Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teror 'Kolor Ijo'
Gara-gara si celana hijau alias kolor ijo, ratusan kampung di pinggiran Jakarta siaga satu. Ibu-ibu takut tidur sendirian, bapak-bapak dan anak muda aktif meronda malam. Tiap rumah dilengkapi bambu kuning dan daun kelorkonon bisa menangkal kesaktian si kolor ijo. Polisi juga sibuk... dengan menyeret "korban" jadi tersangka.
Bahkan Sutiyoso berkomentar kesal. "Saya paling enggak percaya cerita-cerita kayak gitu, kecuali saya sudah ketemu orangnya, bisa mewawancarai, dan ada buktinya," kata Gubernur DKI Jakarta itu. Bang Yos boleh tak percaya, tapi si Kijo (kolor ijo) sudah menghantui warga Jakarta dan sekitarnya.
Isu itu berawal dari pengakuan Nyonya Juju, warga Setu, Bekasi, kepada polisi bahwa ia diperkosa pria misterius berkolor hijau. Istri seorang satpam itu mengaku dicabuli di depan mertua dan anaknya. Si Kijo bahkan merampas kalung emas yang dipakainya saat tidur. Sejak itu, Oktober-November 2003, warga Setu, Cibitung, dan Bantargebang siaga satu mengantisipasi operasi si pencuri yang berdwifungsi sebagai pemerkosa itu.
Sempat aman dua bulan, tahu-tahu dua pekan silam si katok ijo beraksi kembali. Kali ini di Kampung Bulak, Sarua Indah, Ciputat, Tangerang. Korbannya Rosadah, 47 tahun, yang mengaku "dikerjai" makhluk bercelana dalam hijau. Perempuan bertubuh gempal itu dicabuli saat lelap, padahal suaminya tidur di sampingnya. Karena ia melawan, kausnya robek dan tali kutangnya putus... tus, tus, tus.... Di kedua lengannya ada bekas cakaran.
Diliput televisi dan media cetak, cerita Rosadah menular bak wabah. Beberapa wanita dari daerah yang berbeda melapor ke polisi dan mengaku juga diisengi si Kijo. Bambu kuning jadi laris.
Polisi yang dilapori, alih-alih mencari si pelaku atau sumber isu, malah menuduh korban atau pelapor sebagai penyebar berita bohong karena terimpit ekonomi dan ingin mendapat popularitas. Begitu menurut Kepala Kepolisian Sektor Ciputat, Ajun Komisaris Zulpan. Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Inspektur Jenderal Makbul Padmanagara, bersatu nada. Katanya, "Yang bersangkutan menyampaikan (berita itu) supaya mendapat sumbangan dan ingin mencari popularitas murahan."
Para pelapor pun serta-merta meralatnya. "Rosadah mengaku hanya bermimpi dan itu isapan jempol. Luka cakaran itu dilukai dengan sisirnya," ujar Makbul.
Korban lainnya memilih bungkam, termasuk Daryati, warga Beji. "Pusing... pusing, jangan tanya saya lagi soal kolor ijo," katanya berteriak meniru gaya artis Peggy Melati Sukma. Wartawan Tempo News Room juga disenggaknya, "Pulang, pulaaang...!"
Tapi seorang keponakan Rosadah dari Tanjung Priok datang membela, "Mpok saya itu enggak mungkin berbohong."
Lalu siapa yang benar? Laler ijo?
Berijazah Palsu, Siapa Takut?
Bagi Achmad Ridwan Arifin, 60 tahun, zaman Orde Baru jelas lebih enak. Di masa kekuasaan Soeharto itu, seperempat abad lamanya anggota dewan perwakilan rakyat daerah asal Partai Persatuan Pembangunan dari Purbalingga, Jawa Tengah, ini bisa duduk enaksampai lupa berdiridi parlemen tanpa usikan. Bahkan berikut titel bachelor of arts di belakang namanya.
Tapi, dalam pemilu kali ini, ia tersandung. Berkat ketelitian Komisi Pemilihan Umum (KPU) Purbalingga, ketahuan bahwa ijazah sarjana muda dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, milik Ridwan ternyata palsu. Buktinya, pada fotokopi ijazahnya yang dilegalisasi Departemen Agama terlihat jelas ada tempelan tulisan "bakaloreat" yang diketik dengan mesin ketik biasa. Bahkan, setelah panitia pemilu mengecek ke pihak IAIN, ternyata ijazah Ridwan tidak sama dengan model ijazah asli keluaran Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga tahun 1969.
Dalam usahanya mengelak tuduhan, Ridwan malah menyalahkan Djunon Sabita, Kepala Tata Usaha Fakultas Ushuluddin yang sudah meninggal dunia. "Saya yang justru kena tipu. Saya juga baru tahu kalau ijazah itu palsu sekarang ini, lo," katanya. Calon anggota legislatif nomor 1 untuk daerah pemilihan Kecamatan Kalimanah itu tetap ingin maju ke arena pemilihan. "Wong, saya tidak bersalah, kok. Kalau ijazah itu tak diterima, saya akan memakai ijazah SMU, yang saat ini sedang saya urus," katanya kepada Ari Aji H.S. dari TEMPO. Bahkan Ridwan sempat datang ke KPU, marah-marah, dan menuding KPU terlalu kaku dengan aturan.
Toh, nama Ridwan tak masuk daftar calon tetap yang kelar pekan lalu. Malah ia dilaporkan ke polisi. "Akan kami teruskan proses hukumnya. Dia telah melakukan kebohongan publik," kata Ketua Panitia Pengawas Pemilu, Mohammad Fauzan. Kini Ridwan menghilang dari kediamannya.
Ahmad Taufik, Dewi Retno, Istiqomal Hayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo