Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Rekening Bocor Air Jakarta

Selama bertahun-tahun, rekening bersama Perusahaan Air Minum Jakarta dan dua operator swasta, Palyja dan Aetra, rawan jadi bancakan petinggi Ibu Kota. Isinya memang menggiurkan: lebih dari Rp 16,5 triliun dari setoran para pelanggan air sejak 1998. Sebuah insiden menjelang pemilihan Gubernur Jakarta dua tahun lalu membuka tabir praktek lancung ini. Siapa yang bermain?

14 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM terasa sangat panjang di kantor pusat Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya), Jalan Penjernihan II, Pejompongan, Jakarta Pusat, pekan pertama April 2012. Menjelang dinihari, hampir semua petinggi perusahaan daerah itu masih bertahan di ruang rapat. Direksi dan para manajer senior berdebat tak putus-putus.

"Saya masih ingat, para bos dikarantina di lantai dua, tak ada yang boleh pulang," kata Suhaimi, salah satu karyawan PAM Jaya yang ada di kantor pada malam itu. Dia aktivis serikat buruh di sana. Alamsyah Panjaitan, anggota staf ahli direksi PAM Jaya, membenarkan. "Mereka rapat terus beberapa malam," ujarnya mengenang. Keduanya diwawancarai Tempo pada awal Juni lalu.

PAM Jaya memang harus mengambil keputusan penting hari-hari itu. Mereka harus segera merespons desakan mitra mereka, dua perusahaan swasta yang jadi operator layanan air minum Jakarta sejak 1998, PT PAM Lyonaisse Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta.

Kedua perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki investor asing itu sudah lama meminta PAM Jaya segera mencairkan dana dari pembayaran rekening air yang tertunggak. Total jumlah tagihan mereka lumayan besar: lebih dari Rp 226 miliar.

Sesuai dengan perjanjian kerja sama, cair-tidaknya dana itu memang tergantung PAM Jaya. Sejak permintaan Palyja dan Aetra pertama kali dilayangkan pada pertengahan 2010, perusahaan daerah ini kukuh menolak. PAM Jaya menilai permintaan pencairan itu tak berdasar karena tak dilengkapi bukti pelunasan yang memadai dari rekening para pelanggan yang tertunggak.

Peta berubah setelah Gubernur Jakarta (waktu itu) Fauzi Bowo mendadak mencopot Direktur Utama PAM Jaya, Maurits Napitupulu, pada akhir 2011. Pejabat baru pengganti Maurits, Sriwidayanto Kaderi, langsung memimpin rapat maraton pada malam-malam itu. "Itu memang tradisi kami, keputusan tidak hanya di tangan saya sebagai direktur utama," kata Sriwidayanto, akhir Juni lalu. "Ini tanggung jawab kami bersama."

Meski tak diundang ikut rapat, Alamsyah ikut begadang di kantor sampai rapat direksi dan manajer senior usai. "Saya ingin tahu apa keputusan kawan-kawan," kata Alamsyah sambil tersenyum. Dia penasaran. "Apa mereka berani meneken berita acara pencairan dana dari escrow account?"

Rasa ingin tahu Alamsyah segera terjawab. Seusai rapat itu, posisi PAM Jaya berubah haluan 180 derajat. Direksi meluluskan permintaan pencairan dana Palyja dan Aetra. Pada awal Mei lalu, Tempo mendapat salinan beberapa dokumen berita acara yang menunjukkan persetujuan tersebut.

Pada dokumen bertanggal 13 April 2012 yang ditandatangani Sriwidayanto dan Presiden Direktur Aetra Mohamad Selim, disepakati pencairan dana Rp 89,05 miliar dari rekening bersama untuk Aetra. Pencairan itu disusul dengan pembayaran berikutnya–yang disebut sebagai "uang muka pendapatan Aetra atas rekening tertunggak"--sebesar Rp 18,5 miliar pada akhir Juli 2012.

Sebulan kemudian, pada 14 Agustus 2012, giliran Palyja yang memperoleh kucuran dana. Kali ini Rp 118,6 miliar ditarik dari rekening bersama di BNI dan mengalir ke rekening Palyja di Deutsche Bank Jakarta. Luc Martin, Operation Services Director Palyja, yang meneken surat persetujuan pencairan dana.

Adapun Darwanto, peneliti dari Indonesia Budget Center, mengatakan, proses pencairan rekening tunggakan pada periode 2012 itu diduga tidak sesuai prosedur. "Prosesnya menyalahi aturan sehingga menguntungkan operator," katanya. Alamsyah meyakini semua pencairan itu tidak dilengkapi bukti pembayaran yang memenuhi ketentuan. "Itulah masa kelam PAM Jaya," katanya dengan nada prihatin.

l l l

SENGKETA antara PAM Jaya dan dua mitra operatornya mengenai rekening pelanggan air yang tertunggak sebenarnya dimulai sejak awal 2010. Sebelumnya, setiap bulan PAM Jaya tidak pernah terlambat mencairkan dana itu.

Semua berubah setelah Maurits Napitupulu, Kepala Dinas Energi di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dilantik menjadi Direktur Utama PAM Jaya pada Mei 2010. Salah satu langkah pertamanya sebagai direktur utama adalah menertibkan pencairan rekening tertunggak.

Dalam suratnya kepada Palyja pada 22 Oktober 2010, Maurits tegas menolak seluruh sistem pembayaran rekening tertunggak. Menurut dia, begitu seorang pelanggan tidak membayar kewajibannya, seharusnya Palyja dan Aetra segera memutus sambungan air minum yang bersangkutan. "Ketika Palyja tidak melaksanakan itu, bahkan tetap melayani sampai bertahun-tahun, menurut kami, itu sangat tidak masuk akal," tulisnya.

Karena itu, menurut PAM Jaya, tunggakan rekening air itu sebenarnya tidak perlu ada. Berkali-kali Maurits Napitupulu mengirim surat ke Palyja, meminta agar operator melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1993, yakni memutus sambungan air pelanggan yang tidak membayar kewajiban.

Manajemen Palyja mengadukan sikap keras Maurits ke Badan Regulator PAM Jaya pada Februari 2011. Mereka menilai tindakan PAM Jaya menolak mencairkan ratusan miliar rupiah dana rekening tertunggak yang ada di escrow account (rekening bersama) merupakan pelanggaran kontrak kerja sama yang serius.

Ketika itu, jumlah tunggakan setoran pelanggan memang sudah menggelembung luar biasa. Dalam dokumen Hasil Mediasi Badan Regulator, tertera jumlah tunggakan pembayaran sampai November 2010 mencapai Rp 242,23 miliar. Setahun kemudian, pada November 2011, berdasarkan dokumen satuan pengawas internal PAM Jaya, angkanya lebih fantastis: Rp 587,337 miliar. Itu artinya setiap bulan ada rata-rata Rp 28,7 miliar setoran pelanggan yang sebelumnya menunggak.

Dokumen berita acara pembagian pendapatan Palyja dan Aetra menguatkan itu. Pada periode Agustus 2010-Desember 2011, misalnya, Palyja mengklaim berhasil menarik tunggakan rekening pelanggan rata-rata Rp 5-9 miliar per bulan. Sedangkan Aetra menyatakan menarik sedikitnya Rp 6-13 miliar per bulan pada Maret-Desember 2011.

Sebenarnya kisruh ini tak akan jadi besar kalau operator merujuk pada perjanjian kerja sama PAM Jaya dengan Palyja dan Aetra. Pada pasal 30.2 butir (d) perjanjian PAM Jaya-Palyja diatur bahwa setiap penarikan uang dari escrow account harus melalui proses verifikasi. Dengan kata lain, agar dana escrow account bisa dicairkan, operator memang harus membuktikan bahwa: (1) ada setoran dari para pelanggan yang menunggak setiap bulan dan (2) siapa pelanggan yang menyetor tersebut.

Di sini muncul masalah. Dalam proses mediasi, Badan Regulator menemukan bahwa sistem pencatatan piutang rekening air di Palyja dan Aetra tidak memadai untuk melacak pembayaran setiap individu pelanggan yang menunggak. Piutang itu rupanya tidak dibukukan dalam neraca (extracomptabel) kedua operator. Walhasil, mereka kesulitan memenuhi permintaan PAM Jaya untuk menunjukkan bukti setoran individual pelanggan.

"Sistem batch 7.000 pelanggan tidak mewakili populasi pelanggan yang menunggak sehingga sulit untuk mentrasir (melacak) bukti pembayaran pelanggan secara individual," demikian tertera dalam dokumen hasil mediasi yang dirilis Badan Regulator.

Ketika sengketa tengah berkecamuk, Maurits sebenarnya mengendus kesempatan untuk mengubah kontrak kerja sama dan memperbaiki posisi tawar PAM Jaya. Kepada Badan Regulator, dia menyatakan seluruh pendapatan dari rekening tertunggak seharusnya menjadi piutang PAM Jaya. Kisruh ini jadi kartu as Maurits untuk menyeret Palyja dan Aetra ke meja perundingan. Sayangnya, ketika dihubungi dua pekan lalu, Maurits menolak berkomentar mengenai masalah ini.

Buntu di proses mediasi, Fauzi Bowo akhirnya turun tangan. Maurits dicopot secara mendadak pada Desember 2011. Pemberhentian Maurits diawali sepucuk surat dari induk perusahaan pemegang saham Palyja, yakni GDF Suez dari Prancis. Chairman and Chief Executive GDF Suez, Gerard Mestrallet, mengadukan sikap keras Maurits kepada Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa.

Sepeninggal Maurits, perlawanan PAM Jaya berakhir. Padahal sampai sekarang pun jumlah total rekening tunggakan terus bertambah. Pengganti Maurits, Sriwidayanto, mengakui kini jumlah dana rekening tertunggak sudah mencapai Rp 665 miliar dari lebih dari 130 ribu pelanggan.

l l l

REKENING bersama alias escrow account PAM Jaya, Palyja, dan Aetra memang merupakan pundi-pundi gemuk yang menggiurkan. Semua pemasukan yang terkait dengan layanan air minum Ibu Kota dari hampir 800 ribu pelanggan di Jakarta disetorkan ke rekening itu.

Sejak perjanjian kerja sama diteken pada 1998, nilai transaksi di sana mencapai lebih dari Rp 16, 5 triliun. Menurut salah seorang petinggi PAM Jaya, akumulasi dana di rekening bersama setiap tahun memang sangat besar. Jumlahnya bisa lebih dari satu triliun rupiah.

Dari sana, uang mengalir ke mana-mana. Porsi terbesar tentu masuk ke dua operator swasta: Palyja dan Aetra. Sisanya masuk ke PAM Jaya untuk biaya operasional perusahaan dan Kementerian Keuangan sebagai cicilan pelunasan kredit.

Sayangnya, dana sebesar itu tidak dikelola dengan transparan. Inilah yang membuat kecurigaan Alamsyah dan Suhaimi terus membara. Menurut mereka, pencairan dana rekening tertunggak sebesar total Rp 226 miliar sepanjang 2012 merupakan contoh paling nyata.

"Operator jelas-jelas mengabaikan kewajiban menyerahkan bukti pembayaran tunggakan oleh pelanggan," kata Alamsyah. Dia yakin jumlah uang masuk dari pelanggan tertunggak yang membayar kewajibannya tidak lebih dari Rp 2 miliar per bulan.

Jadi siapa yang berbohong? Benarkah ada setoran rekening tertunggak sampai puluhan miliar rupiah setiap bulan, seperti klaim Palyja dan Aetra?

Dari seorang anggota staf PAM Jaya, Tempo memperoleh segepok data pelanggan Palyja dan Aetra periode 2011 yang menunggak kewajiban mereka. Jumlah tunggakan mereka bervariasi, yang terendah sekitar Rp 200 ribu dan yang tertinggi menunggak hingga puluhan juta rupiah.

Berdasarkan data Palyja, pada periode itu ada uang masuk Rp 82,62 miliar ke escrow account, yang diklaim berasal dari setoran rekening tertunggak. Sedangkan di Aetra, pada Maret-Desember 2011, ada uang masuk dari pembayaran rekening tertunggak Rp 98,43 miliar. Total tunggakan pada 2011 adalah sekitar Rp 345,11 miliar. Artinya, lebih dari separuh tunggakan itu terlunasi.

Tempo kemudian mendatangi lima pelanggan yang tercatat menunggak pada periode itu secara acak. Jika ada satu pelanggan saja yang mengaku sudah membayar tunggakannya, klaim Palyja dan Aetra sedikit-banyak ada dasarnya.

Nyatanya penelusuran di lapangan harus kembali dengan tangan hampa. Tempo menemukan empat pelanggan menggunakan alamat palsu. Ada yang penghuninya berbeda dan ada yang alamatnya memang fiktif. Seorang pelanggan Aetra di Tanjung Priok, Jakarta Utara, bahkan langsung ngumpet begitu didatangi. Jumlah tunggakan airnya memang lumayan besar: Rp 22 juta.

Upaya pelacakan serupa pernah dilakukan Suhaimi dua tahun lalu. Karyawan senior PAM Jaya ini mengendap-endap ke kantor Aetra, mengakses komputer yang menyimpan database pelanggan Aetra. Apa yang dia temukan di sana membuatnya terkesiap. "Pelanggan Aetra yang belum membayar rekening tunggakan sepanjang 2011 itu banyak sekali," katanya. "Status pelanggan masih banyak yang berwarna merah, artinya tunggakan belum dibayar," ujarnya.

Temuan inilah yang membuat Suhaimi yakin bahwa tak semua klaim pembayaran rekening tertunggak dari para operator bisa diverifikasi. Kalau begitu, dari mana asal uang yang muncul di escrow account PAM Jaya?

Konfirmasi tak terduga datang dari Direktur Utama Aetra Mohamad Selim. Diwawancarai awal Juni lalu, dia membenarkan adanya sejumlah dana yang tak bisa dilacak asal-usulnya di dalam rekening bersama PAM Jaya. "Saya tak tahu jumlahnya berapa miliar. Saya hanya tahu bahwa ada uang yang tak jelas asalnya di sana," katanya.

Meski begitu, dia membantah tudingan bahwa klaim pembayaran rekening tertunggak dari perusahaannya tak bisa dipertanggungjawabkan. "Semua ada buktinya," kata Selim. Ketika didesak menunjukkan berita acara pelunasan rekening tertunggak atau bukti sejenis, Selim berkilah, "Saya harus meminta izin pemegang saham sebelum bisa mengeluarkan dokumen itu."

Sampai berita ini diturunkan, manajemen Palyja menolak menanggapi permintaan konfirmasi Tempo. Pembelaan justru datang dari Sriwidayanto Kaderi. "Buktinya ada, semua transaksi tercatat secara online," katanya. Namun, ketika diminta menunjukkan data transaksi yang dimaksud, dia mengelak. "Itu file lama. Butuh waktu untuk membuka database kami," ujarnya.

l l l

JIKA tak ada data yang bisa memverifikasi keabsahan pembayaran rekening tertunggak pada 2012, mengapa direksi dan manajer senior PAM Jaya berani meneken berita acara pencairan dana?

Alamsyah dan Suhaimi meyakini ada faktor lain yang berperan pada masa-masa genting menjelang pencairan fulus ratusan miliar rupiah itu. Mereka menunjuk dekatnya waktu pencairan dengan penyelenggaraan pemilihan Gubernur Jakarta. Pada 2012, Fauzi Bowo memang menjadi salah satu kandidat gubernur, berhadap-hadapan dengan Joko Widodo.

Sayangnya, tak ada satu pun dari petinggi PAM Jaya yang hadir dalam rapat-rapat panjang pada awal April 2012 yang berani angkat suara. Dua pejabat perusahaan daerah itu, Budi Waluyo dan Syamsu Rizal, menolak menjelaskan apa yang terjadi. Padahal keduanya hadir dalam rapat itu. Yang menarik, mereka juga tidak membantah dugaan Alamsyah mengenai peran petinggi Balai Kota dalam pencairan uang Palyja dan Aetra.

Seorang petinggi di lembaga penegak hukum yang ditemui Tempo terkait dengan kasus ini membenarkan bahwa aliran dana Palyja dan Aetra ke pucuk pimpinan Jakarta menjelang pemilihan kepala daerah 2012 kini sedang ditelisik. "Ada banyak transaksi mencurigakan ketika itu," katanya memastikan.

Fauzi Bowo sendiri mengunci mulut rapat-rapat. Ditemui koresponden Tempo di Berlin, Jerman, tiga pekan lalu, Fauzi ,yang kini menjabat Duta Besar Indonesia di sana, menepis semua tudingan ini. "Semua (dana kampanye) sudah dipertanggungjawabkan," katanya. Ketika didesak menjelaskan kisruh rekening tertunggak di PAM Jaya, dia menyahut sengit, "Saya tidak punya kewajiban untuk memberikan jawaban apa-apa kepada Anda."


Tim Investigasi PAM Jaya
Penanggungjawab: Wahyu Dhyatmika Pemimpin Proyek: Mustafa Silalahi Penyunting bahan: Wahyu Dhyatmika, Philipus Parera Penulis: Mustafa Silalahi, Agung Sedayu Penyumbang bahan: Istman M.P., Budi Riza, Amandra Mustika, Tito Sianipar (Wina), Anton Septian Periset foto: nita dian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus