Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ganefo, Ganefo...

Paduan suara yang terdiri atas para eks tahanan politik tampil pada pembukaan Biennale Jogja XIII. Menyuarakan kenangan dan pesan perdamaian.

23 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBANYAK 17 ibu berkebaya putih dan bersanggul itu dengan bersemangat menyanyikan Viva Ganefo, lagu yang sangat Sukarnois. Lagu ini pada 1960-an diciptakan oleh pengarang lagu Asmoro untuk menyambut diselenggarakannya Games of the New Emerging Forces (Ganefo) 1963.

Ganefo kita tahu adalah pesta olahraga negara-negara berkembang yang digagas Sukarno dan diboikot negara Barat. Tapi Ganefo, sesuai dengan motonya, Onward! No Retreat (Maju Terus, Jangan mundur), tetap berjalan. Para seniman muda yang berkumpul di Jogja National Museum, Gampingan, 1 November lalu, yang semuanya pasti tak pernah mendengar lagu ini, seperti tersetrum. Gemuruh. Mendadak sontak mereka ikut menyanyi tatkala ibu-ibu itu menyuarakan Bangun Pemudi-Pemuda, mars perjuangan yang lebih mereka kenal.

Para ibu ini menamai diri Paduan Suara Dialita, alias paduan suara "Di Atas 50 Tahun". Malam itu, dalam pembukaan Biennale Jogja XIII, mereka membawakan lagu-lagu heroik 1960-an, seperti Padi untuk India ciptaan A. Ali, yang bertema solidaritas Indonesia untuk India yang kekurangan pangan. Lalu Asia Afrika Bersatu ciptaan Sudharnoto, komponis yang kita kenal menciptakan lagu Garuda Pancasila.

Sebagian ibu-ibu itu pernah ditahan di Kamp Plantungan karena peristiwa 1965. Suami atau keluarga mereka pernah dibui di Pulau Buru. Ada Astuti Ananta Toer, yang merupakan istri sastrawan Pramoedya Ananta Toer (almarhum), dan Irina Dayasih, putri Njoto (almarhum), Wakil Sekretaris Jenderal II Partai Komunis Indonesia. Sebagian ibu-ibu ini pernah tergabung dalam Ansambel Gembira Jakarta, yang merupakan kelompok paduan suara di bawah Lembaga Musik Indonesia, salah satu komunitas kreatif Lembaga Kebudayaan rakyat (Lekra). Mereka di bawah aba-aba Martin Lampanguli, pemusik eks tahanan politik di Pulau Buru.

Ini penampilan mereka pertama kali di luar Jakarta. Paduan Suara Dialita awalnya terhimpun dari 20 perempuan eks tahanan politik 1965 yang sudah sepuh dan anak-anaknya. Kini anggotanya ada yang berusia sekitar 30 tahun. "Akronim Dialita sekarang bisa 'Di Atas atau di Bawah 50 Tahun'," ujar Irina Dayasih.

Sehari-hari, ibu-ibu ini berlatih di Jakarta. Sabtu sore, 7 November lalu, Tempo menyaksikan latihan mereka di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Kehangatan dan keakraban menyelimuti latihan. Latihan sore itu memang tak lengkap, hanya enam anggota dipandu konduktor sepuh, Harry. Setelah berlatih tiga lagu, Suburlah Tanah Airku, Ampar-ampar Pisang, dan Cikcik Periok, mereka mempersingkat latihan lantaran ingin menengok salah satu mantan tahanan politik, pelukis Gumelar Demokrasno, 72 tahun, yang sedang sakit. "Ubi, sukun, sama kimbabnya dibawa aja, buat sangu di jalan," kata Mudjiati, 67 tahun, anggota paduan suara yang pernah ditahan di Kamp Plantungan.

Di mobil sepanjang perjalanan menuju arah Ciledug, mereka mencoba berlatih lagu Suburlah Tanah Airku karya Subronto K. Atmojo. "Liriknya puitis banget. Kami belum hafal liriknya," ujar Tuti Martoyo, salah satu anggota Dialita. Lagu ini dan enam lagu lain pun dinyanyikan di hadapan Gumelar, membuatnya tersenyum sumringah.

* * * *

Paduan Suara Dialita dibentuk pada 2004. Selain didirikan oleh Irina Dayasih dan Mudjiati, Dialita didirikan oleh Utati, istri Koesalah Soebagyo Toer, adik sastrawan Pramoedya Ananta Toer; dan Nani Nurani Affandi, penyanyi dan penari Istana Cipanas zaman Presiden Sukarno. Mereka mengumpulkan eks tahanan politik yang rata-rata keluar dari tahanan pada 1977-1979. "Saya usul untuk menyanyikan lagu-lagu yang kami buat di penjara," kata Utati, 71 tahun, yang pernah ditahan di penjara Bukit Duri karena aktif berkesenian di Pemuda Rakyat.

Mulai 2005 itulah Utati dan Mudjiati mulai menelusuri dan mengingat lagi lagu yang sering dinyanyikan dan diciptakan di penjara. Mereka mencoba menggali lagi lagu dan syair yang pernah eks tahanan politik ciptakan di penjara Salemba, Bukit Duri, Ambarawa, dan Plantungan. Setiap lagu menggambarkan apa yang dialami, dirasakan, dan dilihat para tahanan. Waktu yang panjang membuat mereka sering kehilangan syair dan partiturnya.

Kebanyakan lagu yang dikumpulkan adalah lagu yang dibuat di penjara Bukit Duri, seperti Ibu Indonesia Jaya, Buruh Wanita (ciptaan Utati), Ujian (disadur Juswati Adjitorop), Tetap Tersenyum Menjelang Fajar (syair ditulis Masye Siwi), Salam Harapan (syair Murtiningrum), Relakan (Sudiyamik)—tiga syair lagu digubah oleh Zubaidah Nungtjik. Ada juga lagu kenangan kesukaan Mudjiati, yang masuk Plantungan pada usia 17 tahun, berjudul Bunga Mawar (ciptaan Kus Sri Sulistya). "Itu lagu cinta," ujar Mudjiati saat ditemui di Kampung Ngadiwinatan, Yogyakarta.

Ada pula lagu koleksi dari Salemba: Kupandang Langit (Koesalah Soebagyo Toer), Awan Putih (Bachtiar Siagian), dan Pucuk Bambu (Oka Sukanta). Dari penjara Ambarawa, ada Lagu untuk Anakku (Heryani Busono Wiwoho dan Juwito). Mereka menulis syair dengan berbagai cara: pada koran bekas bungkus cabai, bungkus sabun batangan, kertas bungkus rokok, atau baju. Setelah itu mereka berusaha menghafalnya. Lagu Salam Harapan adalah lagu ulang tahun bagi mereka yang berulang tahun di penjara.

Lagu-lagu itu membuat Utati dan Irina Dayasih terasa pilu. Irina bahkan selalu ingin menangis tiap kali menyanyikan lagu Relakan. Diiringi senyum dan lambaian tangan, kawan//Kulangkahkan kakiku//Kutinggalkan deretan terali besi//Sekian lama kita bersama, suka duka kita alami//Kini selamat tinggal, kawan//Entah ke mana daku pergi relakan relakan//Demi satu cita, kita pasti berjumpa di alam bebas merdeka.

Sebelum muncul Paduan Suara Dialita, sebenarnya ada beberapa kelompok paduan suara eks tahanan politik di mana Nani Nurani ikut aktif, yakni Wanoja Bangkit. Mereka menyanyikan lagu-lagu Sunda. Ada pula Suara Bineka, kepanjangan dari Suara Biduan Nenek Kakek, yang terbentuk pada 1990. Mereka pun sepakat menyanyi; berlatih di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan tampil pertama kali pada 2005 dengan nama Wanoja Bangkit. Mereka kemudian dikenal sebagai paduan suara keroncong. Setelah itu, mereka sering diundang menyanyi di berbagai acara yang digelar lembaga yang masih terbatas, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Perempuan, Lembaga Bantuan Hukum, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, serta Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran. "Lagu yang kami nyanyikan sesuai dengan permintaan dan tema acaranya. Banyak juga lagu nasional," ujar Irina dan Tuti bersamaan.

Tentu saja mereka tak berlatih seintens paduan suara profesional. Biasanya ibu-ibu itu akan berlatih sepekan sekali, jika waktunya cukup panjang sebelum pementasan. Bila sedang tak ada pementasan, mereka berlatih dua pekan sekali—setiap Sabtu atau Ahad. Tempatnya bergiliran. Tak jarang mereka mendapat undangan pentas dadakan. Mereka baru berlatih beberapa jam sebelum pementasan pada hari-H. "Misalnya acara pukul 14, pukul 10 kumpul latihan. Kadang juga sambil dandan," ucap Irina.

Mereka berharap tahun depan bisa merekam lagu-lagu itu dalam cakram padat dan membukukan 20 lagu yang terkumpul. Lagu-lagu tersebut, kata Irina, kebanyakan tentang cinta pada tanah air serta kerinduan pada anak dan keluarga. Ada pula lagu peringatan Kemerdekaan 1945 yang bernilai nasionalisme. Irina pun berharap orang tak lagi fobia terhadap aktivitas berkesenian yang dilakukan eks tahanan politik 1965 dan keluarganya. "Kalau kami menyanyi, janganlah takut dan curiga kami mau ngapa-ngapain. Kami cuma membawa pesan persahabatan, perdamaian," ujar Irina.

Pito Agustin Rudiana, Dian Yuliastuti, Seno Joko Suyono


Mengenal Njoto Saat Berusia 20 Tahun

Wajahnya tak saya ingat. Bahkan namanya pun saya tidak tahu," kata Irina Dayasih, putri Njoto, saat ditemui Tempo di Kampung Ngadiwinatan, Kota Yogyakarta, 4 November lalu. Ia justru mengenal ayahnya saat berusia 20 tahun. "Saya berusia 20 tahun ketika tahu siapa Bapak. Dan saya kaget karena Bapak bagian dari itu (Partai Komunis Indonesia)," kata Irina dengan mata berkaca-kaca.

Irina lulus sekolah menengah atas di Sumatera dan mendengar ibunya dibebaskan dari penjara pada 1978. Baru pada 1982 ia pulang ke Jakarta dan bertemu dengan ibunya. Setelah itu, sang ibu mengajaknya bertandang ke rumah kawan-kawan ayahnya. Dari sanalah cerita tentang ayahnya baru didengar.

Selama ini tak pernah Irina menemukan nama ayahnya dalam buku sejarah yang dibacanya. Nama D.N. Aidit lebih banyak muncul sebagai tokoh PKI. Ibu dan keluarga besarnya mengunci rapat mulut mereka untuk tidak menceritakan sosok Njoto. "Semua mengubur dalam-dalam siapa bapak saya," ujar Irina. Irina tumbuh dalam asuhan pakdenya di Sumatera. Aktivitasnya diawasi dan dibatasi. Sepulang sekolah, dia harus langsung pulang.

Dua peristiwa penting yang masih melekat dalam ingatan Irina, anak kelima dari tujuh bersaudara pasangan Njoto dan Sutarni, adalah penahanan ibunya di Kantor Komando Daerah Militer Air Mancur di Jakarta dan peristiwa penangkapan ibunya di Wonogiri, Jawa Tengah. Irina pernah membuat sebuah tulisan berjudul "Kodim 1966".

Menurut Irina, ibunya hanya ibu rumah tangga yang mengurusi tujuh orang anaknya. "Karena Ibu istri Bapak, akhirnya ikut kena (ditangkap)," kata Irina. Setelah berpindah-pindah persembunyian atas bantuan mahasiswa CGMI, ibunya ditangkap di Gunung Sahari, Jakarta, pada 1966. Sejak itulah dia ditahan di Kodim Air Mancur di Asrama Borobudur, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta. Dia mengajak serta tujuh anaknya karena tak mau berpisah. Apalagi si bungsu, yang diberi nama Butet, baru berusia dua bulan.

Keluarga besar berupaya membebaskan mereka. Adik ipar ibu Irina menjaminkan diri untuk ditahan asalkan ibu dan tujuh anak itu bebas. Kemudian mereka ditampung pakdenya, yang berada di Wonogiri. Hingga kemudian peristiwa yang tak diduganya terjadi pada 1969. Ahad pagi, Irina beserta kakak dan adiknya bermain di halaman rumah pakdenya yang luas. Tiba-tiba sebuah mobil jip datang sekitar pukul 10.00. Orang-orang berseragam masuk ke rumah pakdenya, sebagian lagi tidak turun dari jip.

Mereka menggeledah seisi rumah. Anak-anak tak boleh masuk dan hanya menunggu di teras. Makan siang pun di teras. Rasa takut menekan keingintahuan mereka sehingga memilih diam dan menurut. Menjelang magrib, salah satu petugas itu mendekati bocah-bocah tersebut. Ucapannya sangat diingat Irina hingga kini. "Kami pinjam ibu, ya. Sebentar kok, cuma sehari. Nanti dikembaliin lagi," ujar petugas itu. Sutarni pun pergi menggendong Butet yang menangis luar biasa. Irina dan saudara lainnya hanya bisa mengantarkan sampai di teras. Sutarni berpesan agar anak-anaknya bersekolah dengan baik dan tidak boleh nakal."Sejak itu tak pernah ketemu Ibu," kata Irina.

Sutarni dipindahkan dari penjara di Wonogiri ke Surakarta, kemudian ke Semarang, Jakarta, dan terakhir di Plantungan hingga dibebaskan pada 1978. Tak hanya berpisah dengan ibunya, kakak-adik itu juga berpisah. Irina diasuh salah satu keluarganya di Sumatera. Ketiga kakaknya melanjutkan sekolah di Surakarta. Adik-adiknya diasuh keluarganya yang lain. Setelah berkumpul kembali dengan ibunya pada 1982, anak beranak itu pun berkeliling untuk bertemu dengan keluarga lain, juga sahabat-sahabat ayahnya. Dari semua cerita yang didengar Irina, ibunya berasal dari keluarga besar ningrat di Surakarta. Sedangkan ayahnya dari keluarga kecil.

"Bapak disebut orang baik, perhatian. Teman-temannya bilang Bapak orang hebat. Tapi saya tak mengenalnya," ujar Irina.

Pito Agustin Rudiana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus