Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah hampir setahun sejak lulus kuliah, Fitri Astuti menjalani karier sebagai guru. Ia mengajar mata pelajaran sejarah untuk kelas X, XI, dan XII di SMA Muhammadiyah Al Mujahidin, Wonosari, Yogyakarta. Sebagai guru, tantangan yang dihadapi Fitri adalah menumbuhkan minat siswa-siswanya mempelajari sejarah.
Ia menilai banyak generasi muda kini kurang tertarik pada sejarah. Bagi mereka, sejarah adalah pelajaran hafalan yang membosankan. Salah satu penyebabnya, menurut perempuan asal Bantul itu, adalah metode pengajaran yang masih konvensional. “Jadi, mereka masih ngajar dengan cara ceramah dan bercerita yang bikin siswa ngantuk dan malas dengerin,” kata Fitri kepada Tempo, Rabu, 14 Desember 2022.
Fitri menyukai pelajaran sejarah sejak duduk di bangku sekolah. Ia beruntung memiliki guru yang asyik karena penjelasan dan penyampaiannya mudah dimengerti. Hal itu pula yang memotivasi dara berusia 23 tahun tersebut mengambil jurusan pendidikan sejarah ketika kuliah. Alumnus Universitas Negeri Yogyakarta itu semakin suka sejarah karena sumber ilmunya bukan hanya dari ruang kelas. Ketika KKL (kuliah kerja lapangan), Fitri kerap menjelajah berbagai tempat bersejarah, seperti candi, situs, dan museum.
Fitri Astuti, alumni jurusan pendidikan sejarah di UNY yang membuat permainan edukasi sejarah bernama Maze of History. Dokumentasi Pribadi.
Menurut Fitri, perlu ada inovasi agar siswa bisa tertarik belajar sejarah. Karena itu, ketika mengajar, Fitri meninggalkan cara-cara konvensional. Ia memanfaatkan teknologi agar mata ajar rumpun sosial itu kian menarik. Salah satunya dengan media pembelajaran berbasis permainan melalui Kahoot!. Fitri mengajak murid-muridnya bermain kuis melalui aplikasi itu. “Tinggal isi soal sama kunci jawaban. Nanti mereka jawab pertanyaan di ponsel masing-masing. Tiap pertanyaan dibatasi waktu.”
Selain dengan metode kuis, Fitri menerapkan pengalaman yang didapatnya ketika kuliah, yaitu belajar di lapangan. Ia mengajak siswa-siswanya mengunjungi situs bersejarah dan museum. Menurut Fitri, banyak siswanya menikmati pelajaran sejarah karena bisa mengamati langsung ke tempat-tempat tersebut. “Nanti mereka lebih mudah terekam di otak untuk sejarahnya, peninggalannya apa. Jadi lebih bermakna lah.”
Dosen jurusan sejarah UNY, Saefur Rochmat. Dok. Pribadi
Dosen jurusan sejarah di UNY, Saefur Rochmat, menuturkan bahwa sejarah adalah inti pendidikan dan menjadi sumber bagi ilmu-ilmu lain. Namun pelajaran sejarah saat ini tidak memiliki kerangka teori yang penting untuk interpretasi. Akibatnya, pelajaran sejarah yang semestinya bisa membentuk identitas berujung pada memelihara dendam.
Hal itu, kata Saefur, bisa terlihat dari adanya keributan tentang isu komunis, dan perbedaan antara Sukarno dan Sutan Syahrir. “Seolah-olah dipelihara. Sehingga para pengikutnya jadi tidak bisa akur dan tak bisa bekerja sama mengatasi sejarah masa lampau bagi kepentingan sejarah masa kini,” ujar profesor di UNY ini.
Ketiadaan kerangka teori juga membuat materi ajar pelajaran sejarah menjadi "kering" dan hanya hafalan yang membosankan. Padahal keberhasilan belajar-mengajar itu, kata Saefur, 50 persen ditentukan dari penguasaan materi. Di samping itu, pendidikan literasi dan karakter akan sulit tercapai apabila tidak didasarkan pada kerangka teori. Jadi, ia mengusulkan adanya penyusunan materi sejarah yang melibatkan sarjana multidisiplin. Misalnya dari latar belakang ilmu sosial dan ilmu agama.
Saefur mengatakan, belum adanya kerangka teori pada pelajaran sejarah juga menjadi tantangan bagi guru-guru. Agar siswanya tidak bosan, ia menyarankan para guru menulis ulang materi ajar yang sesuai dengan kerangka teori dan dilengkapi dengan sumber lain. “Apa yang disampaikan bukan hanya hafalan. Mungkin bab atau peristiwa yang disampaikan tidak terlalu banyak, tapi mendalam,” kata dia.
Direktur Sejarah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Triana Wulandari, menyampaikan bahwa penting mengajarkan mata ajar sejarah dengan cara yang kreatif dan menyenangkan. Dilansir dari laman Kemendikbud, Triana mengatakan, para guru, khususnya guru sejarah, dituntut untuk lebih kreatif. Sebab, perkembangan zaman yang makin modern akan mengubah pola pikir generasi yang sangat maju. Sehingga guru harus bisa mengimbangi pola pikir tersebut dengan memberi pelajaran yang lebih kreatif.
FRISKI RIANA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo