinkan mengenakan khanjar. Yang menjadi pembeda hanyalah motif dan bahan. Kerumitan motif pada sarung dan kualitas material menandakan pemakainya berasal dari keluarga bangsawan.

Kami pun makan siang. Menu santap siang adalah fatta, campuran daging dan sayuran yang dimasak dengan campuran kaya rempah-rempah. Di antaranya kapulaga, pala, dan lada hitam. Aromanya begitu menggugah. Makanan ini disajikan dengan rakhal khubz, roti tipis khas Oman. Makanan itu tersaji dalam satu piring besar. Menu ini juga sering disajikan untuk buka puasa pada bulan suci Ramadan.

Ada kemiripan antara masyarakat tradisional Oman dan Indonesia. Kalau makanannya tak berkuah, mereka menyantapnya dengan tangan. "Ini kebiasaan," Mohammed Khamis menjelaskan. Saya menjawab, "Kalau begitu, kita bersaudara. Banyak orang Indonesia makan pakai tangan." Selain dua makanan tersebut, ada mashuai, panggangan kingfish yang disajikan dengan nasi lemon. Ada juga maqbous, nasi dibumbui saffron dan dimasak bersama daging pedas.

Yang paling terkenal adalah shuwa, daging sapi atau kambing yang dipanggang dalam oven khusus dalam lubang yang digali di tanah. Daging yang dibumbui berbagai rempah dan dibungkus daun kering ini hanya disajikan dalam perayaan besar seperti Idul Fitri. "Biasanya warga satu desa bahu-membahu memasaknya," ujar Sulaiman Hussein.

Majelis Ash Shura sangat bermanfaat bagi masyarakat Badui. Semenjak adanya majelis ini, pembangunan mulai memperhatikan masyarakat Badui. Lembaga ini dipercaya mengantar transformasi Oman dari negara yang sebelumnya sangat tertutup menjadi lebih terbuka. Laporan United Nations Development Programme pada 2010 menyebutkan Oman adalah salah satu negara di Timur Tengah paling pesat perkembangan ekonominya dalam 40 tahun terakhir. Survei Global Peace Index pun memasukkan Oman ke 60 besar negara paling aman dan damai di dunia, bersanding dengan negara-negara Skandinavia.

Dengan mendirikan Majelis Ash-Shura, Sultan Qaboos juga membawa Oman menjadi negara kerajaan demokratis pertama di antara negara-negara Teluk, seperti Arab Saudi, Qatar, dan Kuwait. Pada 2003, Qatar mengikuti jejak Oman, disusul Kuwait pada 2006. Adapun Kerajaan Arab Saudi hingga kini belum membentuknya. Langkah Sultan Qaboos ini bisa dibilang progresif. "Kami telah membuktikan bahwa demokrasi dan pembangunan bisa berjalan beriringan," tutur Menteri Dalam Negeri Sayyid Hamoud bin Faisal al-Busaidi.

Dalam pembangunan dan perekonomian, Oman tak kalah bersaing dengan negara tetangganya. Pada 2013, pendapatan per kapita (GDP) Oman tercatat US$ 29 ribu. Sebagai perbandingan, GDP Arab Saudi adalah US$ 32 ribu, Italia US$ 33 ribu, dan Inggris US$ 37 ribu. GDP Indonesia masih berada di angka US$ 3.000.

Pendapatan per kapita ini berasal dari berbagai sektor, sebagian besar berasal dari perdagangan hasil tambang dan minyak. Oman berada di peringkat ke-25 pengekspor minyak dunia. Tambang minyak negara itu berada di wilayah Duqm, Provinsi Wusta. Sisanya berasal dari industri, perbankan, bea barang masuk, produksi pertanian, dan pajak.

Betapapun pendapatan per kapita cukup tinggi, Oman berbeda dengan tetangganya, seperti Uni Emirat Arab dan Qatar, yang jorjoran dalam membangun gedung pencakar langit. Sultan melarang investor lokal dan asing membangun gedung melebihi delapan lantai. Sultan juga menyarankan warna gedung harus menyerupai tanah untuk meminimalkan pantulan cahaya matahari. Gaya arsitekturnya pun harus bernuansa Timur Tengah.

Pada zaman Sultan Said, pembangunan di Oman hanya berpusat di kota pelabuhan Muskat, tanpa menghiraukan warga Badui yang tinggal di luar Kota Muskat. Maka pagi itu, seperti disaksikan Tempo, Khamis Ameer bersemangat memberikan suaranya. Sebelum memasukkan kertas suara yang berisi pilihan calonnya, dia memejamkan mata. Bibirnya mengucap basmallah. Dan, plung..., surat suara masuk ke kotak.

Amri Mahbub (Nizwa, Muskat)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus