Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat kapal cepat Saraung X yang membawa Tempo merapat ke pantai Pulau Jaam, Kepulauan Misool, Raja Ampat, Papua Barat, tiba-tiba salah seorang penumpang berteriak. "Itu ada anak hiu!" katanya sambil menunjuk ke sisi kiri kapal.
Segera pandangan 13 pasang mata penumpang kapal langsung menuju arah yang ditunjuk. Di dalam laut nan jernih, seekor anak hiu terlihat jelas meliuk-liuk. Kemunculan hiu yang tiba-tiba itu membuat penumpang tertegun.
Sebenarnya hiu bukan hewan asing bagi masyarakat kawasan Kepulauan Misool, yang berada di wilayah selatan bentang laut kepala burung Pulau Papua. Di Raja Ampat terdapat paling tidak 17-18 jenis hiu. Sedangkan di kawasan Pulau Jaam, terdapat kira-kira tiga jenis hiu, yaitu hiu karang sirip hitam (black tip reef shark), hiu karang sirip putih (white tip reef shark), dan hiu karang abu-abu. Namun penampakan hiu hidup di daerah Pulau Jaam merupakan kabar yang sangat menggembirakan.
Maklum, puluhan tahun silam, hiu di pulau yang tidak berpenghuni itu lebih banyak terlihat dalam keadaan mati terbunuh. "Pulau Jaam ini dulu terkenal sebagai tempat utama pemotongan sirip hiu," kata Irwan Pasambo, Misool Outreach Officer The Nature Conservancy, yang menemani kami berkunjung ke pulau itu.
Muhammad Yusuf Bahalle, warga Kampung Yellu, yang letaknya tidak jauh dari Pulau Jaam, membenarkan perkataan Irwan. Ketika duduk di bangku sekolah dasar, pria 28 tahun itu mengaku sering melihat nelayan membuat tenda sementara berbahan terpal dan menetap di pulau itu barang satu-dua pekan. Penangkap ikan yang berasal dari dalam dan luar wilayah Misool itu ramai-ramai menangkap hiu dan memotong siripnya untuk dijual. "Terkadang daging hiu juga diambilnya untuk dimakan," kata Yusuf, yang ayahnya dulu salah seorang nelayan yang kerap memburu dan menjual sirip hiu.
Pembantaian hiu di beberapa kawasan Misool, khususnya di Pulau Jaam, memang sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat daerah setempat. Andi Dharmawan alias Cagi, yang juga berasal dari Kampung Yellu, pernah mengalami masa-masa itu. "Sewaktu ada pemotongan hiu itu, jujur saya termasuk pelaku pemotongan hiu," ujarnya. Cagi mengaku, dulu, pada 2001-2004, dia sempat tinggal cukup lama di pulau itu dengan tenda sementara untuk mencari hiu.
Bersama nelayan yang berasal dari dalam dan luar kawasan Kepulauan Misool, Cagi memburu sirip hiu. Mereka tidak membangun rumah tetap di Pulau Jaam karena menangkap hiu merupakan pekerjaan musiman yang dilakukan tergantung kondisi cuaca dan alam daerah itu.
Menurut Cagi, dulu harga sirip hiu sebesar 60 sentimeter bisa mencapai Rp 4 juta di Sorong, yang memakan waktu empat jam menggunakan kapal cepat dari kawasan Misool. Adapun daging hiu setiap kilogram dihargai Rp 1 juta. Kini Cagi dan ayah Yusuf serta para nelayan lain tidak berburu hiu lagi.
Boleh dibilang, kini populasi hiu di kawasan Misool meningkat pesat. Menurut pantauan yang dilakukan tim dari The Nature Conservancy (TNC) sejak 2009, disebutkan bahwa hiu yang mereka lihat di kawasan konservasi di perairan Misool dan Kofiau itu jumlah dan biomasanya meningkat hampir tiga kali lipat pada 2014. "Kondisi ini merupakan kabar gembira juga bagi kami, para peneliti," kata Purwanto dari tim monitoring TNC.
Peningkatan populasi hiu di kawasan itu berkat kerja keras TNC mengajak masyarakat sekitar dua tahun lalu untuk melakukan pengawasan di daerahnya. Mereka akhirnya berhasil meyakinkan masyarakat untuk menutup sementara beberapa kawasan laut guna menjaga perlindungan biotanya.
Masyarakat menamai aktivitas itu dengan sebutan sasi. Ini merupakan tradisi masyarakat setempat untuk menetapkan masa jeda eksploitasi laut di satu wilayah penangkapan ikan. Semacam moratorium. Tradisi sasi datang dari Maluku ratusan tahun silam.
Di antara masyarakat setempat yang ikut melakukan pengawasan ada Yusuf dan Cagi. Keduanya bekerja melakukan patroli pengawasan. Yusuf sebagai koordinator patroli masyarakat, sedangkan Cagi wakilnya di kawasan Sektor A Kepulauan Misool. Kepulauan Misool dibagi menjadi tiga sektor. Sektor A menjangkau empat kampung untuk diawasi, sektor B menjangkau lima kampung, sedangkan sektor C mengawasi empat kampung.
Pulau Jaam masuk sektor A. Yusuf bercerita, setiap bulan, setiap kampung di sektor A akan mengirimkan satu orang lelaki untuk melakukan patroli pengawasan. "Satu bulan kami melakukan dua kali patroli. Satu patroli itu dilakukan selama tiga-lima hari," kata pria dari suku Matbat itu. Satu tim terdiri atas empat-lima orang.
Sore itu, Cagi hendak melakukan patroli. Kepada Tempo, ia memperkenalkan tiga anak lelaki yang baru lulus sekolah menengah atas daerah itu untuk melakukan patroli bersamanya. Dengan longboat, Cagi dan timnya akan mengitari beberapa pulau di kawasan itu. Mereka mengawasi keberadaan nelayan yang berasal dari dalam atau luar kawasan Misool yang menangkap ikan di zona terlarang, termasuk di kawasan sekitar Pulau Jaam. "Kami akan menegur mereka atau memberi tahu mereka bahwa ini adalah kawasan larangan tangkap dan memberi tahu mereka agar segera keluar dari zona ini," kata Cagi.
Menurut Cagi, dia bersama timnya tidak memiliki jalur yang sama setiap melakukan patroli. Langkah itu ditempuh agar para nelayan tidak bisa mencium jejak petugas patroli masyarakat sehingga mereka tidak bisa menghindar. Setiap melakukan patroli, petugas mendapat uang pengganti hari kerja Rp 50 ribu. Cagi pun mendapatkan jumlah sama.
Tentu saja jumlah uang itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan pengalamannya bisa menghasilkan pendapatan jutaan rupiah dengan menjual sirip hiu. Namun pria pendatang asal Bugis, Sulawesi Selatan, itu tetap mensyukurinya. Ketika tidak melakukan kegiatan patroli, Cagi mengaku lebih sering berkebun. "Sebenarnya ini kan tempat saya, pulau ini tempat saya. Daripada orang yang jaga, mending saya jaga," ujar ayah satu anak ini.
Perubahan drastis juga dialami Balif Wainsaf. Pria 33 tahun yang kini bekerja di bagian pemantauan TNC itu pernah terang-terangan menolak ajakan TNC untuk menjaga lingkungan. Dulu, selain sebagai buruh pabrik di sebuah perusahaan mutiara di Kampung Yellu, Balif sering menyelam menggunakan kompresor. Mesin yang biasanya digunakan untuk memompa ban itu dijadikan Balif sebagai alat bantu pernapasan saat dia menyelam. Ia juga menggunakan alat itu untuk membius ikan dan biota laut lain agar bisa lebih mudah ditangkap. "Dulu kan saya tidak tahu tentang konservasi," kata Balif.
Balif ingat saat pihak TNC hendak melakukan pendekatan terhadap orang-orang di kampung halamannya, Kampung Fafanlap, Kepulauan Misool, dia salah seorang yang mengusir anggota lembaga swadaya itu. Tapi, setelah beberapa lama, ia pun sadar bahwa kegiatan mencari ikan dengan kompresor dapat merusak ekosistem laut. Ia pun ikut belajar menjaga alam dengan menjadi koordinator petugas patroli masyarakat sektor C pada 2010-2012. "Alam ini kan untuk anak-cucu kita nanti," ujarnya memberi alasan mau belajar menjaga alam.
Bersama timnya dan kawan-kawannya, Balif mengaku pernah menangkap nelayan yang masih memotong sirip hiu di kawasan patrolinya. Setelah dirembukkan di desa, ia dan teman-temannya sempat membawa nelayan asing pencuri ikan hiu itu ke kepolisian Sorong.
Yusuf, Cagi, dan Balif merupakan anggota masyarakat setempat yang akhirnya merasa peduli pada lingkungan sekitar. Sebelumnya, menurut Purwanto dari TNC, sebagian besar masyarakat di Kepulauan Misool dan Kofiau kurang peduli pada alam sekitar. Puluhan tahun lalu, selain membunuh hiu, mereka kerap menjebol terumbu karang sebagai bahan dasar bangunan rumah.
Purwanto mengatakan sebenarnya tidak terlalu susah mengajak masyarakat setempat melindungi hiu dan biota laut lainnya. Yang terpenting bagaimana memberikan pemahaman mengenai fungsi ekologi dari hiu dan dampaknya jika hiu punah. "Ketika memahami, mereka malah di garis terdepan untuk melindungi hiu dan biota laut lain," katanya. "Itu terbukti dengan besarnya dukungan masyarakat ketika pemerintah daerah mengeluarkan Peraturan Pelarangan Penangkapan Hiu dan Parimanta serta jenis ikan tertentu di perairan Raja Ampat."
Namun ia tak memungkiri masih ada saja nelayan dari luar daerah yang mencoba-coba menangkap hiu di situ. Mereka menggunakan kapal yang lebih maju dibanding longboat milik petugas patroli warga yang diakomodasi TNC. "Kebanyakan nelayan itu menggunakan kapal cepat. Sedangkan kami memakai longboat yang hanya bisa digunakan untuk wilayah kami," kata Yusuf.
Mitra Tarigan (Raja Ampat)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo