Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Papan putih bertulisan "Lokasi Sasi Masyarakat" berwarna merah itu "menyapa" ketika pengunjung memasuki Kampung Deer, Kepulauan Kofiau, Raja Ampat, Papua Barat, pada Rabu siang awal Juni lalu. Penulisan kata "lokasi" dan "sasi" yang terlalu rapat membuat orang yang belum pernah mendengar kata "sasi" akan berpikir tulisan itu salah cetak dan seharusnya "lokalisasi". "Itu lokasi sasi ya, bukan lokalisasi. Jangan salah, lho," ujar Nugroho Arif Prabowo dari The Nature Conservancy (TNC) bercanda.
Papan yang ditancapkan di pinggir pantai tersebut sebagai tanda bahwa daerah itu merupakan kawasan sasi. Sasi adalah tradisi menetapkan masa jeda eksploitasi laut di satu wilayah penangkapan ikan. Tradisi ini salah satu kearifan lokal yang masih terjaga di kawasan Kepulauan Kofiau dan Misool, di bagian selatan Kabupaten Raja Ampat.
Dalam melakukan sasi, masyarakat setempat melibatkan tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat lain. Sasi diibaratkan masyarakat setempat sebagai kawasan tabungan bagi mereka dalam hal sumber daya alam. Mereka akan menutup suatu kawasan laut tanpa mengambil sumber daya di kawasan sasi itu serta membiarkan ekosistem yang berisi berbagai biota laut dapat berkembang biak sendiri tanpa terganggu. "Kapan sasi dibuka atau ditutup itu sesuai dengan kesepakatan," kata Abdul Rajak Umkabu, 52 tahun, tokoh adat Kepulauan Misool.
Mereka percaya bahwa sasi dapat memulihkan kembali biota laut atau wilayah yang mengalami penurunan hasil serta memulihkan kembali hubungan antara alam dan manusia. Mereka juga percaya, bila ada yang melanggar kesepakatan kawasan sasi, ia akan mendapat malapetaka berupa sakit atau bahkan kehilangan nyawa bagi dia sendiri atau keluarganya.
Salah satu contoh kegiatan sasi yang berhasil terdapat di Kampung Kapatcol, Kepulauan Misool, yang dikelola ibu-ibu setempat. Kegiatan itu dipelopori mantan ibu Kepala Kampung Kapatcol, Betsina Hay. Perempuan 44 tahun ini bersama beberapa ibu di kampung yang mayoritas beragama Kristen itu mulai menumbuhkan gerakan sasi pada 2010. Menurut kesepakatan, desa mereka memulai sasi pada 2012. Mulanya hasilnya tidak terlalu bagus.
Betsina tak patah semangat. Dibantu TNC, dia dan sekitar 20 ibu kembali menutup daerah sasi. Setelah menunggu dua tahun, mereka berhasil. "Saat pembukaan sasi pada 2014, dalam satu malam kami bisa mendapat 15 lobster di satu perahu. Padahal dulu kami hanya bisa mendapat satu-dua," kata ibu enam anak ini. Selain lobster, hasil laut lain yang cukup melimpah yang didapatkan dari tradisi ini adalah teripang, ikan, dan lola.
Sistem penutupan atau zonasi itu pula yang diberlakukan Purwanto dan tim TNC serta masyarakat di kawasan Pulau Jaam, Kepulauan Misool. Purwanto tidak percaya ketika melihat hasil biota laut serta karang di kawasan Misool dan Kofiau, khususnya Kepulauan Jaam, mengalami peningkatan yang sangat signifikan. "Jarang sekali terjadi, peningkatan populasi dilakukan dalam waktu tiga-empat tahun saja," kata alumnus Universitas Diponegoro, Semarang, itu. Sebenarnya, tutur Purwanto, pemulihan karang untuk mengembalikan lagi habitat hiu dan berbagai biota laut biasanya memakan waktu 20-30 tahun.
Data TNC menyebutkan, pada 2009, jumlah hiu yang terlihat di kawasan Pulau Jaam hanya 20-an ekor. Dua tahun berikutnya, penampakan hiu semakin sedikit. Menurut Purwanto, hanya tujuh ekor yang terlihat di daerah itu setelah melakukan penyelaman 30 kali. Namun, setelah ada deklarasi adat yang menyatakan masyarakat adat sekitar mau ikut membantu menjaga alam, jumlah hiu di pulau itu terus meningkat. "Pada Maret 2014, kami melakukan monitoring lagi, dan terlihat sekitar 60 ekor hiu di kawasan yang dulu sebagai pusat pemotongan sirip hiu itu," ujarnya.
Menurut Purwanto, hiu-hiu itu menjadikan ekosistem di kawasan Raja Ampat, khususnya di Pulau Jaam, semakin bagus. Hiu merupakan salah satu hewan yang sangat penting dalam rantai makanan. Hiu adalah penyeimbang rantai makanan dalam ekosistem. Sebab, menurut Purwanto, hiu adalah predator yang hanya memakan ikan yang berpenyakit dan menyebarkan virus.
Itu sebabnya, apabila jumlah hiu tidak banyak atau punah, ikan bervirus akan menyebarkan sumber penyakit ini ke ikan-ikan lain. "Itu justru memicu ketidakstabilan ekosistem," katanya.
Mitra Tarigan (Raja Ampat)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo