Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Harun Masiku diduga berada di Jakarta saat KPK menciduk anggota KPU, Wahyu Setiawan.
Jejak Harun terlihat di bandara, apartemen, dan rumahnya di Gowa, Sulawesi Selatan.
Dewan Pengawas dan pemimpin KPK bersilang pendapat soal izin penggeledahan.
BERTANDANG ke Tower Edelweiss, Thamrin Residence, Jakarta Pusat, Selasa siang, 14 Januari lalu, tim penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi naik ke lantai 31. Mereka menyatroni kamar nomor 31EC yang sudah kosong. Di kamar itulah Harun Masiku, tersangka kasus dugaan suap anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, tinggal. “Teman di lapangan mendapatkan dokumen signifikan, antara lain untuk menemukan keberadaan tersangka HAR (Harun),” kata pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harun berstatus buron setelah lolos dari operasi tangkap tangan tim penindakan KPK yang digelar Rabu, 8 Januari lalu. Dalam operasi senyap itu, KPK mencokok Wahyu, yang diduga menerima suap Rp 600 juta dari total kesepakatan Rp 900 juta. Diberikan melalui orang dekatnya, Agustiani Tio Fridelina Sitorus, duit itu diduga untuk meloloskan Harun, calon legislator Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat terpilih melalui mekanisme pergantian antarwaktu di KPU.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPK justru meyakini Harun berada di Singapura pada saat operasi tangkap tangan. “Informasi dari humas Imigrasi kan sudah jelas bahwa, berdasarkan data lalu lintas orang, dia ada di Singapura per tanggal 6 Januari,” ujar Ali. KPK bahkan mengirimkan permohonan pencegahan Harun bepergian ke luar negeri kepada Direktorat Jenderal Imigrasi sehari sebelum penggeledahan di apartemen Thamrin Residence.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Imigrasi Arvin Gumilang mengatakan Harun belum tercatat kembali ke Tanah Air. Begitu pula Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly ngotot menyatakan Harun masih di luar negeri. “Pokoknya belum di Indonesia,” kata politikus PDI Perjuangan itu pada Kamis, 16 Januari lalu.
Penelusuran Tempo menunjukkan Harun memang melancong ke Singapura pada Senin, 6 Januari lalu. Dia memesan tiga tiket pesawat Garuda Indonesia untuk penerbangan berbeda pada hari yang sama, yakni GA 824, GA 830, dan GA 832. Ia akhirnya melenggang dengan GA 832 dan duduk di kursi 6K, yang berangkat pukul 11.30 dan tiba pukul 14.20 waktu Singapura. Tapi Harun hanya satu hari di Negeri Singa.
Pada Selasa, 7 Januari lalu, Harun memesan tiket Lion Air JT 155 dan Batik Air ID 7156. Dalam penerbangan Lion Air, status Harun “no show” atau tidak berada di pesawat. Ia memilih naik Batik Air dan duduk di kursi kelas bisnis nomor 3C. Pesawat itu bertolak dari Terminal 1 Bandar Udara Internasional Changi pukul 16.35 dan tiba di Terminal 2F Bandara Soekarno-Hatta pukul 17.03. Kedatangan Harun di Soekarno-Hatta pun terekam kamera pengawas (CCTV) yang salinannya diperoleh Tempo.
Mengenakan kaus lengan panjang biru tua serta celana dan sepatu sport hitam, Harun terlihat menenteng tas seukuran laptop dan kantong belanja. Beberapa belas menit kemudian, seorang pria berseragam menghampirinya. Laki-laki itu terus menemani Harun melintasi pos pemeriksaan Imigrasi hingga Bea dan Cukai. Keluar dari area kedatangan, Harun kemudian menaiki taksi Silver Bird Toyota Alphard. Sebelum Harun masuk ke dalam mobil, petugas berpakaian Lion Air--satu grup dengan Batik--datang mendorong troli berisi koper, lalu memasukkannya ke dalam taksi. Membuka jendela, Harun kemudian melambaikan tangan kepada pria berseragam tersebut.
Harun diduga menuju apartemen Thamrin Residence. Kedatangannya dibenarkan oleh seorang pegawai yang ditemui Tempo. Sebelum pulang, pegawai ini melihat Harun berada di lobi apartemen. Ditunjukkan foto Harun, si pegawai pun membenarkannya. “Saya pasti ingat dia. Harun pernah komplain karena mobilnya baret-baret,” ujarnya. Pegawai ini bercerita, Harun beberapa bulan lalu mulai tinggal di apartemen tersebut. Si pegawai pernah menyampaikan permintaan agar Harun segera membayar tunggakan tagihan listrik.
Keesokan paginya, Rabu, 8 Januari, pegawai itu melihat Harun keluar dari lift sambil menggeret satu koper. Menurut dia, Harun kemudian naik sebuah mobil multi-purpose vehicle atau MPV. Pagi itu Harun tak menggunakan mobil Toyota Camri-nya yang terparkir di lantai P3. Mobil bercat hitam metalik dengan pelat nomor B-8351-WB itu kini dipasangi sejumlah stiker merah-putih bertulisan “Dalam Pengawasan KPK”.
Jejak Harun terpantau oleh tim penindakan komisi antikorupsi saat magrib. Mengenakan kemeja merah lengan panjang, menurut seorang saksi mata, Harun terlihat di depan Grand Cafe, lantai 3, Hotel Grand Hyatt, Jakarta Pusat. Sekitar setengah jam kemudian, Harun merapat ke sebuah stasiun pengisian bahan bakar umum di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, untuk bertemu dengan Nurhasan, penjaga kantor Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.
Sebelumnya, Nurhasan menghubungi Harun untuk menyampaikan instruksi yang diduga berasal dari Hasto, yaitu agar semua telepon seluler Harun direndam dalam air. Sekitar enam jam sebelumnya, KPK mencokok anggota KPU, Wahyu Setiawan, dan orang dekatnya, Agustiani Tio Fridelina Sitorus. KPK juga menciduk enam orang lain.
Dua di antara mereka adalah Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah. Keduanya, menurut sejumlah politikus PDIP, adalah orang dekat Hasto. Adapun Hasto diduga ikut memberikan duit suap senilai Rp 400 juta untuk Wahyu melalui Saeful dan Donny. Menaiki sepeda motor bersama Nurhasan, Harun menuju kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Hasto diduga sudah berada di sana. Tim penindakan KPK lainnya pun telah memantau posisi Hasto, yang diduga berada di sekitar tempat tinggal seorang petinggi intelijen.
Di kompleks PTIK, tim KPK gagal menangkap Harun dan Hasto. Lima anggota satuan tugas penindakan yang membuntuti Harun ditahan sejumlah polisi. Mereka diminta memberitahukan password ponsel, bahkan sempat menjalani tes urine. Mengetahui rekan-rekannya disekap polisi, tim yang mengejar Hasto memberi tahu Direktur Penyidikan KPK Brigadir Jenderal R.Z. Panca Putra Simanjuntak. Tapi, baru tujuh jam kemudian atau sekitar pukul 03.30, Panca menjemput anak buahnya.
Dimintai tanggapan, Panca enggan menjelaskan alasannya lama membebaskan pegawai KPK. “Silakan ditanyakan ke juru bicara,” katanya. Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, dan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar mengakui penangkapan tim penindakan oleh sejumlah polisi tersebut. “Terjadi kesalahpahaman,” ujar Ali. Sedangkan Kepala Biro Penerangan Umum Kepolisian RI Brigadir Jenderal Argo Yuwono mengatakan penahanan tersebut sah.
Hasto Kristiyanto. TEMPO/M Taufan Rengganis,
“Namanya orang tidak dikenal masuk, kami cek enggak masalah.”
Kamis malam, 9 Januari lalu, setelah mengadakan gelar perkara, KPK mengumumkan penetapan Wahyu Setiawan, Agustiani Tio Fridelina Sitorus, Harun Masiku, dan Saeful Bahri sebagai tersangka kasus suap. Meski peran Hasto Kristiyanto dan Donny Tri Istiqomah terang-benderang, mereka tidak dibahas dalam gelar perkara. Seorang pejabat KPK bahkan langsung mengambil kesimpulan Hasto tak terlibat. “Siapa yang berani Hasto tersangka? Enggak ada, kan?” ucap pejabat itu seperti ditirukan tiga orang yang mengetahui peristiwa tersebut. KPK bahkan melepas Donny karena dianggap kooperatif.
Hasto membantah berada di kompleks PTIK pada hari penangkapan. “Tidak,” katanya. Dia mengaku sedang sibuk menyiapkan rapat kerja nasional PDIP yang akan digelar di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat. Sedangkan Nurhasan mengatakan malam itu dia sibuk mondar-mandir dari kantor Hasto ke Kemayoran untuk membantu persiapan rapat akbar PDIP. “Saya sakit karena dua hari ini hujan-hujanan,” ujarnya pada Jumat, 10 Januari lalu. Dia juga membantah mendapat perintah mengantar Harun Masiku. “Tugas saya cuma buka-tutup pagar di rumah itu.”
Pun Hasto membantah terlibat kasus suap tersebut. “Informasi itu menunjukkan ada berbagai kepentingan untuk menggiring opini,” katanya. Ia menyangkal mengenal Saeful ataupun Donny. “Kami belum tahu siapa mereka.” Hasto juga menyangkal dekat dengan Harun. Tapi dia menilai Harun memiliki rekam jejak bersih. Adapun para penyidik tak lagi melihat Harun setelah dia masuk ke kompleks PTIK.
•••
MENELUSURI keberadaan Harun Masiku, Tempo menyambangi rumah istrinya, Hilda, di Perumahan Bajeng Permai, Blok J Nomor 7, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Seorang tetangga Hilda mengaku melihat sosok mirip Harun mengendarai sepeda motor Yamaha Freego dengan baju serba hitam dan mengenakan masker pada Ahad malam, 12 Januari lalu, sekitar pukul 22.30 waktu setempat. “Saya tahu itu dia karena perawakannya sama,” tutur tetangga Hilda yang ditemui Tempo pada Rabu, 15 Januari lalu. “Dia sudah tiga hari ini di rumah itu.”
Istri Harun beserta orang tuanya tinggal di rumah subsidi tipe 36 itu dalam tiga tahun terakhir. Menurut tetangganya, Harun jarang pulang karena lebih sering berada di Jakarta. Seorang warga Bajeng Permai mengaku pada pekan lalu pernah mendengar suara mirip Harun dari dalam rumah berpagar besi dengan kelir merah tersebut. Saat itu, dia sedang melintas di depan rumah Hilda, yang di sudut kiri dan kanannya terpasang CCTV.
Rumah Harun Masiku berpagar merah di Gowa, Sulawesi Selatan, 15 Januari 2020. TEMPO/Didit Hariyadi
Kepala lingkungan Perumahan Bajeng, Sitakka, mengklaim tak mengenal Harun dan Hilda. “Tidak ada nama itu di sini,” ujarnya. Namun anak Sitakka justru mengatakan sebaliknya. Pria yang tak mau disebutkan namanya itu bercerita, Harun dan Hilda pernah mendatangi rumahnya untuk melapor sebagai warga baru. “Saya mendengar namanya,” katanya. Tempo sempat menemui Hilda, tapi perempuan itu buru-buru masuk ke dalam rumahnya.
Ketua KPK Firli Bahuri meyakini Harun masih di luar negeri. Dia mengaku sudah meneken surat permintaan bantuan ke kepolisian untuk memburu Harun. “Sampai hari ini penyidik tetap mencari dan berupaya menangkap tersangka yang melarikan diri tersebut,” ujar Firli pada Jumat malam, 17 Januari lalu.
Tak hanya gagal menangkap Harun. Penyidik KPK yang terlibat dalam operasi tangkap tangan malah dicopot. Padahal, biasanya, penyidik KPK yang terlibat dalam operasi senyap selalu mengawal kasus hingga naik tahap penuntutan. Pejabat struktural KPK mengganti penyidik itu dengan penyidik asal kepolisian saat operasi tangkap tangan berlangsung.
Namun pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, justru mengatakan tugas tim awal telah berakhir dan memang harus diganti. “Memang sudah selesai tugasnya,” katanya.
Sejak awal, penyelidikan kasus suap ini memang menghadapi banyak rintangan. Saat hendak menyegel ruang kerja Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, tim penindakan KPK dihalangi petugas di markas partai banteng. Ketua PDIP Djarot Saiful Hidayat menuding petugas KPK tak dilengkapi surat tugas. Namun Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menyatakan petugas sudah dibekali surat tugas.
Alotnya menembus markas PDI Perjuangan pun tak berhenti di situ. Pimpinan dan Dewan Pengawas KPK bersilang pendapat soal pengajuan izin penggeledahan. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengklaim telah mengajukan permohonan izin penggeledahan. Tapi Ketua Dewan Pengawas Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan justru pimpinan KPK belum mengajukan izin. “Omong kosong orang bilang Dewan Pengawas itu memperlama. Enggak ada. Kalau penggeledahan cukup satu izin untuk beberapa tempat.”
LINDA TRIANITA, BUDI SETYARSO, DEVY ERNIS, ROSSENO AJI, DIDIT HARIYADI (GOWA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo