Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PDIP membentuk tim khusus untuk membentengi serangan soal kasus suap anggota KPU Wahyu Setiawan.
Mereka bermanuver dengan mempersoalkan operasi tangkap tangan KPK.
Sebagian pengurus dan kader partai tak sepakat dengan langkah tersebut.
UPAYA menyelamatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dimulai satu hari setelah acara rapat kerja nasional partai tersebut berakhir pada Ahad, 12 Januari lalu. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto serta Ketua Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Perundang-undangan Yasonna Hamonangan Laoly membentuk tim hukum khusus terkait dengan kasus suap bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan. “Saya diberi tahu supaya masuk tim Senin lalu,” kata anggota tim, Yanuar Prawira Wasesa, kepada Tempo, Jumat, 17 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua hari sebelum kongres dimulai, atau pada Rabu, 8 Januari lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi mencokok Wahyu Setiawan. Dia diduga meminta duit Rp 900 juta untuk mengegolkan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PDI Perjuangan, Harun Masiku, melalui mekanisme pergantian antarwaktu di KPU. Wahyu diduga menerima Rp 200 juta dan Rp 400 juta dalam bentuk dolar Singapura dari Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah, melalui orang kepercayaannya, Agustiani Tio Fridelina Sitorus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saeful, Donny, dan Agustiani Tio adalah kader PDIP. Berstatus tersangka, Harun--hingga Sabtu pagi, 18 Januari lalu, berstatus buron--dan Saeful dianggap sebagai pemberi suap, sedangkan Wahyu dan Agustiani Tio sebagai penerima duit. Kasus ini juga disebut-sebut menyeret Hasto Kristiyanto, yang diduga ikut menyuap Wahyu. Tim penindakan mencoba menangkap Hasto yang diduga berada di kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta Selatan, tapi gagal. Hasto sendiri membantah terlibat kasus suap tersebut.
PDIP menghimpun sejumlah pengacara di lingkup internal partai. Tim khusus ini dipimpin anggota DPR asal Bali, I Wayan Sudirta, serta beranggotakan antara lain Yanuar Wasesa, Teguh Samudera, dan Roy Jansen Siagian. Tim ini juga dibantu pengacara yang acap menangani perkara korupsi, Maqdir Ismail. Pada Rabu, 15 Januari lalu, tim ini diperkenalkan kepada publik. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly ikut menghadiri peluncuran tim ini. Dia mengklaim pemberitaan soal kasus itu kerap disajikan tanpa didukung data yang benar.
Dari parlemen, politikus partai banteng juga ikut menyerang KPK. Anggota Komisi Hukum DPR dari PDIP, Masinton Pasaribu, menuding terjadi kebocoran surat perintah penyelidikan untuk kasus Wahyu.
Sehari kemudian, tim ini langsung tancap gas. Mula-mula mereka bertandang ke kantor KPU. Tim ini menggelar pertemuan tertutup dengan Ketua KPU Arief Budiman di mes Bank Indonesia, Jalan Imam Bonjol. Agendanya adalah memperjelas posisi PDI Perjuangan dalam kasus suap Harun Masiku, kader partai itu yang kini berstatus buron. Koordinator tim, I Wayan Sudirta, mengatakan mereka memberikan penjelasan kepada KPU soal kabar yang menyebutkan PDIP menghalangi penyelidikan KPK.
Tim juga bertemu dengan anggota Dewan Pengawas KPK, Albertina Ho. Ada tujuh poin aduan tim hukum PDI Perjuangan kepada Dewan Pengawas. Misalnya soal rencana penyegelan kantor partai banteng pada Kamis, 9 Januari lalu. Sudirta sangsi surat yang ditunjukkan penyelidik KPK merupakan surat izin penggeledahan dari Dewan Pengawas KPK. “Periksa ini, melanggar aturan atau tidak,” ucap Sudirta.
Sehari berselang, Sudirta mendatangi kantor Dewan Pers dan Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Di Dewan Pers, tim hukum ini meminta media bekerja sesuai dengan kode etik jurnalistik dan tidak merugikan kepentingan publik. Sudirta merasa partainya dipojokkan oleh pemberitaan media massa dan kurang diberi ruang klarifikasi. “Kami merasa konfirmasi ke kami sangat kering,” ujarnya.
Di Badan Reserse Kriminal, tim hukum mengungkapkan partainya babak-belur oleh pemberitaan media. Dengan membawa satu bundel kopian berita, Sudirta mengatakan sejumlah media menyebut partainya menghalangi kerja komisi antirasuah. Pemberitaan ini, kata dia, merugikan citra partainya yang bakal menghadapi sejumlah hajatan politik, seperti pemilihan kepala daerah. Mereka pun sedang menimbang untuk melapor ke polisi jika menemukan unsur pidana.
Tim hukum juga melancarkan berbagai sanggahan soal operasi tangkap tangan KPK. Anggota tim hukum, Teguh Samudera, menilai perkara itu hanya penipuan dan pemerasan. Anggota tim lainnya, Maqdir Ismail, mempertanyakan keabsahan surat perintah penyelidikan terhadap Wahyu Setiawan. Maqdir mengklaim surat yang dikeluarkan pada 20 Desember 2019 tersebut tidak sah karena pada 21 Oktober 2019 terbit keputusan presiden soal pemberhentian pimpinan KPK. “Setelah keputusan presiden keluar, pimpinan KPK tak diberi kewenangan menindak,” ujarnya.
Klaim Maqdir tak sepenuhnya benar. Keputusan Presiden Nomor 112/P Tahun 2019 tentang Pemberhentian dengan Hormat dan Pengangkatan Pimpinan KPK memang diteken pada 20 Oktober 2019. Klausul ketiga beleid ini menyebutkan bahwa keputusan tersebut berlaku setelah pelantikan pimpinan baru. Pun surat penyelidikan yang diteken Agus Rahardjo, pimpinan KPK sebelumnya, dikeluarkan pada November 2019 dan diperpanjang sebulan kemudian.
Dari parlemen, politikus partai banteng juga ikut menyerang KPK. Anggota Komisi Hukum DPR dari PDIP, Masinton Pasaribu, menuding terjadi kebocoran surat perintah penyelidikan untuk kasus Wahyu. Mengaku mendapat salinan surat tersebut, Masinton menuntut Dewan Pengawas KPK mengusut siapa pembocornya.
Berbagai manuver itu menjadi pergunjingan di lingkup internal PDIP. Sejumlah politikus partai itu yang ditemui Tempo mengaku khawatir jika persoalan tersebut justru membesar dan menyeret partai. Mereka menilai ada upaya menutupi keterkaitan Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto dengan para tersangka. Para politikus tersebut menyatakan Hasto mengenal dekat Harun Masiku, Saeful Bahri, juga Donny Tri Istiqomah.
Menurut dua politikus PDIP, Hasto dan Donny sama-sama memiliki akses di situation room partai. Ini adalah ruangan khusus di gedung Dewan Pimpinan Pusat PDIP yang hanya bisa dimasuki segelintir orang. Di sini mereka bisa memantau berbagai perkembangan di daerah. Ciri khas mereka yang bekerja di situation room adalah personelnya hampir selalu mengenakan pakaian hitam-hitam. Seorang politikus PDIP juga pernah melihat Harun Masiku berada di kantor Hasto di Jalan Sutan Syahrir, Menteng, Jakarta Pusat.
Namun Hasto membantah mengenal Saeful dan Donny. Dia juga menyatakan tak mengenal dekat Harun Masiku. “Kalau Harun Ar-Rasyid di dalam cerita, kita sering mendengar. Tapi, kalau Harun ini, saya enggak tahu,” ujarnya. Hasto mengatakan partainya lepas tanggung jawab dalam dugaan kasus suap yang melibatkan kader partainya. Menurut dia, peran PDIP telah selesai ketika menggugat peraturan KPU dan meminta fatwa ke Mahkamah Agung untuk meloloskan Harun. “Setelah KPU menolak permohonan resmi dari DPP, lalu ada pihak tertentu yang menawarkan upaya lain, itu di luar sepengetahuan partai,” kata Hasto.
WAYAN AGUS PURNOMO, BUDIARTI UTAMI PUTRI, DEWI NURITA, HUSSEIN ABRI DONGORAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo