Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Keberadaan CCTV di sekitar rumah ataupun kompleks kediaman Ferdy Sambo bisa menjadi salah satu kunci mengungkap insiden Brigadir Josua.
Hingga kini pihak RT kompleks rumah Ferdy Sambo tak melihat surat penyitaan atas dekoder CCTV di pos jaga kompleks Polri tersebut.
Komnas HAM membuka peluang autopsi ulang jenazah Brigadir Josua.
JAKARTA – Berbagai pihak mengungkap dua bukti kunci yang seharusnya bisa membuka tabir insiden dugaan saling tembak di antara dua ajudan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Kedua bukti itu adalah rekaman kamera pengintai atau CCTV di sekitar rumah Ferdy Sambo dan kondisi jenazah Brigadir Nopriansyah Josua Hutabarat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar, mengatakan keberadaan CCTV di sekitar rumah ataupun kompleks kediaman Ferdy Sambo bisa menjadi salah satu kunci untuk mengungkap peristiwa tersebut. Kelemahannya, rekaman kamera pengintai tak bisa memperlihatkan secara utuh kejadian. Namun rekaman itu dapat membuka penemuan kepingan informasi dari sebuah perkara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rivanlee mencontohkan peristiwa penyiraman terhadap Novel Baswedan saat masih jadi penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pada 11 April 2017. Rekaman kamera pengintai di sekitar kompleks rumah Novel menjadi kepingan bukti terhadap pelaku.
Contoh lain, peristiwa penembakan anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di Kilometer 50 jalan tol Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang ikut menelusuri insiden ini mengandalkan rekaman CCTV, selain keterangan saksi-saksi.
"Kepingan informasi dari rekaman CCTV tersebut bisa menjadi barang penjelas dari keterangan yang kerap berubah oleh kepolisian," kata Rivanlee, Kamis, 14 Juli 2022.
Ia menduga penggantian dekoder CCTV di pos satpam kompleks tempat tinggal Ferdy Sambo dilakukan lantaran suatu pihak menyadari informasi dari rekaman kamera pengintai tersebut sangat penting. Hanya, kata dia, penggantian dekoder secara tiba-tiba itu mengundang kecurigaan publik bahwa ada sesuatu yang tak beres dalam pengungkapan perkara tersebut.
Tim Inafis Mabes Polri melakukan olah TKP kasus polisi tembak polisi yang menewaskan Brigadir Novriansyah Josua Hutabarat atau Brigadir J di kediaman Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo, di kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta, 14 Juli 2022. TEMPO/Subekti.
Sesuai dengan versi kepolisian, Brigadir Josua tewas dalam insiden baku tembak dengan Bhayangkara Dua E di rumah dinas Ferdy Sambo, di kompleks Polri Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan, pada Jumat, 8 Juli 2022, sekitar pukul 17.00 WIB. Brigadir Josua adalah sopir istri Ferdy Sambo, Putri Chandrawaty Sambo, dan Bharada E adalah ajudan Ferdy.
Polisi mengklaim, awalnya Brigadir Josua diduga melecehkan Putri yang tengah beristirahat di lantai satu rumahnya. Lalu, Bharada E yang berada di lantai dua bergegas turun setelah mendengar teriakan minta tolong. Josua yang panik langsung menembak ke arah Bharada E, yang sedang menuruni tangga. Bharada E lantas menembak balik.
Hasil olah perkara Kepolisian Resor Jakarta Selatan di tempat kejadian menemukan ada 12 peluru ditembakkan dalam kejadian tersebut. Lima peluru dari pistol Glock milik Bharada E dan tujuh peluru dari pistol HS-9 milik Brigadir Josua. Josua tewas tertembak. Sedangkan Bharada E sama sekali tak terluka.
Satu hari setelah insiden ini, beberapa pria berpakaian sipil yang mengaku dari kepolisian mengambil dekoder CCTV di pos jaga kompleks para perwira polisi itu dan menggantinya secara tiba-tiba. Ketua RT 5 RW Satu, Duren Tiga, Mayor Jenderal (purnawirawan) Seno Sukarto, 84 tahun, mengaku tak mengetahui penggantian dekoder CCTV pada Sabtu tersebut. Ia baru mendapat penjelasan tentang penggantian itu dari petugas jaga kompleks, dua hari sesudahnya. Pada hari itu juga polisi baru mengumumkan adanya insiden saling tembak di antara dua ajudan di rumah dinas Ferdy Sambo.
Seno dan petugas jaga kompleks tak mengetahui alasan penggantian dekoder tersebut. “Saya tanya satpam, mereka juga enggak tahu alasannya diganti,” kata Seno, dua hari lalu.
Hingga kemarin, Seno tak melihat ada surat penyitaan atas dekoder CCTV di pos jaga depan kompleks tersebut. Sepengetahuan dia, dekoder itu masih berfungsi dengan baik.
Dekoder CCTV di pos jaga depan kompleks kediaman Ferdy Sambo merupakan pusat semua kamera pengintai yang terpasang di sejumlah ruas jalan kompleks. Berdasarkan pengamatan Tempo, setidaknya ada enam CCTV terpasang di pos jaga hingga di beberapa titik ruas jalan kompleks.
Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan, Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto, mengatakan penggantian dekoder CCTV di pos satpam kompleks dilakukan untuk kepentingan penyidikan. "Dekoder CCTV lingkungan yang ada di pos (diganti) karena yang lama disita penyidik," kata Budhi, Rabu lalu.
Budhi menjelaskan, penyidik mengganti dekoder baru karena alat yang lama disita penyidik. Tujuannya agar pengawasan di lingkungan kompleks tetap beroperasi.
Selain CCTV, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) justru mendorong tim khusus Polri yang bertugas menangani insiden Brigadir Josua dan Komnas HAM—atas izin keluarga Josua—melakukan ekshumasi atau mengautopsi ulang jenazah Josua. "Dalam praktik ekshumasi, banyak terungkap penyebab kematian korban. Luka-luka yang tertinggal di tubuh itu terdeteksi,” kata Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur, kemarin.
Ia mengatakan hasil autopsi ulang ini menjadi pembanding atas keterangan polisi selama ini. Isnur mencontohkan kasus penyiksaan dua warga yang ditahan di sel Kepolisian Sektor Sijunjung, Sumatera Barat, pada 2012. Awalnya, polisi mengklaim kedua warga itu, Budri M. Zen dan Faisal Akbar, meninggal akibat gantung diri di dalam sel. Namun belakangan terungkap bahwa keduanya meninggal akibat penyiksaan.
"Dari hasil autopsi ulang, ketahuan penyebab kematiannya karena penyiksaan yang luar biasa," kata Isnur.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan tim Komnas HAM sudah menyiapkan strategi untuk menelusuri insiden tersebut. Tahap awal, kata dia, tim lembaganya mengumpulkan data dan informasi. Setelah itu, mereka akan meminta keterangan berbagai pihak, termasuk keluarga Brigadir Josua.
"Kami juga akan melakukan olah TKP dan minta keterangan ahli. Kami masih menyusun jadwal kerja kami," kata Beka, kemarin.
Komisioner Komnas HAM lainnya, Mohammad Choirul Anam, mengatakan tim pengawasan dan penyelidikan Komnas HAM sudah cukup berpengalaman mengusut kasus seperti ini. Misalnya, kasus kematian pendeta Yeremia Zanambani di Intan Jaya, Papua, pada 19 September 2020 dan kematian anggota laskar FPI di KM 50 jalan tol Cikampek.
Saat menelusuri kematian pendeta Yeremia, Komnas HAM melakukan autopsi untuk melihat serta menguji beberapa bagian tubuh dan beberapa benda yang menempel di tubuh Yeremia. Lalu, ketika menelusuri insiden KM 50, tim Komnas HAM bergerilya mencari rekaman CCTV di sekitar lokasi kejadian.
Menurut Anam, strategi tersebut bisa saja kembali dilakukan, selain meminta keterangan berbagai pihak. "Kami bisa minta barang bukti untuk mendukung dan lain-lain. Itu akan kami lakukan," kata Anam.
Ia melanjutkan, Komnas HAM berencana meminta keterangan keluarga Josua di Jambi. Sebab, pihak keluarga Josua berkali-kali menyatakan kondisi jenazah Brigadir Josua sangat janggal. Misalnya, selain terdapat empat luka diduga akibat tembakan, ada luka seperti sayatan di bagian kelopak mata, hidung, mulut, serta kaki. Dua jari Josua juga putus.
Adapun Beka menambahkan, saat ini tim Komnas HAM lebih dulu akan menunggu hasil autopsi jenazah Josua dari Rumah Sakit Polri Kramat Jati. Tim Komnas HAM akan mendalami dan menganalisis hasil autopsi tersebut.
Di samping itu, Beka membuka peluang permintaan autopsi ulang jenazah Brigadir Josua. "Meski tidak menutup kemungkinannya, tapi saat ini kami belum melihat kebutuhan tersebut," kata Beka.
EGI ADYATAMA | ARRIJAL RACHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo