Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ibadi, Khawarij, dan Damai di Oman

23 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AZAN asar berkumandang. Khamis Ameer, 90 tahun, dan anaknya mengajak saya salat berjemaah. Seperti masyarakat Oman pada umumnya, mereka adalah penganut Islam Ibadi. Dia dengan bangga menyatakan diri sebagai penganut paham yang juga dianut Sultan Qaboos bin Said itu. "Karena paham inilah Oman bersatu," katanya tersenyum.

Ketika salat, mereka tak meletakkan kedua tangan di depan dada, tapi membiarkan tangan bergelantung di samping badan, mirip aliran Syiah Imam 12. Perbedaan lain, mereka tak mengucapkan "amin" setelah membaca surat Al-Fatihah. Pada salat subuh tak ada doa qunut.

Aliran Islam Ibadi berkembang pesat dari tanah kelahiran Khamis Ameer, Desa Nizwa. Ibadi lahir sekitar tahun 650 Masehi, atau 20 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. "Ini paham yang kami anut sejak dulu," kata Khamis Ameer saat saya berkunjung ke kediamannya pada akhir Oktober lalu.

Berbicara tentang Islam Ibadi sama dengan membuka lembaran kitab-kitab teologi lama. Kitab Al-Milal wa al-Nihal, karangan Muhammad Asy Syahrastani sekitar 1145 Masehi, membeberkan panjang-lebar perihal berbagai sekte dan teologi di dunia, termasuk Yahudi, Zoroaster, Kristen, dan tentunya Islam.

"Aliran ini salah satu sempalan kelompok Khawarij, orang-orang yang tak mengakui kekhalifahan Usman bin Affan," tulis Asy Syahrastani tentang Islam Ibadi. Kelompok ini dipimpin Jabir bin Zaid. Meski begitu, Jabir menolak menghalalkan darah Usman dan kelompok muslim lain yang memiliki pemikiran berbeda. Pemikiran tersebut berseberangan dengan Khawarij lain. Dalam sejarah, Khawarij memang dikenal sangat bergaris keras. Pada masa Dinasti Umayyah, kekhalifahan setelah Ali bin Abi Thalib, kelompok pimpinan Jabir ini mendapat dukungan luas untuk menghadapi Khawarij garis keras.

Meski didirikan Jabir bin Zaid, nama "Ibadi" diambil dari nama muridnya, Abdullah bin Ibadh at-Tamimi, teolog muslim yang hidup pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwa, khalifah kelima Dinasti Umayyah. Dia jualah yang mendirikan Sekolah Teologi Ibadi. Hanya, Abdullah bin Ibadh tidak sehaluan dengan Dinasti Umayyah. Kelompok ini akhirnya meninggalkan Basra, Irak.

Setelah Abdullah bin Ibadh wafat, kelompok ini dipimpin Abu al-Sha'tha Jabir bin Zayd al-Zahrani al-Azdi. Pada masa itu Islam Ibadi berkembang dari Oman, khususnya di Nizwa, dan meluas hingga Zanzibar, Tanzania, Libya, Tunisia, dan Aljazair. Kini 75 persen penganut Ibadi ada di Oman, satu-satunya negara yang menjadikan aliran ini sebagai mazhab resmi.

Dalam beberapa aspek, Ibadi berbeda dengan aliran Islam lain. Sumber hukum, misalnya. Sementara Islam Sunni berdasarkan Al-Quran, hadis, ijmak ulama (kesepakatan ulama), dan qiyas (analogi), aliran Islam Ibadi hanya menggunakan tiga sumber hukum, tanpa memasukkan unsur qiyas karena dianggap mendahului apa yang ditentukan Allah SWT.

Dalam hal teologi, tulis Valerie Jon Hoffman di buku The Essentials of Ibadi Islam, aliran Ibadi banyak dipengaruhi oleh pemikiran Muktazilah. Mereka berpendapat bahwa Allah tidak dapat dilihat di akhirat. Ini berlawanan dengan pemahaman kaum Sunni, yang percaya bahwa Allah akan menampakkan wujudnya pada hari pembalasan. Kaum Ibadi juga percaya bahwa seseorang akan kekal di neraka, muslim sekalipun.

Meski sedikit-banyak mengekor Muktazilah, Ibadi termasuk aliran Islam moderat. Itu terlihat dari cara pandang mereka terhadap permusuhan antara Sunni dan Syiah. "Menurut Ibadi, tak ada kelompok yang berhak mengklaim paling benar, karena hanya Allah SWT yang berhak menjadi hakim," tulis Hoffman. Itulah yang membuat Oman, negara dengan penganut Ibadi terbesar, memiliki lingkungan yang bebas dari konflik antarsekte dan teologi. Di tanah air Khamis Ameer, kaum Ibadi, Sunni, dan Syiah melaksanakan salat bersama-sama dalam satu masjid. "Kita semua satu Islam," ujar Khamis Ameer.

Amri Mahbub (Nizwa, Muskat)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus