Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKAN pesan kemerdekaan yang disampaikan Megawati Soekarnoputri setelah peringatan Proklamasi 17 Agustus ke-69 di kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Kepada puluhan pengurus partai, ketua umum partai banteng ini meminta mereka merebut kursi pemimpin parlemen. "Rakyat sudah memberi kepercayaan kepada kita dalam pemilihan umum dan presiden," katanya, seperti dituturkan Sekretaris Jenderal PDIP Tjahjo Kumolo pekan lalu.
Pesan Megawati ini spesifik karena partainya tak otomatis menduduki kursi Ketua DPR meski berhasil menang dalam pemilihan legislatif dengan 18,95 persen suara. Koalisi Merah Putih, yang mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, berhasil mendorong revisi Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dalam sidang parlemen pada Juli lalu. Koalisi ini terdiri atas Golkar, Gerindra, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional. Mereka menguasai 292 dari 560 kursi.
Perolehan kursi itu melebihi jumlah anggota parlemen partai-partai pengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla, yang hanya mendapatkan 207 kursi. Demokrat, dengan 61 kursi, bersikap netral meski condong ke kubu Prabowo. Karena itu, menurut Tjahjo, PDIP, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Hanura telah mengajukan permohonan peninjauan undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi agar dikembalikan ke aturan semula.
Di luar soal peninjauan aturan, para politikus PDIP melakukan apa yang dipesankan Megawati: bergerilya melobi partai penyokong Prabowo agar paket pemimpin DPR yang mereka siapkan bisa menang. "Kalau tidak begitu, kami bisa dipermalukan," kata Sekretaris Fraksi PDIP Bambang Wuryanto. Demokrat, PPP, dan PAN menjadi incaran mereka.
Paket yang diusung PDIP adalah mendudukkan PKB, Hanura, dan NasDem di kursi wakil ketua. Satu kursi lagi, menurut seorang politikus di PDIP, akan diberikan kepada PAN. Demokrat akan diberi jatah Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, sedangkan PPP ditawari satu kursi di kabinet Jokowi. Kabarnya, jabatan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, politikus Partai Ka'bah, akan dipertahankan hingga pemerintah baru dikukuhkan pada 20 Oktober nanti.
Ada tiga nama yang mengemuka di PDIP untuk menjabat Ketua DPR: Ketua Fraksi Puan Maharani, Wakil Ketua DPR Pramono Anung, dan Tjahjo Kumolo. Pemilihan nama-nama ini masih menunggu keputusan Joko Widodo menyusun kabinet. Menurut Bambang, jika salah satu atau dua dari tiga nama itu menjadi menteri, PDIP akan menyorongkan yang tak terpilih menjadi pemimpin parlemen. Sejauh ini nama Puan, anak Megawati, paling kuat.
Pekan lalu, Bambang bertemu dengan Sjarifuddin Hasan, Ketua Harian Demokrat, yang akan diplot menjadi Ketua MPR. Menurut Sjarifuddin, tawaran PDIP bisa terjadi jika merujuk pada lobi-lobi rebutan jabatan di DPR pada 2009. Waktu itu, kata Menteri Koperasi ini, PDIP menyokong partainya menjadi Ketua DPR sebagai pemenang pemilihan anggota legislatif. "Sulit mendapatkan posisi itu jika tak ada dukungan penuh PDIP," ujarnya.
Bila mulus dengan strategi bagi-bagi kekuasaan ala PDIP, koalisi penyokong pemerintah di parlemen bisa meraih 356 kursi-angka yang lebih dari cukup untuk mengalahkan sisa koalisi Merah Putih jika pemilihan Ketua DPR dilakukan secara voting. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, masih ada strategi cadangan jika koalisi ini terganjal, yakni melobi Golkar, yang punya 91 kursi, untuk bergabung. "Kami tetap yakin bisa mendapat kan kursi Ketua DPR," ucapnya.
Optimisme Hasto kian membubung karena dukungan PAN kepada Prabowo sudah lumer sehingga mau diajak berkoalisi. Politikus PAN bahkan berinisiatif mendekati kubu Jokowi begitu Komisi Pemilihan Umum menetapkan Gubernur Jakarta itu menjadi presiden terpilih. Puan dan Tjatur Sapto Edy, sesama ketua fraksi di DPR, kerap bertemu membahas kemungkinan itu. "Komunikasi antarketua fraksi sudah biasa saya lakukan," kata Tjatur diplomatis.
Ira Guslina Sufa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo