Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
A COPY OF MY MIND
Sutradara: Joko Anwar
Skenario: Joko Anwar
Pemain: Tara Basro, Chicco Jerikho, Paul Agusta, Maera Panigoro
Produksi: Lo Fi Flicks dan CJ Entertainment
Jakarta, mungkin saja tahun lalu, mungkin saja dulu, tak hanya terdiri atas matahari garang, udara yang terdiri atas debu kasar, pemilik mobil dan sepeda motor yang galak, serta warganya yang gemar bersungut-sungut. Di sana juga ada Sari dan Alek. Sari (Tara Basro), pekerja salon, setiap hari bergerak mengusap keringat saat azan berlomba-lomba membangunkannya. Ia lalu sepanjang hari memijit dan membersihkan wajah para ibu yang penuh keluh kesah. Pada sore hari, Sari menyeruput teh di warung sembari menatap ke seberang, sebuah salon kelas atas yang tampak lebih nyaman dan mewah. Adapun Alek seorang penerjemah teks DVD bajakan di kawasan Glodok. Keduanya tak mengeluh, tapi juga tak didera ambisi cita-cita besar. Alek (tanpa S di belakang namanya) mengisi hari dengan mencari duit, mengurus Bude yang hanya menatap televisi setiap hari, dan mengisi gelap malam untuk berjudi; sedangkan Sari bercita-cita ingin membeli televisi besar agar bisa menyaksikan film-film di kamar kosnya yang sempit itu. Di antara kampanye tiga calon presiden yang bising di Jakarta, Alek dan Sari tidak larut dalam kehebohan politik itu.
Segalanya berubah ketika mereka bertemu.
Alek dan Sari bertemu di tempat penjualan DVD bajakan, satu-satunya hiburan di Jakarta bagi penggemar film yang tak berduit atau yang tak ingin "membuang duit". Cinta tumbuh. Mereka bercinta dengan asyik sembari sesekali memperbincangkan film yang mereka sukai. Sari mengatakan, sembari bergurau, dia suka film monster dan makhluk jadi-jadian, "misalnya makhluk seperti buaya dengan kancil, menjadi Bukan...." Hal remeh-temeh yang intim dan kecil ini justru yang kemudian melekat di dalam benak, lantas terulang dalam sanubari. Bukan hal besar yang megah. Mungkin itu yang disebut "mencintai dengan sederhana".
Tapi segalanya menjadi tak lagi sederhana. Sari yang sesekali gemar mencuri DVD itu kena batunya. Dia ditugasi membersihkan dan memijit wajah klien istimewa di penjara, Bu Mirna (Maera Panigoro dalam penampilan pertama yang bersinar), perempuan penuh kuasa yang berceloteh tentang tas Hermes dan berbagai tas mahal lain selama wajahnya dirawat. Pada saat itulah Sari, yang tengah menanti di "kamar penjara" mewah tersebut, mencuri DVD milik Bu Mirna. Ternyata isi DVD itu adalah sebuah rekaman perbincangan antara Bu Mirna dan beberapa pejabat tinggi negeri ini tentang "apel"—bahasa duit yang dikenal selama ini di kalangan politikus.
Segala yang tenang, intim, dan asyik berubah menjadi hari-hari penuh rasa takut. Sari dan Alek adalah orang-orang yang tak punya keinginan apa-apa tapi akhirnya terlibat dalam dunia hitam yang tak sekadar keras, tapi juga sangat keji dan tak memberi harga pada nyawa manusia.
Kali ini sutradara/penulis skenario Joko Anwar memilih (kembali) menciptakan sebuah kisah keseharian, kisah yang dekat dengan kita dan dengan penggemar film. Tentu saja, pada film pertamanya, Janji Joni, Joko sudah pernah menampilkan dunia industri film dengan sentuhan komedi. Kini ia memilih sebuah dunia pinggiran Jakarta, orang-orang yang mudah terlindas hanya karena satu kesalahan yang tampak tak berarti: mencuri benda kecil (yang ternyata sebuah barang bukti). Kamera sengaja menangkap Jakarta yang kumal, wajah-wajah lelah penuh keringat, dan bahkan terasa aroma tubuh yang berbaur dengan bau got di tempat kos yang berdesakan itu. Kamera sengaja sering dengan handheld sehingga rekaman di daerah kumuh Glodok serta gang rumah Alek dan Sari seperti sebuah rekaman dokumenter.
Yang menarik, persoalan sosial dan politik bukan sekadar latar belakang cerita, melainkan menjadi jalinan plot yang langsung menggelung kedua protagonis. Sari dan Alek ada di pusaran politik itu. Joko bersikap: politik, siapa pun pelakunya, pada akhirnya akan masuk lumpur, apakah sekadar seujung jari atau seluruh tubuh. Lebih menarik lagi, semua pemainnya sama sekali tak terlihat tengah melakukan sebuah seni peran, begitu saja mereka menjadi bagian yang organik dari seluruh cerita. "Saya memang membuat sistem yang berbeda kali ini. Saya sampaikan sinopsis cerita dan karakter mereka masing-masing, lalu kami berlatih cukup lama agar dialog bisa lahir dari karakter yang tumbuh dari pemain," kata Joko Anwar kepada Tempo. Hasilnya, mereka cukup syuting selama 10 hari dengan biaya yang cukup rendah. Bukan hanya Tara Basro dan Chico Jerikho yang membara, Paul Agusta juga tampil memukau. Kita langsung saja terpukau oleh para karakter dan ingin mereka hidup aman dan bahagia.
Tapi Joko Anwar bukan penikmat film Disney atau film-film manis lain. Dia pencinta Indonesia yang mencoba ingin berharap, meski dengan kesedihan. "Ini adalah sebuah surat cinta," ujarnya. "Surat Cinta" ini ditayangkan perdana di festival film bergengsi, seperti Toronto International Film Festival, Busan International Film Festival, dan Venice Film Festival. Untuk Festival Film Indonesia tahun ini, film ini memperoleh tujuh nominasi, termasuk nominasi Film Terbaik.
"Surat Cinta" ini mungkin bisa dianggap sebuah kritik yang tajam sekaligus yang sangat tepat waktu. Joko Anwar menulis skenario film ini beberapa tahun silam dan ternyata apa yang ditulisnya tak jauh dari sebuah berita yang tengah meledak saat ini.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo