Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Oasis di Lahan Gambut

BPPT sukses mengubah air gambut menjadi air siap minum. Teknologi pas yang penuh manfaat untuk banyak lokasi di Indonesia.

8 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan main bungahnya perasaan Sugianto. Petani berumur 43 tahun di Desa Sumber Alaska, Kecamatan Kapuas Murung, Kalimantan Tengah, ini tak henti mengucap syukur. Sejak pertama kali datang ke lokasi transmigrasi di Blok G1 Proyek Pengembangan Lahan Gambut di Kabupaten Kapuas ini, baru sekarang ia dan para tetangganya bisa menikmati air bersih. Air yang begitu bening, bahkan bisa langsung diminum. "Saya minum langsung dari galon, tak perlu repot memasak," ujarnya. Selamat tinggal enam tahun masa-masa menadah hujan atau menawas air sungai.

Ini dimulai dua minggu lalu ketika sebuah truk terseok-seok menapaki jalanan becek desa mereka. Bak truk itu penuh muatan peralatan serba asing di mata Sugianto. Dari truk, turun Dr. Arie Herlambang, Nusa Idaman Said, M.Eng., serta tim dari Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta.

Warga dusun paling ujung lokasi transmigrasi Dadahup ini memandang rombongan "makhluk asing" itu dengan tatap mata keheranan. Apalagi, selama tiga hari tiga malam rombongan sibuk membongkar slang, pipa, dan tangki. Lalu, setelah kerja keras penuh peluh dan, hmm..., tanpa mandi, 9 Januari lalu peralatan yang mereka bawa dari Jakarta mempertontonkan kesaktiannya: dari serangkaian pipa, air gambut yang tadinya berbau besi dan asin kini mengucur bening dan tawar.

Kucuran air itu seketika menghapus kecemasan di wajah penuh peluh Arie dan Nusa. Semula, mereka takut proyek ini gagal karena kualitas air baku yang dipakai tidak terlalu bagus. Tapi, mana mungkin mengharapkan air bagus di daerah yang didominasi lahan gambut? Tak ada pilihan, air yang ada tetap harus dipakai. Pilihan mereka hanya mencari sumber air terbaik dari yang tersedia.

Tadinya, tim ini mencoba memakai air dari bekas sumur galian sedalam 250 meter yang sudah ada. Ternyata, setelah diuji, air yang keluar berderajat keasaman (pH) 4 dengan kadar keasinan (total dissolved solids, TDS) 1.750. Tak hanya itu. Kadar besi air itu terlalu tinggi. "Tercelup ke baju saja langsung kuning dan membuat badan gatal," ujar Nusa.

Merasa air baku ini terlalu buruk, Arie dan kawan-kawannya memutuskan menggali sumur baru sedalam 24 meter. Uji mutu menunjukkan air itu berkadar 6,4 dan kadar TDS-nya 100 sampai 150. Lumayan. Ini lebih bagus dari sumur pertama. Tapi, masalah baru muncul. Setelah tiga hari tiga malam dipompa, pasir tak kunjung berhenti keluar. Air pun belum bening, masih berwarna putih.

Akhirnya, tim memutuskan membuat sumur dangkal berkedalaman hanya 2 meter. Lebih mirip kolam, sumur dibuat melebar berukuran 25 meter persegi. Empang dadakan inilah yang digunakan menampung air gambut, syukur-syukur kalau bisa bercampur air hujan. Dengan cara ini, Arie berharap alam ikut turun tangan membantu. Melalui persentuhan langsung dengan bidang tanah lebar dan oksigen di udara terbuka, Arie berharap terjadi proses pengendapan dan penaikan derajat keasaman air.

Dari empang itu, air kemudian dipompa ke bak clarifier (penjernih) atau bak koagulasi sambil diinjeksi larutan PAC (polyaluminum chloride) dan soda abu (NaHCO3). Dua jenis zat kimia ini berguna untuk mengontrol pH air, serta agar partikel kotoran berupa lumpur atau zat warna organik dapat digumpalkan menjadi flok—gumpalan partikel kotoran yang akan mengendap di dasar bak.

Air limpasan atau overflow dari bak clarifier selanjutnya dialirkan ke bak penampung air baku. Dari sini, air dipompa lagi ke tangki reaktor sambil diinjeksi larutan kalium permanganat (KMnO4) menggunakan pompa dosing. Proses ini bertujuan agar zat besi atau mangan yang larut dalam air dapat dioksidasi menjadi bentuk senyawa oksida besi atau mangan, yang tak larut dalam air.

Dari tangki reaktor, air yang telah teroksidasi dan juga padatan tersuspensi—berupa partikel halus, plankton, dan lainnya—disaring dengan saringan pasir. Air yang keluar lalu dialirkan ke saringan mangan zeolit (manganese greensand). Di sini, zat besi atau mangan yang belum teroksidasi didalam tangki reaktor dapat dihilangkan sampai konsentrasi kurang dari 0,1 miligram per liter.

Proses berikutnya, dari filter mangan zeolit, air dialirkan ke filter karbon aktif (activated carbon filter). Gunanya, menghilangkan bau atau warna serta polusi mikro lainnya. Filter ini juga berfungsi menghilangkan senyawa warna dalam air secara absorpsi. Setelah melalui filter penghilangan warna, air dialirkan ke filter yang dapat menyaring partikel kotoran sampai ukuran 0,5 mikron.

Produk yang keluar dari sini sudah bening, juga ber-pH normal, tapi masih asin. Selepas penyaring, air dilewatkan pada membran reverse osmosis untuk proses penghilangan kadar garam (desalinasi). Tak seluruh air akan lolos dari selaput membran. Menurut Arie, hanya sekitar sepertiga dari air yang masuk akan diproses lebih lanjut.

Seusai melewati membran osmosis, air masuk bak penampung. "Sampai tahap ini, air sudah bisa dijadikan bahan baku air minum," ujar Arie. Hanya, untuk menjaga kualitas serta kehigienisannya, air disaring lagi, kemudian disterilisasi menggunakan sterilisator ultraviolet. Sinar lampu ultraungu ini cukup ampuh membunuh semua bakteri.

Selesailah sudah. Dari situ, air yang mengucur bening ditampung dalam galon-galon, siap diedarkan. Semua proses tersebut tak memerlukan lahan luas. Untuk menggerakkan peralatannya, dipergunakan mesin diesel berkekuatan 10 ribu watt serta beberapa pompa air. Setiap hari, instalasi ini bisa mengucurkan 5.000-10.000 liter air minum. Jumlah yang cukup untuk memenuhi dahaga 540 keluarga di desa itu.

Tentu semuanya tidak gratis. Per galon (20 liter) air dijual Rp 3.500. Mahal? Jangan bandingkan dengan air minum isi ulang di kota-kota, yang dilepas seharga Rp 2.500 per galon. Bandingkanlah dengan kondisi di desa ini sebelum tim BPPT datang. Dulu, warga harus membeli air per galon dengan harga Rp 5.000-6.000. Itu pun harus diperoleh dengan berjalan 9 kilometer ke desa tetangga. Sekarang, mereka punya sendiri air bersih yang lebih murah dan lebih dekat.

Biaya untuk membangun peralatan itu memang lumayan besar. Pembebasan lahan, tenaga kerja, dan peralatan total menelan biaya Rp 360 juta. Tapi, "Ini jauh lebih murah ketimbang harus membangun infrastruktur pipa oleh perusahaan air minum," kata Arie. Dan jangan lupa menghitung manfaat sosial bagi warga yang selama ini sulit mengakses air, yang tak bisa diukur dengan besaran uang.

Tak mengherankan kalau sukses di Dadahup mencuri perhatian berbagai pemerintah daerah yang lain. Dengan teknologi yang sebetulnya tidak canggih itu, daerah-daerah berair gambut kini punya harapan baru. Pesanan pun sudah mengucur deras. Untuk tahun ini saja, kata Arie, sudah ada puluhan pesanan serupa dari berbagai pemerintah daerah di Kalimantan, Sumatera, dan Jawa yang datang.

Tak kurang dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, menurut Purwanto, dijadwalkan menengok mainan baru warga Desa Sumber Alaska pada Februari ini, sambil menginap barang semalam-dua malam. "Untuk meresmikan alat ini," ujar Purwanto, berbunga-bunga.

Agus Hidayat, Karana Wijaya (Kuala Kapuas)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus