ADA pameo, di kalangan hakim kita: lebih baik membebaskan orang
bersalah daripada khilaf menghukum orang yang tak bersalah.
Begitulah kata-kata Let. Jend. Widodo dalam memantapkan
Kesadaran Dan Disiplin Nasional Dalan Rangka Membangun
Masyarakat Yang Demokratis Dan Sejahtera, ceramah di Universitas
Pajajaran 3 Juli 1976. Suatu ucapan yang sangat mengesankan.
Let. Jend. Widodo waktu itu menyinggung masalah pemberantasan
korupsi. "Kita membutuhkan keterangan sebanyak-banyaknya, dan
ini memang wajar. Tetapi orang yang kita curigai juga mempunyai
hak untuk dianggap tidak bersalah sampai kita membuktikan
kesalahannya. Inilah yang di dalam hukum dinamakan presumption
of innocence".
Masalahnya, tentu, kenapa azas "pra-anggapan tak bersalah" itu
teramat perlu dikemukakan lagi. Kenapa azas ini sekarang hanya
seperti rumus yang dihidupkan banyak orang, dan cuma diingat
sebagian kecil "spesialis". Dan kenapa begitu banyak kasus
terjadi: orang tidak dibebaskan, justru untuk dibuktikan bahwa
dia bersalah. Bahkan, orang tidak dibebaskan, justru karena
tidak cukup bukti bahwa ia bersalah.
Memang, mereka berasal dari kasus lain, bukan dalam sangkutan
dengan persoalan korupsi. Mereka umumnya dari kalangan yang
diduga, misalnya, "berbahaya" untuk hal-hal tertentu.
Mungkin karena kita tak menganggap bahaya korupsi sebagai
sesuatu yang mendesak -- sama mendesaknya dengan bahaya
subversi, umpamanya. Mungkin juga karena azas presumption of
innocence masih memerlukan sesuatu yang lebih dari cuma hapalan.
Sebab azas ini menyangkut juga suatu pandangan, bahwa alat-alat
negara adalah organ yang bisa saja khilaf. Pandangan ini
sekaligus meninjau manusia dengan penuh kepercayaan -- bukan
dengan sejenis paranoia orang yang berkuasa. Dasarnya yang
terdalam bahkan mungkin religius: Tuhan menciptakan manusia yang
bisa bersalah, tapi pada dasarnya baik. Ia menjadikannya
wakil-Nya di bumi. Ia bukan menciptakan ular.
Di negeri di mana orang yakin bahwa Tuhan Mahabaik dan manusia
bukan proyek yang seram, mahkamah pengadilan menjadi mutlak.
Tapi tidak hanya sekedar memenuhi syarat. Sebab hukuman yang
jatuh dari mahkamah yang adil dimaksudkan untuk memenuhi rasa
keadilan -- juga bagi si terhukum sendiri. Sebagaimana sang
hakim, si terhukum pun perlu menerima kesalahan yang dituduhkan.
Bukan untuk menyakitinya, tapi untuk menyelamatkannya.
"Siapa dapat hidup terus melalui 20 tahun penjara tanpa
menerima bentuk kesalahan tertentu?". Itu adalah kata-kata
Albert Speer, arsitek kepercayaan Hitler dalam Spandau, buku
yang ia terbitkan setelah ia bebas, dari catatannya di penjara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini