Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seno Gumira Ajidarma
Salah satu kata yang hampir selalu diucapkan salah, sehingga bisa dicatat oleh Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri), adalah ubah, karena terucapkan sebagai rubah, yang disebut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai: binatang jenis anjing, bermoncong panjang, makanannya daging, ikan, dsb; Canis vulpes (Pusat Bahasa, 2008: 1186). Dengan konsekuensi bahwa merubah adalah "menjadi rubah" dan dirubah adalah "dijadikan rubah", dibakukanlah kata-kata mengubah dan diubah, tapi berubah tidak pernah berubah lagi—mungkin karena konsekuensi menjadi bengubah atau beubah akan terdengar kelewat ajaib.
Apakah Si Rubah dalam berubah adalah bastar? Jika diandaikan terucap sebagai ber+ubah (berganti menjadi sesuatu yang lain) tentu tidak, tapi hampir selalu terdengar sebagai be+rubah (mengandung unsur rubah) bukan? Mungkin ini membuktikan betapa berbahasa dengan baik dan benar itu memang tidak mudah. Sangat sering saya menyaksikan bagaimana kaum "intelektual sadar bahasa" bolak-balik terpaksa melakukan koreksi terhadap kata-katanya sendiri, ketika selalu saja diubah diucapkannya sebagai dirubah.
Penyelundupan Si Rubah ini saya kira fenomenal, karena tidak saya ingat berlangsung pada banyak kata lain. Apakah perlu membawa-bawa psikoanalisis Freud, Jung, atau siapa pun untuk membongkar faktor psikopatologi ketaksadaran pada manusia Indonesia, ketika selalu saja membawa-bawa Si Rubah dalam caranya berbahasa? Misalnya, jika mengikuti teori Freud, faktor represi macam apa yang terdapat pada manusia Indonesia sehingga Si Rubah selalu muncul kembali ketika peraturan bahasa sudah jelas tidak membenarkan kehadirannya?
"Jangan terlalu jauh," kata Paimo, "itu bukan perkara rubah, melainkan perkara sisipan 'r'."
Suatu huruf? Bukan binatang—yang "dibudayakan" menjadi satwa—bernama rubah?
"Kukira bukan huruf, melainkan bunyi," kata Paimo, lagi. Tentu bunyi "r" yang sebetulnya bukan menyelundup ataupun menyelonong, melainkan tiada lain selain sah adanya, karena memang merupakan bagian dari kata depan "ber". Dengan kata lain, ketika prinsip ber+ubah terucapkan sebagai be-ru-bah, kenapa pula harus terbawa kepada paranoia atas menyeruaknya satwa rubah itu, bukan?
Menanggapi perkara ini, pakar bahasa Indonesia ternama Tuan Anton M. Moeliono tampak setuju bahwa manusia janganlah dijadikan rubah, sehingga menurut beliau, "… dalam membina bahasa Indonesia yang modern sebaiknya kita tetap memakai berubah dan mengubah sebagai bentuk baku." Betapapun, rupa-rupanya tetap diperlukan argumen untuk membunuh Si Rubah dalam berubah, sekaligus membenarkan eksistensi bunyi "r", yakni pengaruh bahasa Sunda terhadap bahasa Indonesia: "… ada kata obah 'berubah' dan ngarobah 'mengubah'." (Moeliono et.al., 1990: 42).
Nah, begitu relevankah Si Rubah ini dibuang sejauh-jauhnya? Seberapa gawatkah kerancuan antara nama satwa dan pengertian ganti atau tukar dalam berubah? Bunyi "ru-bah" dalam merubah, dirubah, dan berubah, percayalah, tidak akan pernah dimaksudkan ataupun ditafsirkan sebagai kawan kita, Si Rubah, antara lain, karena makhluk satu ini memang tidak seujung hidung pun bergentayangan di Indonesia!
Saya memerlukan konfirmasi Presiden Musang Lovers Indonesia Ray Chairudin, atas petunjuk Forum Konservasi Satwa Liar, ataupun wartawan pengamat flora dan fauna Titik Kartitiani untuk memastikan ketiadaan rubah ini, baik dalam alam maupun budaya lisan di Indonesia. Dalam budaya tulis, rubah muncul dalam dongeng terjemahan dari Eropa, seperti karya Aesop atau H.C. Andersen. Kata rubah yang satwa ini, dibanding rubah yang maunya diganti ubah, tidaklah dominan dalam wacana bahasa.
Fakta ini membuat siapa pun cukup sahih untuk berpendapat bahwa ketika manusia Indonesia mengucapkan ataupun mendengar kata merubah, dirubah, dan berubah tidaklah sedetik pun gambaran seekor rubah itu akan melewati benaknya. Itulah yang membuat kata-kata yang "salah", alias tidak dibakukan secara resmi, selalu muncul lagi dan terucapkan kembali dalam ujaran manusia Indonesia, karena sebenarnyalah memang terhayati sebagai baik-baik saja bagi para pengujarnya. Sebaliknya, kata-kata yang baru dan baku, seperti diubah dan mengubah, nyaris hanya hidup secara tertulis dalam lindungan para penyunting bahasa, yang dengan setianya akan mengacu pada peraturan dalam tata bahasa Indonesia.
Kedekatan kata dasar ubah dan rubah telah menjadi penyebab kesibukan ini. Proyek pemusnahan dirubah dan merubah dari dunia lisan di bumi Indonesia tidak dapat dikatakan berhasil, karena diubah dan mengubah, jika dihubungkan dengan tiada tergantikannya berubah, merupakan rekayasa bahasa yang kurang beralasan. Hanya karena ingin menjauhi Si Rubah. Ini tidak akan terjadi jika sejak dulu rubah disebut Paimo. l
Wartawan Panajournal.com
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo