Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH hampir setahun Hamdan Zoelva tidur hanya lima jam sehari. Ketua Mahkamah Konstitusi ini merasa terbebani dengan penangkapan pendahulunya, Akil Mochtar, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. "Banyak orang tidak percaya lagi kepada MK," kata pria 52 tahun ini.
Akil menerima suap dari belasan kepala daerah yang beperkara di Mahkamah Konstitusi. Ia ditangkap di rumahnya pada awal Oktober 2013, setelah mendapatkan setoran dari Bupati Gunung Emas Hambit Bintih. Perkara ini mengguncang MK, yang kemudian dipimpin Hamdan. Kepercayaan publik berada pada titik terendah.
Dalam situasi itulah Mahkamah Konstitusi harus menyelesaikan gugatan hasil pemilihan presiden yang diajukan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Bukan hal mudah menghilangkan kecurigaan, apalagi Hamdan pernah menjadi politikus Partai Bulan Bintang, anggota koalisi pendukung pasangan itu. Di jajaran hakim ada pula Patrialis Akbar, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Amanat Nasional.
Toh, semua berakhir baik. Dalam putusan yang dibacakan pada Kamis pekan lalu, MK menilai semua bukti yang diajukan kubu Prabowo tak cukup signifikan untuk mempengaruhi hasil pemilihan. Kemenangan duet Joko Widodo-Jusuf Kalla pun dikukuhkan oleh sidang yang dipimpin Hamdan.
Segera setelah memimpin sidang, Hamdan melesat menuju Bandar Udara Soekarno-Hatta. Ia mesti terbang ke Denpasar menggunakan pesawat terakhir untuk menghadiri seminar esok paginya. Di atas penerbangan satu setengah jam itu, ia menerima Elik Susanto dari Tempo untuk wawancara khusus.
MK awalnya diragukan menolak gugatan Prabowo-Hatta, yang tidak didukung bukti kuat, karena partai Anda menyokong pasangan ini….
Apa pun yang saya bilang, orang pasti tidak percaya. Berkali-kali saya mengatakan bahwa MK akan independen, mereka tidak akan percaya. Soal kedekatan saya dengan pemohon, siapa pun tahu. Saya kenal Prabowo jauh sebelum pemilu. Kenal Jokowi juga sejak di Solo.
Anda pernah dihubungi partai Anda untuk urusan ini?
Tidak pernah. Ditelepon tidak pernah, didatangi juga tidak. Sejak Lebaran, saya belum bertemu dengan Pak Yusril (Ketua Dewan Syura PBB Yusril Ihza Mahendra). Kami menjaga jarak karena sedang ada perkara. Pak Yusril orang yang paling tahu posisi saya.
Bagaimana putusan diambil?
Di MK, pentingnya diskusi para hakim sangat dijunjung tinggi. Diskusi menjadikan perkara terang-benderang. Jika ada hakim yang berpendapat A, kemudian disanggah hakim B, ketua harus menggali kenapa. Lalu lintas perdebatan itulah yang memakan waktu sangat panjang dalam memutus perkara pemilihan presiden.
Di mana peran Ketua MK?
Awalnya, ketua harus berdiri dulu di tengah. Pandangan seorang Ketua MK selalu di bagian akhir. Ini cara kerja hakim sejak dulu. Semua pandangan hakim dalam rapat musyawarah direkam. Tapi proses musyawarah yang direkam itu rahasia, karena dilakukan secara tertutup.
Seberapa banyak perbedaan pandangan hakim dalam memutus perkara?
Kami mengadakan diskusi per topik. Tentu sangat beragam pandangannya, karena setiap hakim melihat dari sudut yang berbeda. Dengan banyaknya perbedaan pandangan itulah diskusi terhadap suatu perkara menjadi tajam.
Ada hakim yang berkukuh menerima gugatan Prabowo?
Kalaupun perdebatan itu ada, tidak boleh saya buka. Itu bagian dari musyawarah hakim yang bersifat rahasia. Yang jelas, dalam putusan, tidak muncul dissenting opinion. Dalam kasus sengketa pilpres, pilkada, pemilu legislatif, putusannya harus bulat.
Apakah bukti yang diajukan kubu Prabowo-Hatta tidak menunjukkan adanya kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif?
Coba kita lihat bukti daftar pemilih khusus tambahan-DPKTb-yang mereka ajukan. Saya minta tunjukkan data seluruh Indonesia, DPKTb yang tertinggi di mana. Provinsi Jawa Barat. Yang menang siapa? Prabowo-Hatta. Lalu di Banten dan DKI, yang pelanggarannya tinggi sekali, tapi selisih suaranya sedikit. Bagaimana mau direkayasa? Paling satu tempat pemungutan suara ada kesalahan satu, dua, atau tiga suara.
Apa sih yang dimaksud pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif?
Pelanggaran terstruktur jika kecurangan dari atas ke bawah. Ada rapat-rapat, ada koordinasi teknis, ada yang merancang skenario. Sistematis kalau dari yang terstruktur itu ada yang menjalankan dari tingkat atas sampai bawah. Masif jika pelanggaran berlangsung meluas. Tidak usah seluruh Indonesia, cukup satu provinsi atau satu-dua kabupaten/kota. Pelanggaran ini juga berpengaruh besar terhadap hasil pilpres. Ini semua tidak ada.
Tim Prabowo menuduh ada pejabat yang melakukan pelanggaran.
Faktanya tidak ada. Kami tanya: di mana, perintahnya apa, ada rapat koordinasi, ada skenario target memperoleh suara sekian, kemudian pejabat itu mengarahkan teknis pelaksanaannya apa tidak? Kalau skenario tidak dikerjakan, para PNS dan masyarakat kemudian diancam oleh pejabat itu. Faktanya tidak ada. Kesimpulannya, tidak ada pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif. Hanya kecurigaan.
Tak ada sama sekali bukti dari tim Prabowo-Hatta yang kuat dan bisa dipertimbangkan?
Ada. Contoh, pemilih yang sudah meninggal tapi mencoblos. Dalam putusan, kami katakan benar ada. Tapi tidak ada gunanya karena jumlahnya tidak signifikan, 20 ribu suara saja tidak sampai. Apakah perlu diadakan pemilihan ulang? Untuk apa kalau tidak signifikan hasilnya?
Bukti DPKTb yang diajukan tim Prabowo-Hatta cukup banyak.
Taruhlah jumlahnya 6 juta suara. Kemudian diputuskan pemilu ulang. Pertanyaannya, apakah semua akan memilih Prabowo-Hatta? Kalaupun iya, tetap tidak akan mengejar selisih perolehan suara berdasarkan rekapitulasi KPU.
MK memeriksa semua bukti yang diajukan tim Prabowo-Hatta?
Begini cara mengeceknya. Kasus yang mereka ajukan kami cari buktinya. Tidak satu per satu kami buka. Kami dibantu tenaga dari pegawai-pegawai di bawah Sekretaris Jenderal MK. Berdasarkan kasus yang diajukan, lalu dibongkar buktinya. Tidak mungkin kami membuka tiap lembar bukti yang kebanyakan berupa formulir C1. Bisa dibayangkan bukti C1 seluruh Indonesia, berapa truk banyaknya.
Berapa banyak pegawai terlibat urusan ini?
Saya tidak tahu persis. Saya dan para hakim dibantu dua peneliti. Mereka melekat dan selalu ada di ruangan para hakim.
Benarkah jumlah bukti yang diserahkan mencapai 21 truk dan jutaan lembar?
Cukup banyak, kami taruh di tiga lokasi. Salah satunya di lantai 7 gedung MK. Satu lantai penuh berkas, berserakan. Susah mengukur volumenya. Barang bukti ini akan kami bawa ke Arsip Nasional. Dijadikan satu dengan semua berkas hasil putusan MK terdahulu.
Tim Prabowo juga mempersoalkan sistem noken di Papua?
Ke depan harus ada undang-undang yang mengatur. Bahwa hukum adat harus menjadi instrumen yang mengikat, karena memang faktanya di masyarakat Indonesia masih ada tradisinya. Negara harus mengakui hukum adat yang benar-benar terus berkembang. Sekarang ini kita dihadapkan pada dua persoalan.
Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 mengharuskan pemilu dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, dan adil. Artinya, pemilih sendiri-sendiri masuk ke bilik suara. Tapi, di sisi lain, UUD harus mengakui sistem adat. Karena itu, untuk pengakuan sistem adat dalam pemilu, harus ada undang-undang sendiri. Undang-undang itu mengatur sistem noken agar menjadi jelas teknisnya.
Soal daftar pemilih tetap, bagaimana memperbaikinya?
Ada dua ranah. Nomor induk kependudukan atau NIK yang ada di Kementerian Dalam Negeri dan daftar pemilih tetap yang ada di KPU. Orang memiliki NIK belum otomatis menjadi pemilih. Karena NIK muncul sejak penduduk itu lahir. NIK yang umurnya telah memenuhi syarat pemilih diserahkan ke KPU untuk masuk daftar pemilih sementara untuk diverifikasi berdasarkan pemilu terakhir. Jika kelak data kependudukan rapi, saya yakin itu akan sangat membantu penyusunan DPT.
Apakah putusan MK dalam sengketa hasil pilpres akan mengembalikan wibawa MK?
Saya tidak tahu. Yang pasti, putusannya memang tidak ada yang bisa dikabulkan dari pemohon. Itu prinsip putusan para hakim. Setelah ini, kami serahkan ke publik untuk menilai.
Perkara ini tergolong berat bagi Anda?
Ini sidang paling berat bagi saya, karena nuansa politiknya begitu tinggi. Pilpres hanya dua pasangan calon, masyarakat betul-betul terfragmentasi dalam dua kelompok. Yang membuat beban terasa berat bukan faktor materi gugatan, melainkan publik yang terbelah menjadi dua kelompok itu.
Anda tertekan oleh massa yang datang ke MK?
Saya dan hakim-hakim tidak tertekan. Tapi kami dituntut untuk lebih hati-hati. Kalau dilihat dari putusan kami, banyak penjelasan topik gugatan yang sengaja kami ulang-ulang. Ini untuk memastikan bahwa materi tersebut bisa dimengerti oleh publik secara detail.
Ngomong-ngomong, Anda memilih siapa waktu pilpres?
Waduh, saya tidak boleh buka itu. Meskipun sudah selesai, selama jadi hakim, tetap tidak bisa saya sebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo