Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Letihnya Mengawal Perkara

Setelah "dipermainkan" dua tahun, tiga terdakwa pemalsu merek kartu remi Gold Fish akhirnya diadili.

8 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RODA hukum yang sering macet di negeri ini membuat Cipto Thamsir mengaku capek mendorongnya agar berjalan. Sudah hampir dua tahun, salah seorang direktur PT Peronal ini mengadukan kasus pemalsuan merek ke polisi. Tapi baru beberapa waktu lalu, terdakwanya diadili di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Riau. Itu pun para terdakwa sempat tidak hadir dalam tiga sidang pertama. "Saya capek ikut mengiringi kasus ini agar benar-benar diproses," ujarnya kepada TEMPO, pekan lalu. Kasus tersebut melibatkan tiga terdakwa, yakni Beny Helman, Hendri alias Asun, dan Theo Sofian Tanusaputra. Mereka dituduh memalsukan kartu remi bermerek Gold Fish yang diproduksi oleh perusahaan Cipto. Indikasi adanya pemalsuan mulai diketahui awal tahun 2002, saat penjualan produk asli Gold Fish tiba-tiba menurun. Pengacara Cipto, Thaher, lalu menebar mata-mata ke sejumlah toko. Hasilnya? Bekas oditur militer ini menangkap basah Beny Helman, pemilik Toko Jaya Raya di Jalan Imam Bonjol, Pekanbaru, menjual kartu remi Gold Fish palsu. Pada Maret 2002, ia langsung saja dilaporkan ke polisi. Petugas menyita 104 karton Gold Fish palsu dari toko Beny sebulan kemudian. Dari Beny, ketahuan asal barang itu dari Hendri alias Asun, warga 17 Ilir Palembang. Asun juga "bernyanyi" dan menyebut barang itu milik Theo Sofian Tanusaputra, penduduk Meruya Ilir, Jakarta Barat. Di hadapan penyidik, ia mengaku mengimpor kartu remi itu dari Fujian, Cina, lewat perusahaannya CV Sandika. "Saya tidak tahu ada merek kartu Gold Fish di Indonesia," kata Sofian. Dalih itu dibantah Thaher. Ia tetap menuduh Sofian dan kawan-kawan menjadi pemalsu karena dalam kartu remi produknya tertuliskan PT Percetakan Offset Nasional—kepanjangan dari Peronal, nama perusahaan Cipto. "Kalau buatan Cina, kok plastik pengamannya ada nama perusahaan kami," ujar Thaher. Hanya, tak mudah menyeret para pemalsu. Setelah perkara itu disidik, Kepolisian Kota Besar Pekanbaru tak segera melimpahkan kasusnya ke kejaksaan. Bahkan Thaher mengaku sempat memergoki salah seorang tersangka berbicara dengan seorang pejabat Poltabes di ruangannya. Ia lalu mengadukan dugaan adanya "permainan" antara polisi dan tersangka ini ke Kepala Kepolisian RI. Setelah kasus ini dilempar ke Kejaksaan Tinggi Riau, prosesnya pun tidak lancar. Menurut Thaher, ada kesan pihak kejaksaan tidak menganggap kasus ini sebagai pemalsuan. Itu sebabnya sang pengacara kemudian menyertakan surat dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, yang menyatakan bahwa kartu remi merek Gold Fish sudah terdaftar sejak 30 tahun silam. Selama enam bulan perkara itu sempat ditelantarkan di kejaksaan. Akhirnya Thaher memaksa seorang pejabat Kejaksaan Tinggi Riau untuk menandatangani pelimpahan perkara itu ke pengadilan, beberapa jam sebelum ia dimutasi ke daerah lain. "Jam sebelas malam saya mendatanginya untuk tanda tangan berkas agar segera dilimpahkan ke pengadilan," kata Thaher. Pihak kejaksaan membantah tuduhan tersebut. Menurut juru bicara Kejaksaan Tinggi Riau, D. Sialagan, tak ada upaya kejaksaan menutupi kasus tersebut. "Awalnya, kami mengalami hambatan penyidikan. Jadi, jangan menuduh tanpa bukti yang jelas. Kejaksaan serius menangani semua kasus yang masuk," ujarnya. Jaksa Dahasril yang menangani perkara ini juga menyatahkan hal yang sama. Menurut dia, lambannya kasus ini diajukan ke pengadilan karena kejaksaan sulit menemukan ketiga terdakwa yang berpencar di tiga kota yang berbeda. Setelah sempat tiga kali para terdakwa tidak datang, pada sidang Rabu pekan lalu, Jaksa Dahasril bisa menghadapkan tiga terdakwa ke pengadilan. Ketiga terdakwa dijerat dengan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. "Perbuatan terdakwa merusak pasaran kartu remi merek Gold Fish, dan merugikan Peronal pemegang lisensi Gold Fish," kata Dahasril. Mereka diancam hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Hanya, Beny, salah seorang terdakwa, menolak dakwaan. "Kami tak bersalah. Yang kami jual kartu impor yang legal. Nanti akan kami buktikan," ujarnya. Keletihan Cipto Thamsir belum akan berakhir. Soalnya, ia tetap harus mengawasi agar keadilan benar-benar ditegakkan di persidangan. Ahmad Taufik, Jupernalis Samosir (Pekanbaru)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus