Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengapa Kinerja INA Menggaet Investasi Asing Tak Optimal

INA yang akan bergabung dengan Danantara belum optimal menyerap investasi. Masih berhadapan dengan kepercayaan investor asing.

10 November 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • INA baru mendatangkan investasi Rp 400 triliun.

  • Proyek yang ditawarkan INA antara lain pembangunan infrastruktur di daerah.

  • INA dianggap hanya menawarkan proyek sisa BUMN.

SETELAH empat tahun berdiri, Lembaga Pengelola Investasi Indonesia atau Indonesia Investment Authority (INA) masih mengejar target mendatangkan investasi ke dalam negeri. Ketua Dewan Direktur INA Ridha Wirakusumah mengatakan, hingga tahun lalu, pengelola dana abadi atau sovereign wealth fund (SWF) milik pemerintah itu membawa investor dengan komitmen investasi kumulatif US$ 25 miliar atau sekitar Rp 400 triliun. “INA menjadi satu-satunya SWF yang memfasilitasi berbagai inisiatif kebijakan dan mendorong kemajuan ekonomi,” katanya kepada Tempo, Kamis, 7 November 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INA, yang lahir pada 2021, bertugas mengelola investasi pemerintah pusat hingga menjembatani investor dari dalam dan luar negeri. Pembentukan INA merupakan mandat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan landasan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai modal awal, INA mendapat suntikan dana Rp 75 triliun dari pemerintah. Modal ini terdiri atas dana tunai Rp 30 triliun dan Rp 45 triliun dalam bentuk saham. Dari modal awal tersebut, total dana kelolaan atau assets under management INA bertambah dua kali lipat hingga Rp 163,41 triliun tahun ini. INA juga menyalurkan investasi Rp 50,1 triliun dengan porsi ko-investor Rp 18,8 triliun. “Kami menyalurkan investasi ke berbagai sektor strategis, seperti infrastruktur dan logistik, layanan kesehatan, digitalisasi dan infrastruktur digital, serta energi hijau,” ucap Ridha. 

Salah satu porsi portofolio INA di sektor infrastruktur dan logistik adalah Belawan New Container Terminal di Sumatera Utara. Terminal peti kemas ini adalah hasil kerja sama INA dengan DP World, perusahaan asal Dubai, Uni Emirat Arab. Di sektor energi hijau, INA mengambil bagian dalam penawaran perdana saham anak usaha Pertamina, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO). Pada Agustus 2024, INA bermitra dengan PT Pertamina Bina Medika IHC yang menjadi induk rumah sakit badan usaha milik negara serta Swire Pacific untuk mengoperasikan 37 rumah sakit dan 66 klinik di berbagai wilayah.

Yang teranyar, awal November 2024, INA menjalin kemitraan dengan perusahaan investasi multiaset Granite Asia. Kerja sama itu dirangkum dalam perjanjian kerangka kerja investasi atau investment framework agreement akselerasi transformasi digital dan dukungan pertumbuhan ekosistem teknologi di Indonesia. Total dana yang dialokasikan mencapai US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 18,9 triliun. 

Dari sisi peringkat kredit, INA sebagai SWF saat ini mendapat rating BBB (stabil) untuk peringkat internasional dan AAA(idn) untuk peringkat nasional dari lembaga pemeringkat Fitch Ratings. Ridha mengatakan peringkat ini menegaskan kelayakan dan kekuatan kredit INA di mata bank ataupun mitra investor potensial. 

Dalam laporan keuangan per Desember 2023, INA membukukan pendapatan Rp 5,4 triliun dengan laba bersih Rp 4,29 triliun. Labanya bertumbuh 64 persen dibanding pada tahun sebelumnya. “Ini melampaui target tahunan yang telah ditetapkan,” ujar Ridha. Perolehan keuntungan itu, menurut Ridha, antara lain ditopang pendapatan bunga yang berasal dari portofolio investasi dan aset treasury serta pendapatan dividen saham inbreng.

Meski jumlah dana kelolaan INA terus bertambah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira Adhinegara menilai realisasi penyaluran investasinya tak sebanding dengan komitmen modal yang terkumpul. “Seharusnya INA bisa menawarkan proyek-proyek yang menarik,” ucapnya.  

Menurut Bhima, INA perlu mengkaji ulang proyek-proyek strategis yang mereka tawarkan dari sisi komersial dan profitabilitas untuk menggugah investor. Selama ini, dia menambahkan, ada kesan proyek yang ditawarkan INA itu proyek "sisa" yang tidak diambil oleh badan usaha milik negara karena kurang menarik secara bisnis. "Padahal investor INA juga dikejar pemerintahnya masing-masing untuk mendapatkan imbal hasil yang tinggi.” 

INA juga akan terus berhadapan dengan isu kepercayaan investor. Menurut Bhima, kerumitan perizinan dan birokrasi hingga pembebasan lahan masih menjadi persoalan yang bisa mengurangi kepercayaan investor. Proyek penugasan seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara juga berpotensi memberatkan langkah INA karena dari sisi keuangan dan studi kelayakan kalah menarik dibanding proyek komersial. “Pada akhirnya, ini akan berpengaruh pada reputasi INA dan tingkat kepercayaan investor,” katanya. 

Penghimpunan investasi oleh INA, khususnya investasi asing, juga tak seperti yang digembar-gemborkan pemerintah. Ketika menjabat presiden, Joko Widodo yakin nilai penghimpunan investasi INA bisa lebih dari Rp 2.900 triliun setelah dua tahun beroperasi. “Perkiraan saya INA bisa meraup dana baik dari dalam maupun luar negeri,” tuturnya pada Februari 2021. 

Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance Andry Satrio Nugroho mengatakan konsep SWF yang seharusnya berfokus pada aset atau proyek bernilai komersial tinggi menjadikan arah pengembangan INA tersendat. Menurut dia, peran dan model bisnis INA harus diperkuat jika ingin menghasilkan dampak besar pada investasi nasional. “Arah pengembangan INA saat ini belum jelas, masih banyak terjebak proyek infrastruktur yang itu-itu saja,” ucapnya.

Pemetaan ulang portofolio dan arah investasi, Andry menambahkan, sangat mendesak agar komitmen investasi dengan para mitra dapat terwujud. INA secara spesifik menjembatani SWF negara-negara lain yang memiliki dana dan mengincar proyek strategis di Indonesia. “Program energi hijau bisa jadi andalan dengan orientasi bisnis yang jauh dari intervensi politik,” ujar Andry.

INA kini digadang-gadang turut mengambil bagian dalam skenario pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Kepala BPI Danantara Muliaman Darmansyah Hadad mengatakan ada rencana melebur INA dengan sejumlah BUMN strategis. “Ke depan, semua akan dikonsolidasikan ke dalam Danantara,” ucapnya. 

Merujuk pada dokumen konseptual BPI Danantara, konsolidasi semua aset tersebut berpotensi menghasilkan dana kelolaan hingga US$ 600 miliar atau setara dengan Rp 9.360 triliun (asumsi kurs Rp 15.600 per dolar Amerika Serikat). Jika terealisasi, capaian itu akan membuat BPI Danantara masuk jajaran lima teratas lembaga pengelola dana investasi dan dana abadi terbesar di dunia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kejar Setoran Dana Abadi"

Ghoida Rahmah

Ghoida Rahmah

Bergabung dengan Tempo sejak Agustus 2015, lulusan Geografi Universitas Indonesia ini merupakan penerima fellowship Banking Journalist Academy batch IV tahun 2016 dan Banking Editor Masterclass batch I tahun 2019. Pernah menjadi juara Harapan 1 Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan di 2016 dan juara 1 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Media Cetak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021. Menjadi Staf Redaksi di Koran Tempo sejak 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus