Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK susah memilih pemenang pada kategori aktris pendukung terbaik pilihan Tempo kali ini. Semua suara bulat memilih Raihaanun. Porsinya sedikit saja dalam film Salawaku arahan sutradara Pritagita Arianegara. Namun Raihaanun sanggup menjadi penentu yang melekukkan alur cerita. Aktingnya meyakinkan sebagai seorang perempuan muda asli Pulau Osi, Ambon.
Haanun, biasa ia disapa, menjadi Binaiya (berarti "perempuan tangguh"). Kemunculan pertamanya tepat saat film dibuka. Kulitnya legam mengkilap, rambutnya keriting. Binaiya sendirian mendayung sampan di tengah lautan Pulau Seram yang masih abu-abu karena matahari belum lagi terbit sempurna. Bibirnya bergetar dalam isak tanpa suara, tatapannya penuh luka. Tak sampai dua menit, tapi ekspresi tercabik Raihaanun tak akan terlupakan.
Selanjutnya, Binaiya menghilang dari layar, tapi tidak dari alur cerita. Karakternya menjadi pengikat perjalanan Salawaku (Elko Kastanya), tokoh utama film ini. Salawaku adalah adik Binaiya yang mendadak ditinggalkan kakaknya tanpa berita. Dia kemudian mengarungi laut dan menyusuri pulau demi menemukan sang Usi (kakak perempuan). Dalam perjalanan itu, Salawaku bertemu dengan Saras (Karina Salim) dan Kawanua (JFlow). Pelan-pelan, cerita disibak hingga alasan menghilangnya Binaiya dan ikatan ketiga orang itu dengan dirinya terkuak.
Istri sutradara Teddy Soeriaatmadja ini langsung suka pada tokoh Binaiya saat naskah Salawaku diceritakan oleh Pritagita pada awal 2015. Mereka pernah bekerja sama dalam film Sendiri Diana Sendiri. Saat itu Pritagita menjadi asisten sutradara Kamila Andini. "Saya memang suka road movie, dan cerita yang satu ini adalah road movie dengan alur yang halus banget," kata Haanun.
Saat disodori naskah, perempuan bernama asli Siti Hafar Raihaanun Nabila H.M. ini sempat terkejut karena ternyata semua dialog harus dilakukan dalam bahasa Ambon. Memang, ia berdarah Makassar dan akrab dengan logat bicara khas wilayah timur Indonesia yang tinggi tapi mengalun. Walau begitu, kata-kata bahasa Ambon tentu jauh berbeda.
Haanun kemudian meminta kru film merekam suara perempuan asli Ambon yang membacakan seluruh dialog Binaiya lengkap dengan naik-turun aksen dan ekspresinya. "Rekaman itu saya dengarkan terus-terusan sampai saya betul-betul dapat bagaimana seorang Binaiya harus berbicara," ujar perempuan 28 tahun itu.
Kerepotan terbesar Haanun dalam film ini ternyata bukan urusan meresapi logat lokal. Memerankan perempuan yang lahir dan besar di kepulauan, ia dituntut bisa mendayung sampan dengan natural. Haanun, yang tak pernah suka olahraga laut bahkan sekadar snorkeling, harus menaklukkan ketakutannya pada dunia bawah air untuk menjadi Binaiya yang menyatu dengan laut. "Persiapan paling lama itu, ya, untuk belajar dayung. Padahal yang muncul di layar cuma dua menit," ujarnya, terkekeh.
Hal lain yang perlu ia dalami adalah bagaimana menjadi kakak untuk Salawaku. Haanun mengaku sulit membayangkan jadi kakak karena dia adalah anak bungsu. Ia lebih akrab dengan peran sebagai ibu karena pernikahannya dengan Teddy telah dikaruniai tiga putra. Untungnya, Elko, yang berperan cemerlang sebagai Salawaku, mampu memancing Haanun menjadi kakak lewat interaksi akrab mereka sehari-hari. Di layar, interaksi itu pun mewujud menjadi hubungan kasih sayang kakak-adik yang menyentuh dan tak dibuat-buat.
Tanpa banyak kata, Haanun mampu menyajikan tokoh Binaiya yang kalut dan menyimpan semua masalah sendiri. Keterasingan Binaiya yang harus pergi dari kampung halaman tak melulu disampaikan lewat air mata tapi cukup dengan ekspresi diam yang kuat saat duduk menumpang mobil pikap atau merenung di atas rumah pohon. Rasa frustrasi terwujud lewat Binaiya yang langsung tersulut emosinya dan meladeni pertengkaran fisik dengan seorang pekerja kebun perempuan yang kepo. Di atas semua itu, Binaiya tetap menjadi perempuan yang penuh kasih kepada adik semata wayangnya dan tokoh lain yang membuat ia terusir dari kampung. Semua dilakoni Haanun dengan cemerlang.
Akting Haanun sebenarnya telah teruji lewat portofolio perannya selama ini. Peran pertamanya adalah dalam film Badai Pasti Berlalu sebagai seorang anak baru gede (ABG). Kemudian ia menjadi ibu dalam Heart Break dan Kun Fayakun. Dalam Sendiri Diana Sendiri, Haanun menjadi perempuan yang suaminya menikah lagi.
Tempo pernah menobatkan Haanun sebagai aktris utama terbaik lewat perannya sebagai Cahaya dalam film Lovely Man lima tahun lalu. Saat itu ia memerankan perempuan muda berjilbab dari desa yang menemukan ayahnya ternyata menjadi waria di Ibu Kota. Dalam film yang diarahkan suaminya sendiri itu, dengan mengesankan Haanun mampu menampilkan perasaan tertekan tapi tak bisa meledak. Kemampuan Haanun memerankan berbagai karakter dengan spektrum berbeda-beda (abg, perempuan desa kalem, ibu rumah tangga yang dipoligami, perempuan Ambon yang terusir dari kampung) secara maksimal ini dipuji dewan juri Film Pilihan Tempo. "Dia seperti bunglon, yang mampu melebur jadi karakter apa pun yang dia perankan," kata Joko Anwar, salah satu juri.
Haanun sendiri tak sadar telah memilih peran dengan karakter yang benar-benar berbeda. "Saya ikut hati saya saja. Kalau saya suka, ya, saya ambil," katanya. Ia malah merasa perannya selama ini selalu seragam, yakni sebagai perempuan yang rapuh. Maka cita-cita terbesar Haanun adalah berperan sebagai jagoan perempuan dalam film laga atau perempuan riang yang bernyanyi dan menari dalam film musikal. "Jangan jadi orang tertindas terus," katanya sambil tertawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo