Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Reruntuhan Desa Tanuf

Oman banyak memiliki desa kuno. Salah satunya Tanuf, yang memiliki sejarah kelam. Mata airnya menjadi tumpuan hidup banyak orang.

23 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERSELIP di antara pegunungan Jabal al-Akhdar, reruntuhan Desa Tanuf tampak masih sangat gagah. Tak ada suara selain embusan angin yang mendesir perlahan di telinga dan gemericik aliran sungai bawah tanah atau falaaj yang melenakan. Dari Muskat, ibu kota Oman, desa tua yang masuk Provinsi Dakhiliyah ini berjarak 175 kilometer dan dapat ditempuh melalui perjalanan darat selama dua jam.

Sekitar 70 tahun silam, reruntuhan ini adalah desa yang damai. Tanuf, menurut Abdullah Zayeed, 32 tahun, warga Muskat yang memandu Tempo mengunjungi desa ini, pernah sangat subur lantaran sumber airnya berlimpah. Warganya hidup sederhana. Tapi, suatu hari, kedamaian di Tanuf berubah menjadi neraka. Pada 1957 siang, pesawat Angkatan Udara Inggris membombardir desa ini dengan 455 kilogram bom. Laki-laki, perempuan, anak-anak, tua, muda, dari suku Bani Riyam yang meninggali desa itu, mencoba menghindar. Ada yang berlari ke arah sumber air, banyak pula yang bersembunyi di dalam rumah dan gorong-gorong falaaj. Sayangnya, upaya mereka sia-sia karena belakangan banyak yang tewas.

Selain melumat permukiman, bom itu menghancurkan sistem irigasi falaaj. Fungsinya baru kembali seperti sediakala setelah dilakukan pembangunan besar-besaran semasa Sultan Qaboos bin Said, Raja Oman yang sekarang berkuasa. Hingga kini tak ada yang tahu pasti berapa jumlah korbannya.

Tiba-tiba suara bariton Abdullah terdengar memanggil. Ia berdiri dekat bangunan berwarna cokelat tanah berbentuk kubus. Atapnya sudah hilang. Bentuk jendela dan pintunya sudah tak beraturan. Ada sebuah tulisan berbunyi "Muhammadur Rasulullah", yang artinya Muhammad-lah utusan Allah. "Mungkin ini ditulis pada zaman itu," katanya, menunjuk sebuah tulisan hampir pudar berwarna cokelat beraksara Arab.

Tanuf merupakan daerah penting, bahkan sudah ada sejak masa pra-Islam dan pernah menjadi pusat permukiman Badui saat itu. Komunitas itu tetap bertahan sampai Islam masuk. Kini reruntuhan Tanuf kerap disebut "sisa-sisa pergolakan Imamah".

Di sebelah rumah itu ada tembok cukup tinggi. Reruntuhan desa dapat terlihat dari atas tembok tersebut. Dari tempat ini, terlihat Tanuf seperti Ashur, kota tua di Irak utara, atau Mari, kota kuno di Suriah. Dua desa tersebut telah ada sejak ribuan tahun silam. Dari atas sini saya kembali teringat kunjungan ke rumah Khamis Ameer di Nizwa. Keluarganya tidak memiliki penyejuk udara, tapi terasa sejuk karena rumahnya dibangun dari tanah liat dan bata. Kesejukan itu pula yang saya tangkap dari reruntuhan ini.

JABAL al-Akhdar, yang artinya gunung hijau, terlihat kokoh dari kejauhan. Gunung batu setinggi 2.900 meter itu berjarak 3-4 kilometer dari reruntuhan Tanuf. Di lembahnya, ada pusat sumber air dengan nama sama seperti desa yang hancur. Di sini pula pemerintah Oman membangun perusahaan penyedia air minum.

Lanskap gunung-gemunung yang megah dan sisa reruntuhan Desa Tanuf itu menarik wisatawan untuk berkunjung. Kebanyakan mereka berasal dari Inggris, Jerman, Belanda, dan Prancis. Selain mengagumi sisa-sisa peradaban Badui, mereka datang untuk melakukan petualangan ke atas gunung batu yang megah, sembari menikmati lanskap alamnya.

Martin Parcell, 62 tahun, asal Inggris, sudah empat kali mengunjungi Tanuf. Pada tiap kunjungan, dia memilih rute berbeda. Itu dilakukannya demi satu hal, "Membaca sejarah," ujar pria asal London itu. Bagi Parcell, Oman sedikit-banyak memiliki hubungan historis dengannya. Dia mengenal Tanuf pertama kali dari buku sejarah lama yang ia beli di toko buku bekas pada akhir 2000-an. "Saya membaca dalam buku itu Oman digambarkan sebagai daerah yang harus dijauhi karena menganut ideologi komunis jahat," katanya.

Namun belakangan dia menemukan fakta bahwa Inggris turut campur tangan dalam menghancurkan kawasan indah ini. "Tanuf hancur karena negara saya," ujarnya. Siang itu, dia pergi ke sumber air atau wadi di Tanuf. Dari nada bicaranya, dia terkesima melihat sumber air yang dapat menghidupi 1,8 juta warga Muskat dan Nizwa itu. "Tanuf sangat cantik, walau memiliki sejarah kelam," ucapnya.

Amri Mahbub (Nizwa, Muskat)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus