Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Politisasi Penahanan Tom Lembong

Penahanan Tom Lembong berbalut kejanggalan. Tanpa bukti korupsi yang cukup, politisasi lebih kental dibanding hukum.

10 November 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEJAKSAAN Agung tampak makin meninggalkan prinsip kesetaraan warga negara di muka hukum. Sejak pemerintahan Joko Widodo, lembaga itu sering menjadi “palu pemukul” buat mereka yang berseberangan dengan kepentingan pemerintah. Penetapan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong sebagai tersangka korupsi impor gula menunjukkan praktik itu berlanjut di era Prabowo Subianto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tom Lembong, Menteri Perdagangan 2015-2016, dianggap keliru mengimpor 105 ribu ton gula. Kejaksaan menganggap kekeliruan itu merugikan negara Rp 400 miliar. Nilai ini merupakan proyeksi keuntungan yang dinikmati delapan perusahaan importir. Seharusnya, menurut jaksa, keuntungan itu masuk ke kas negara jika pengimpor gula tersebut perusahaan negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asas kesetaraan tak terlihat karena jaksa membatasi pengusutan pada era Tom Lembong. Lembaga itu tak mempersoalkan kebijakan serupa pada periode lain. Di masa pemerintahan Jokowi ada enam orang yang menduduki jabatan Menteri Perdagangan. Selain Tom Lembong, ada Rachmat Gobel, Enggartiasto Lukita, Agus Suparmanto, Muhammad Lutfi, dan Zulkifli Hasan. Semuanya menerbitkan izin impor gula dengan jumlah bervariasi.

Jaksa juga tidak menggunakan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan secara utuh. Ikhtisar pemeriksaan pada 2017, di masa Rachmat Gobel, Tom Lembong, dan Enggartiasto, menemukan kesalahan impor gula sebanyak 1,96 juta ton. Di situ disebutkan impor gula tak diputuskan Kementerian Koordinator Perekonomian, tanpa persetujuan teknis Kementerian Pertanian, dan tak didukung data kebutuhan gula.

Tom Lembong disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dua pasal ini acap dipakai aparatur hukum untuk menjerat para tersangka yang dituduh melakukan korupsi dalam membuat kebijakan. Tuduhan dua pasal ini plastis: memperkaya diri sendiri atau korporasi karena jabatan dan kedudukannya yang merugikan keuangan negara.

Karena itu, jaksa belum secara gamblang membuka tuduhan dengan bukti-bukti cukup, misalnya aliran duit korupsi, sebagai alasan menahan Tom Lembong. Tak aneh jika kecurigaan muncul: jaksa sedang mencampurkan hukum dengan politik, sesuatu yang menjadi ciri khas pemerintahan Jokowi.

Tom semula masuk tim inti pemenangan Jokowi dalam pemilihan presiden 2014. Peran itu mengantarkannya ke kursi Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebelum menjabat Menteri Perdagangan. Dicopot dari kabinet pada 2016, ia bergabung dengan koleganya yang bernasib serupa: Anies Baswedan, Menteri Pendidikan Nasional di periode yang sama. Ia terus mendampingi Anies hingga menjadi calon presiden 2024.

Selama masa kampanye, Tom terlibat dalam perdebatan dengan tim Prabowo-Gibran Rakabuming Raka, anak Jokowi, terutama tentang penghiliran nikel. Gibran secara khusus menyebut namanya dalam debat calon wakil presiden pada 21 Januari 2024. Penahanan Tom Lembong adalah spekulasi bahwa proses hukum kepadanya tak lepas dari peristiwa-peristiwa politik itu.

Jaksa mesti menyiapkan bukti kuat dalam persidangan kelak. Jika hanya bersandar pada kesalahan prosedural, lembaga itu memang sedang menjadi alat politik penguasa. Apalagi jika tuduhan yang sama tidak diterapkan kepada menteri-menteri lain yang menjalankan keputusan impor dengan prosedur sama. Presiden Prabowo Subianto, sebagai atasan Jaksa Agung, semestinya memastikan politisasi hukum tak terjadi di zamannya.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ketidaksetaraan di Hadapan Hukum"

Artikel ini terbit di edisi cetak Saling Sikut Pembentukan Danantara di bawah judul Ketidaksetaraan di Hadapan Hukum

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus