JADI juga akhirnya kami menuju Isfahan. Naik taksi dari Teheran, setelah tawar-menawar cukup lama, saya berangkat bersama seorang siswa Indonesia yang sudah lebih dari enam tahun bersekolah di ibu kota Iran. Ia cakap berbahasa Persia. Ditambah dua penumpang lain: seorang pedagang antarkota dan seoran- pelukis grafis di sebuah penerbitan, yang mengisi waktunya dengan berkuliah di Universitas Teheran. Sopir taksi muda itu, Irfan namanya, telah membuat perjalanan 414 km itu hampir tak terasa hanya lima jam lamanya. Jarum penunjuk kecepatan, yang selalu saya intip, bergerak pada angka 90-120 km. Gila, memang. Jalanan yang kami tempuh memang sebuah highway delapan jalur. Tapi sama sekali tidak boleh dikatakan sepi. Dan sedan putih kami - sebuah Paykan, mobil produksi Iran yang bentuknya mirip Toyota Corona - tiba-tiba saja belok ke kiri (mobil di Iran berjalan di sebelah kanan) setelah memotong mobil di depannya tanpa sen. Lalu menyelusup mendahului tiga buah truk besar. Dua di antaranya truk trailer raksasa dengan 16 ban! Bayangkan: terlindas empat ban saja kami sudah akan....Tapi itu memang kebiasaan khas sopirsopir Iran seperti yang saya lihat: ngebut, dan hampir-hampir tanpa aturan. Kebiasaan lain, seperti yang juga disimpulkan Syu'bah Asa, teman seperjalanan yang waktu itu tetap tinggal di Teheran, adalah bicara bebas. Umumnya, orang Iran bersifat terbuka dan bicara bebas. Juga sopir ini. Ia berkeluh kesah tentang berbagai kesukaran yang dihadapi pada masa transisi itu, terutama yang menyangkut rezeki dari dunia penghamburan uang dan hiburan, terutama dari orang-orang asing, dulu yang sekarang semua berakhir. Tapi ia juga bilang, bersahut-sahutan dengan si pedagang dan kadang-kadang si grafikus, bahwa yang senang, dulu itu, sebenarnya hanya orang-orang kalangan mereka. Sekarang pun yang terutama susah hanya kalangan mereka. "Sekarang, meskipun jalannya pemerintahan belum sebagus yang kita harapkan, nasib kaum lemah diperhatikan pemerintah," kata si pedagang. "Imam itu seorang yang baik dan sangat sederhana. Anda boleh yakin itu. Orang-orang pemerintah sekarang dipilih dari mereka yang baik-baik." Dan tiba-tiba si sopir tancap gas, mendahului sebuah trailer. Kota demi kota, desa demi desa, melintas dengan cepat: Kahrizal, Hasan Abad, Aziz Abad, Ali Abad, Kush-E-Nosrat, Bager Abad, Hauzariye, Qom. Di persimpangan, sebelum masuk Qom, Paykan kami berbelok ke kanan, lalu ke selatan, menuju Neyzar, Abbas Abad, dan, akhirnya, Delijan. Di Delijan sopir menawari penumpang kalau-kalau hendak makan atau ke kamar kecil. Kemudian ia memarkir mobilnya di depan sebuah restoran. Jam tujuh petang. Hari memasuki senja, dan di mana-mana terdengar azan. Restoran di pinggir jalan cabang itu, di daerah dipadang pasir menjelang gelap, tak begitu ramai. Mereka agaknya hanya mengharap para musafir yang lewat dari atau ke kota-kota seperti Qom, Kashan, Mahallat, Golpayagan, dan Khomeyn. Yang terakhir itu, cuma sekitar 60 km dari Delijan ke barat daya, adalah kota kelahiran Ayatullah Khomeini. Di luar, suasana juga sepi. Hanya kendaraan ngebut, berseliweran, hanya debu-debu. Bangunanbangunan sekeliling restoran, dengan padang pasir terhampar dan lampu-lampu jalanan yang terang benderang itu, mengingatkan saya pada kota-kota kecil Jeddah-Madinah, Arab Saudi. Tak lama kemudian mobil berangkat lagi. Si sopir, seperti memberi komando, mengajak para penumpang membaca selawat nabi - persis ketika stater dinyalakan. Ini kebiasaan baru - setidak-tidaknya dipopulerkan sesudah revolusi. Dan sadarlah saya, perjalanan sudah separuh ditempuh. Dari jauh saya bisa melihat terangnya lampu sebuah kota, entah apa, yang cukup ramai. Dan Isfahan kini di depan mata. * * * Isfahan adalah gemerlapnya pirus di tengah pegunungan tandus. Sebuah oasis subur dekat Gurun Iran Tengah yang luas. Ia agaknya menjadi suatu pernyataan bangga seni manusia dan kebaktian pada penciptanya. Sebuah kota yang riuh di tepian Zayandeh-Rud (Sungai Pemberi Hidup) dan salah satu kota terbesar dan paling progresif di Iran. Kemegahan monumen-monumennya, kehijauan warna dinding kotanya, kebiruan warna kaligrafi dan inskripsi-inskripsinya, telah banyak ditulis oleh para penulis kisah perjalanan pada abad XVII dan XVIII dan dilukiskan dengan romantis oleh para pelancong yang berkunjung ke Isfahan dengan karavan-karavan terakhir. Isfahan, barangkali satu-satunya kota Parsi yang masih sejati, dibangga-banggakan oleh orang Iran sendiri sebagai nesf-e-jehan, "separuh dunia". Kota itu adalah ibu kota provinsi dengan nama yang sama, yang terletak di tengah dataran tinggi Iran, dan mendapatkan irigasinya dari Zayandeh-Rud yang berhulu di lereng Zagros bagian timur dan bermuara di rawa-rawa Gav-Khaneh. Ia berada di barat daya Oasis Besar, dekat sebuah bukit berbentuk aneh yang dikenal sebagai Kuh-e-Soffeh. Bukitbukit ini, yang menjulang setinggi 1.400 kaki, melindungi Isfahan dari angin selatan yang panas. Dan karena terbuka di bagian utaranya - Isfahan beruntung menerima angin utara yang sejuk. Letak geografisnya menjadikan iklim di provinsi ini beragam: distrik bagian barat cukup dingin dan berselimut salju pada musim dingin, sementara distrik-distrik sebelah timur - dengan keluasan pandangannya yang terbuka lebar - hampir tak pernah disentuh hujan, melainkan panas menyengat. Isfahan rupa-rupanya penting sebagai pusat pertanian. Masyhur dengan buah-buahan, sayur, biji-bijian, serta produk olahan biji-bijian. Juga menjadi semacam pusat pabrik tekstil terbesar di Iran yang terkenal dengan kapas dan wolnya itu. Banyaknya kerajinan rakyat menjadikan Isfahan riuh dan semarak. Dengan dampingan kota-kota satelit di sekelilingnya, pada tahun 1978 - menjelang revolusi Isfahan dihuni lebih dari 500.000 orang termasuk 3.000 Yahudi dan 8.000 Armenia. Provinsi Isfahan sendiri, menurut data statistik terakhir (1984), berpenduduk 2.770.000 orang. Sejarah kota ini bermula dari legenda-legenda sejak 3.000 tahun silam. Konon, ia dibangun oleh Tamureh, yang berhasil membunuh raksasa Div. Nebukadnezar, kaisar Assyria, pada sekitar 700 SM mengirim satu suku Yahudi ke sini. Dan, menurut Sejarawan Strabo, letak Kerajaan Achaemenia yang disebut sebagai di Gabae, bagian utara Persia mungkin sebenarnya di Oasis Isfahan ini. Tapi sejarah tentang waktu yang jauh itu, sampai abad ke-2 Masehi, tak banyak diketahui. Referensi pertama yang didapat adalah dari periode pemerintahan raja terakhir, Parthi Artabanos V (219-224 M), ketika Isfahan disebut-sebut dalam Karnamagh-e-Ardeshir-e Papakan, suatu karya epik yang ditulis dalam bahasa Pahlevi. Isfahan lalu menjadi sebuah provinsi dalam kerajaan Parthi. Berbagai mata uang dari periode Sasan (224-642 M), berhuruf ASP, mungkin menunjukkan nama kota pada masa itu: Aspahan atau Sepahan - yang artinya "kaum militer". Mungkin karena letak kota ini strategis, ia dijadikan kota garnisun. Setelah perjuangan empat tahun, Isfahan diduduki kaum Muslimin pada 643 M. Lalu pemerintahan Arab Bani Umayah dan Bani Abbasiah sempat membangun kota ini sampai 930 M. Selama abad ke-10 Isfahan diperintah oleh dinasti-dinasti lokal dimulai dari Mardaviuj, dari Dinasti Buwayiah yang mula-mula merebut kota ini pada tahun 931 dari Dinasti Abbasiah? Kota yang kemudian masyhur dengan tenunan kapas dan sutera serta jadi pusat perdagangan ini berada di bawah Dinasti Buwayiah sampai satu setengah abad kemudian. Kota satelitnya, Jay, mempunyai sebuah benteng yang bernama Saruq - yang dibangun sebelum banjir zaman Nabi Nuh, menurut kisah. Buwayiah digantikan Dinasti Kakuyah yang juga asli Persia. Ala-ed-Dowleh, penguasa pertama Subdinasti Kakuyah, merevisi dinding-dinding kota. Masa kaum Kakuyah ini singkat saja. Pada 1051, Seljuq Toghrol Beyk merebut Isfahan dan menjadikannya ibu kota kerajaan yang tumbuh pesat. Kota ini mekar makin indah di bawah kemurahan hati sultan ini serta kedua penggantinya: Alp Arsalan dan Malek Shah. Pada masa ini titik pusat Isfahan adalah sebuah plaza di utara. Sedangkan di utara plaza berdiri Masjed-e Jom'eh yang berhadapan dengan Masjed-e Ali yang kecil menaranya. Di timurnya berdiri istana imperial itu. Masa Seljuq rupanya merupakan awal kemegahan Isfahan. Ini - setidaknya - terbukti dari arsitektur bangunan dan banyaknya monumen di tengah dan pinggir kota. Ketika tentara Mongol datang, mereka dicegat di batas kota oleh tentara Jalal-ed-Din-e Kharazm Shah. Tapi, setelah bertempur sengit, tentara Mongol akhirnya unggul. Jadilah Isfahan bagian kerajaan Mongol alias Khan ll. Lalu, sebelum Timurleng sempat merebut Isfahan (1388), kota ini sempat dikuasai kaum Mozaffari sejak 1354. Timurleng lalu membebaskan kota dan penduduknya - tapi, ketika penduduk bergolak, ia membuat ketat lagi kekuasaannya atas Isfahan. Lalu membantai - konon - tak kurang dari 200.000 jiwa, kemudian membangun piramid dari tengkorak korban-korban itu. Pada masa Timurleng ini tak ada polesan kecantikan terhadap kota sedikit pun, dan orang-orang Timur juga gagal memulihkan depresi ekonomi ciptaan katalisme Mongol. Baru di bawah penguasa Safavi - abad ke-16 Isfahan kembali jadi pusat perdagangan, kultur, dan manufaktur yang besar, seperti pada masa sebelumnya. "Periode Safavi merupakan suatu tonggak baru sejarah negara kami," kata Bagher, sopir taksi Isfahan yang menemani kami ke beberapa tempat bersejarah di kota. Maklum, inilah dinasti Syiah yang pertama, yang mengubah Iran - yang sebelumnya terkenal dengan para ulamanya yang besar, seperti Al-Ghazali, dan para penyair serta pemikir, yang semuanya Suni - menjadi negeri Syiah sampai kini. Pendiri dinasti ini adalah Syah Abbas - "Syah Abbas Agung, salah seorang raja termasyhur dalam sejarah Iran, banyak sekali andilnya dalam memakmurkan negeri yang selama berabad-abad belum pernah dirasakan rakyatnya," kata Bagher bagai berpropaganda. Tahun 1598 Syah Abbas Agung menjadikan Isfahan ibu kota kerajaan Iran. Ia kembali menyatukan Persia dan mendirikan sebuah kemaharajaan yang besar. Jarang penguasa Iran meninggalkan monumen bersejarah sebanyak raja ini - yang mencurahkan tenaga membangun tempat-tempat, masjid-masjid, karavan serai-karavan serai, istana-istana, dengan antusias. Pada awal abad ke-17 Isfahan mungkin merupakan kota paling cantik di dunia, dan makmur. Semua raja Safavi, setelah Syah Abbas, turut pula memberi andil menambah keindahan kota. Terutama Syah Safi (1629-1641), Syah Abbas II (1641--1666), dan Syah Soleyman (1694--1722). Pada tiap puing benda sejarah kita mungkin tertegun, merasakan suatu jejak masa silam yang hilang - semakin hilang. Isfahan pun menjadi semacam puing: karena kelemahan penguasa terakhir Safavi, Isfahan diinvasi penyerbu dari Afghan pada 1722. Sejak itu Isfahan - konon - tak pernah pulih kembali. Orang Afghan dihalau oleh Nader Shah, jenderal kenamaan Iran, 1747 - yang kemudian menjadikan Masyhad sebagai ibu kota negara. Belakangan, oleh kaum Zand (1750-1796) dan kaum Qajar (1796-1925), Isfahan cuma dijadikan sebuah kota provinsi. Begitulah. Baru pada Dinasti Pahlavi (1922) banyak perhatian diberikan pada kota antik ini. Dan kemudian bangkitlah revolusi. * * * Kami memasuki kota itu pada pukul 23.00. Turun dari taksi antarkota, kami mencari taksi lain yang boleh mengantar ke hotel. Saya ajak kawan saya jalan-jalan di seputar hotel, melihat Isfahan malam hari. Kota sudah menyepi, lalu lalang bisa dihitung dengan jari. Pejalan kaki agaknya cuma kami sendiri. Dalam situasi begini, kota itu mirip kota-kota besar kita yang lain. Kebisingan revolusi sudah lama surut, dan malam makin temaram. Pukul 24.00 lebih 45 menit kami memutuskan kembali ke hotel dan tidur. Esoknya, perjalanan keliling kota dengan jalan kaki (taksi, yang jumlahnya terlalu banyak untuk kota sebesar Isfahan, hanya kami pergunakan untuk jarak jauh) kami tujukan mula-mula ke Maydan-E-Shah. Di jalan, banyak terlihat arsitektur dan suasana yang memberi kesan adanya cita rasa seni pada penduduk di sini. Setidak-tidaknya, bangunan-bangunan masa silam seakan menempati posisi yang tepat - atau yang baru itulah yang ditata di tempat yang semestinya: keseluruhan wajah kota tidak terganggu. Meski musim kemarau, Isfahan tidak sepanas Teheran, atau Qom, atau Ahvaz, atau Pulau Majnoon. Pantas jika dulu ia menjadi ibu kota beberapa kerajaan. Pegunungan yang menghadap kota, lingkungan pastoral pedesaan, dan bandar udara modern di dalamnya, menjadikan ia suatu bunga cantik - dengan warna-warna pirus dan biru yang bersaing dengan bayangan lebatnya dedaunan pohon-pohon tua, disertai desain mosaik yang tajam. Tak terlalu lama, Maydan-E-Shah telah di hadapan kami. Lapangan empat persegi panjang yang besar ini dibangun oleh Syah Abbas Agung untuk pertemuan para penguasa, tempat upacara dan turnamen, pasar, dan sekaligus arena pertandingan polo. Napas saya seperti berhenti sejenak. Saya sudah melihat banyak bangunan indah di dunia, di Versailles (Prancis), Inggris, Swiss, Belanda, Belgia, Spanyol dengan Andalusianya, Marokko. Rasanya yang ini benar-benar berbeda. Medan ini dikelilingi dinding-dinding bersambung yang berpucuk rata dari dua arkade, dengan pertokoan dan bazar di bawahnya serta relung-relung paster di atasnya. Irama dan kesahajaan serialnya impresif sekali: ditentangnya suatu drama urban menara-menara dan kubah-kubah. Di pucuk tembok datar ini tersembul bukit-bukit merah cokelat bergerigi, dan di sisi pintu Bazar Qaysariyeh ada tiga bangunan yang menyembul dari tembok empat-segian ini. Pada kemilau tenggara tampak empat menara dan kubah biru Masjid Syah Agung. Di baratnya adalah istana raja, Ali-Qapu, sedangkan di timur adalah Masjid Syekh Lotfollah yang berukuran agak kecil. Kesemuanya menghadap lapangan. Masjid Syah mendominasi panorama portal raksasanya diapit menara yang berhadapan dengan pintu gerbang bazar yang kecil. Masjid Lotfollah tegak menantang, tanpa pelataran, tanpa menara. Hanya dengan sebuah kubah yang begitu dekoratif ia menjulang seperti melambai kepada para pengagum keindahan. Semua monumen ini, yang dibangun 40 tahun sebelum Versailles, terasa bertata seimbang, serasi. Agaknya sulit memahami fungsi persegian (alun-alun) ini bila tidak membayangkan para anggota istana, dengan topi-topi tinggi, melonjak-lonjak di punggung kuda bermain polo. Panjang alun-alun sekitar 500 meter, lebar 150 meter, tujuh kali Piazza San Marco di Venesia. Ketika Syah Abbas Agung memindahkan ibu kota kekaisarannya ke Isfahan, ia sudah memiliki taman ini. Disebutnya sebagai Naqsh-e-Jehan (Imaji Dunia). Makin lama alun-alun ini makin ramai: menjadi pusat kota, dan arkadenya digunakan kaum pedagang dan para mullah. Raja pun memakainya untuk menjamu tamu dan dutaduta asing, setelah sebelumnya menambahkan bangunan bazar dan masjid kerajaan. Kami memasuki Masjid E-Shah, yang sekarang dinamakan Masjid Imam. [Maydan-E-Shah sekarang juga disebut dengan Maydan Imam, sehubungan dengan pergantian pimpinan utama Iran, dari seorang raja (syah) ke seorang imam]. Masjid ini terletak di ujung alun-alun. Masuk ke gedung besar itu kami merasa tak boleh melewatkan dinding bagian depan gedung yang terdiri dari ubin polikrom berkilat. Lengkung portal iinggi ini diapit dua menara vertikal. Dalam kemilau matahari, hanya jalan di pintu tengah portal yang terlihat terang. Waktu memasukinya, saya berharap menjumpai ruangan terbuka. Tapi, setengah terkejut saya mendapati diri kami justru berada di bagian belakang masjid. Saya kini bisa membayangkan, di depan saya pasti orang sedang sembahyang membelakangi tiap orang yang baru masuk seperti kami. Ini ruparupanya memang sudah diatur: hingga jemaah yang baru masuk sudah menghadap langsung lurus ke Mekkah, ke kiblat. Dan untuk itu kami harus mengikuti kelokan 45 derajat, sebagaimana belokan yang kelak kami lewati di Masjid Syekh Lotfollah. Ruang depan Masjid Imam ini berkubah, dan berfungsi sebagai kisaran ruang, menghubungkan ruang bagian muka dengan ruang terbuka bagian dalam yang besar yang berada di sebelahnya. Saya mendapat kesan, manuver sulit ini telah ditangani secara brilyan, hingga tampak lebih sempurna dan memperindah sebuah aksial yang agak terang yang berakhir di persegian (alun-alun). Agaknya ini sebuah contoh bagus bagaimana desainer mengubah situasi kikuk menjadi enak. Masjid Syah merupakan sebuah permata arsitek-tur Persia suatu contoh seni Iran dari zaman Dinasti Safavi. Dua menara pada portal utara dan kubah yang tinggi (170 kaki) menjadikannya mendominasi tidak saja pemandangan persegian alun-alun, melainkan juga pemandangan dari jauh, dari batas kota. Belakangan saya baru yakin bahwa sudut penglihatan yang terbaik ke arah masjid ini adalah dari Ali-Qapu. Dibangun dalam waktu sekitar 18 tahun Masjid Syah menjadi contoh jarang kemegahan gedung-gedung Iran. Dalam empat tahun, (sejak 1612), baru portal yang selesai. Raja pun memerintahkan agar pembangunannya dipercepat, tapi baru pada 1629 - hampir 18 tahun kemudian masjid ini selesai. Tahun itu pula kekuasaan Syah Abbas habis. Portal masuk yang besar ini berada satu deretan dengan garis persegian alun-alun dan simetris dengan jalan di pintu bazar di seberang depannya. Portal ini termasuk paling banyak hiasannya dan - konon merupakan buah karya paling sukses Dinasti Safavi. Pondasi-pondasinya terbuat dari lempengan-lempengan marmar putih besar-besar yang didatangkan dari Ardistan, 180 km dari Isfahan. Di atasnya mosaik-mosaik putih, biru, dan biru-hijau (warna pirus Persia) kemilau berdesain geometris menakjubkan, ditambah dekorasidekorasi panjang yang melintangi dinding serta berbagai inskripsi buatan para kaligrafer tenar pada zamannya. Lewat pintu lain, pintu ke-2, kami mencapai ruangan dalam masjid. Di sini tampak sebuah mangkuk marmar yang bagus, tepat di bawah sebuah kubah kecil. Dua koridor berkelok-kelok menghubungkan ruang ini dengan ruangan lain yang terbuka dan memiliki gaya Iran klasik: sebuah persegian (kotak) untuk berwudu berada di tengahnya. Dalam kotak berair ini polychrome-polychrome terefleksikan, juga empat ivan pada keempat sisinya. Ivan-ivan timur dan barat dibuat dengan rencana yang persis sama. Keduanya berada dalam beranda besar yang berlengkung ogival. Semua permukaan yang tampak terdiri dari marmar besar berlapis ubin dengan motif flora - warna birunya paling dominan. Di situ juga terdapat lengkung stalaktit bercorakkan geometris. Ivan yang di selatan tampaknya yang terbagus - diapit dua menara menghadap ruangan suci dan berhubungan dengan aula-aula salat yang besar pada tiap sisi mihrab. Tiap aula juga memiliki mihrab yang, tentu saja, menghadap ke Mekkah. Aula salat terbesar diatapi sebuah kubah rangkap yang, di luar, tingginya 170 kaki, sedang yang di dalam 121 kaki. Saya menuju ke mihrab utama di bawah kubah itu, lalu bertepuk tangan tiga kali. Tepukan itu bergema tujuh kali lipat - menjadi 21 tepukan, di seluruh masjid. Teman saya berteriak, "Hidup Indonesia!" tiga kali. Dan, gema di seluruh masjid menggaungkan teriakan "Hidup Indonesia" 21 kali. Apa arti gema ini, secara mistis? (maklum, kita 'kan suka menghubung-hubungkan apa-apa dengan yang mistis). Ternyata, sulit sekali mencari artinya, meski saya sudah mencoba bertanya pada orang-orang Iran yang kami jumpai, termasuk si juru kunci. Mata kami lalu tertuju ke dekorasi interior kubah. Begitu mewah - dengan desain floral emas, kuning, dan putih berlatar belakang biru. Lagi-lagi biru. Biru Persia. Di puncaknya terdapat sebuah bintang keemasan besar, yang - hampir sukar dipercaya tinggi, bermandikan biasan sinar surya musim panas yang masuk lewat aula salat musim dingin. Kubah ini bertengger di atas sebuah leher bulat dan juga tinggi, diterangi jendela-jendela dengan pilahan-pilahan mewah. Kecuali sebuah rentangan sempit berwarna biru laut dengan huruf-huruf hiasan, kubah ini berlapiskan batu merah mengkilap dengan dasar warna pirus, gemerlap dalam sinar surya. Aula tengah (utama) itu memberi kesan semarak terang, pasti karena banyaknya bukaan dan relung. Ini setidaknya bisa jadi masterpiece desain, karena kekuatan dan kemantapan garis-garisnya yang berpotongan apik. Hampir bisa dipastikan bahwa tiap pengunjung akan kagum oleh keserasiannya. Kami berdua sempat saling pandang di aula ini: kawan saya memandang saya, saya memandang dia. Saya bisa mendengar dia bergumam pelan, "Masya Allah." Kami lalu sampai ke aula salat musim dingin di sebelah timur - sebagaimana yang di barat - yang dibuat dengan tiga jajaran lima tiang segi delapan, dan di atasnya bertengger kubah-kubah kecil. Di tengah aula barat ada sebuah baskom (basin) besar terbuat dari perunggu yang bagus. Masjid keraton ini mempunyai dua madrasah. Para pelajar dapat tinggal di ruangan seputar ruang terbuka bagian tengah. Di bagian tenggara, salah satu tempat pondokan para siswa, ubinnya kemilau dengan warna biru dan emas yang ceria, juga dindingnya selain terbelah lengkung-lengkung lancip. Di sini terasa sekali suasana damai, juga ketenangan masa lalu. Menurut legenda, konon, Syah Abbas sempat terpengaruh gosip orang-orang Isfahan. Yakni bahwa masjidnya tidak menghadap ke Mekkah - suatu kesalahan yang bukan main fatalnya bagi sebuah masjid. Ia pun memanggil arsiteknya, Syekh Bahai, untuk memastikan benar tidaknya gosip itu. Syekh Bahai lalu meng ajak Syah Abbas ke mihrab di bagian utama ruang salat, lalu membuka jendela kecil di dinding, lalu, lalu ... memperlihatkan Mekkah kepada Raja. Kami berjalan ke luar. * * * Melewati beberapa toko di pinggir medan, di luar, sering kami berhenti karena tertarik pada suvenir yang dijajakan di bagian luar bazar itu. Mulai dari meja perak berukir ayat Quran atau inskripsi lain, hiasan dinding dari logam atau kulit, sampai pakaian khas Iran seperti yang juga banyak digantungkan di etalase. Di situ juga ada Muhammad Ali, 32 tahun, yang bersemangat menyatakan mendukung revolusi sambil mengetuk-ngetukkan palunya ke lempengan logam. Ia pengukir perak yang bekerja di depan kiosnya. Trotoar bagi pejalan kaki cukup besar, sehingga sebagiannya masih sempat dipakai para penjaja kaki lima yang kebanyakan juga menjual barang suvenir. Yang menarik, mereka banyak menjual lukisan bukan saja pemandangan, melainkan juga lukisan para tokoh pemimpin agama, seperti Khalifah Ali atau Sayidina Husain putra Ali, cucu Nabi saw. Dua-duanya itu dianggap orang Syiah sebagai imam mereka yang kesatu dan ketiga. Cara pelukisan pemimpin keagamaan begini memang tidak lazim di kalangan kita. Di trotoar itu orang berlalu lalang: sebagian membawa anak-anak mereka, sebagian lagi - yang mirip para petani atau buruh kasar - membawa sepeda, berjalan sekitar alun-alun. Beberapa sepeda tampak diparkir di depan dua - tiga toko - mungkin milik para pedagang. Di sebelah sebuah toko terdapat restoran kecil yang menjajakan penganan khas Iran, dan di depannya tampak satu keluarga sedang makan beramai-ramai: dua orang ibu bersama tiga anak lelaki. Mereka menempati bagian tepi trotoar, ke arah taman di tepi jalan aspal alun-alun, hingga dengan demikian mereka tak terganggu pejalan kaki yang lewat sekitar toko. Setelah minum es blewah segar (minuman perasan buah dijual di trotoar di seluruh kota Iran), kami masuk toko-toko suvenir itu. Ternyata, barang-barang tak semahal yang kami perkirakan, meski tidak semuanya murah. Tentu saja yang termahal adalah karpet. Permadani (karpet) Isfahan ini termasuk yang paling bagus dan paling banyak dicari karena desain, warna, dan keindahannya, di samping permadani daerah Bakhtiari yang juga banyak dijual di sini. Jangan coba tanya harganya apalagi yang dari sutera. Permadani sutera sebesar sajadah (tikar salat) saja bisa mencapai harga setengah juta rupiah atau lebih. Orang Persia adalah seniman alami. Dunia tahu bahwa hampir tidak ada sutera, beledu, permadani, tekstil, kerajinan buku dan miniatur, kerajinan ubin, belanga, mosaik emas dan perak pahatan, yang sebagus buatan para perajin Persia. Dan, banyak dari keberhasilan seni Persia itu yang dicerminkan oleh dan dihasilkan di Isfahan. Sering saya mendengar nasihat orang di Teheran, tak usahlah membeli suvenir di Teheran atau kota lain carilah di Isfahan. Lukisan tangan Isfahan, misalnya, dibilang khas. Kain-kain yang dilukis biasanya digunakan untuk pakaian wanita, taplak meja, atau seprai. Di Teheran pernah juga kami membeli yang mirip ini, tapi ternyata, setelah kami sampai di Isfahan, lukisannya jadi berubah buruk. Yah, seperti batik Indonesia saja. Ada batik halus buatan Solo, ada batik halus Pekalongan, toh orang sering memilih batik printing (sablonan) yang dikira bagus. Selain itu, di Isfahan juga terdapat ukir-ukiran, kerajinan perak, emas, dan sokmeh douzi, sulaman yang pelik. Sokmeh douzi ini, pada kain dari kapas atau tenunan lain, sering dipakai untuk taplak meja atau semacam tikar, merupakan karya spesifik lsfahan dan contoh yang bagus kecakapan kerajinan para wanita kota ini. Malah, belakangan baru kami tahu bahwa Isfahan juga terkenal dengan kerajinan email dan intannya. Workshop- nya terdapat di jalan besar Chahar Bagh Avenue, selain di pertokoan dekat Bazar. * * * Tak terlalu jauh dari Masjid Syah, sekitar 50 meter, kami sampai di depan Masjid Syekh Lotfollah. Di pintunya kami berjumpa dengan tiga turis Inggris, seorang lelaki dan dua wanita. Keduanya berkerudung, meski tak terlalu rapat. Bisa ditebak, mereka tak begitu senang dengan kewajiban berpakaian begitu, tapi apa daya - itu sudah menjadi peraturan sekarang. Bahkan, ketika terjadi pembajakan pesawat Air France di bandar udara Mehrabad, Agustus lalu (yang cockpit- nya diledakkan itu), para sandera wanita yang dibebaskan baru boleh turun menuju hotel setelah dipinjami pakaian muslimah. Masjid Syekh Lotfollah, yang berhadapan persis dengan Istana Ali Qapu, dibangun pada masa Syah Abbas 1. Ini satu-satunya masjid di Iran yang tidak memiliki menara dan pelataran. Dengan warna kubah yang cantik dan tidak lazim - yaitu merah jambu - bangunan ini adalah masjid pribadi keluarga keraton. Syekh Lotfollah sendiri seorang pemimpin keagamaan istana Safavi. Warna kubah tadi telah ditambahi - oleh para seniman kerajaan - dengan hiasan arabesque dan bebungaan biru dan hitam yang indah. Desain jalinan tetumbuhan dan dedaunannya - dalam bentukan geometris - tampak begitu serasi. Pengaruh utama masjid ini memancar dari kubah tadi, yang terbuat dari ubin tanpa rengasan (sepuhan), bening seperti kaca, dikombinasi dengan ubin tersepuh, hingga seluruh kubah bergemerlapan dalam sinar matahari. Kami masuk ke masjid lewat sebuah jalan pintu berlengkung dengan bentuk semikubah yang berhiaskan lengkungan-lengkungan stalaktit bermosaik biru dan kuning. Ruangan tengah yang berkubah hanya bisa dicapai lewat jalan mirip terowongan yang berkelok dua kali, dan sengaja digelapkan dan dipilahkan dari dunia luar. Ruangan utama masjid yang - konon - terindah di dunia ini (jadi bukan Masjid Syah yang tadi) memang mengesankan sekali. Kubah luar ruangan itu memiliki approach yang berliku-liku - dan berfungsi menyelaraskan arah masjid dengan Mekkah karena tubuh masjid ini memang tak begitu terarah. Ruangan salat utamanya kecil saja, tapi mirip permata bagi seni mosaik dinding gaya Isfahan. Dekorasi tembikarnya merupakan sebuah keunggulan kesucian, cita rasa, dan proporsi. Jelas sekali materialnya yang berkualitas prima, dengan warna-warna yang sungguh serasi. Keseluruhan dindingnya dilapisi permadani hias yang megah berdesain sepuhan geometris atas dasar hijau kebiruan. Dan, semuanya ini diperindah dengan kaligrafi putih yang bagus - ciptaan kaligrafer Persia termasyhur, Ali Abbasi - yang melingkari bagian bawah dan atas leher kubah. Mihrabnya bertuliskan nama arsiteknya: Ustaz Mohammad Reza, putra Ustaz Husein, tahun 1028 Masehi. Kalau Masjid Syah mengesankan karena besar dan tingginya, maka masjid kecil ini menggugah jiwa karena keapikannya. Sinar matahari yang masuk melalui jendela pahatan indah di leher-lehernya itu menerangi seluruh bagian dalam masjid secara berirama. Dari aula salat musim panas di sebelah selatan, kami melihat bahwa ternyata masjid ini secara keseluruhan berbentuk seperti telur - yang juga menambah mantapnya kubah besar masjid. * * * Kami menyeberangi taman alun-alun menuju Istana Ali Qapu. Di taman ini beberapa keluarga duduk-duduk sambil makan-makan, sedangkan anak-anak lelaki tampak asyik mandi-mandi di kolam tengah taman. Taman inilah yang dulu dipakai untuk arena pertandingan polo kuda, sementara keluarga Raja memandang dari pelataran Istana. Ali Qapu, menurut bahasa Persia berarti Gerbang Tinggi atau Pintu Mulia, didirikan oleh Syah Abbas Agung pada awal abad ke-17, dan diperindah oleh para penggantinya. Di sebuah taman yang luas, antara Maydan-e-Shah (alun-alun Raja) dan Chahar Bagh, areal ini dulu terlarang bagi orang biasa. Ia merupakan pintu gerbang seremonial Istana kekaisaran Syah Safavid dan sekaligus tribun untuk menonton aktivitas di bawahnya. Tribun itu sendiri ada - menjorok ke depan, tak seperti pintu masuk gedung-gedung lain yang justru terceruk ke dalam. la berdiri anggun bagai sosok yang hidup di angkasa. Sebelum menaiki Istana lewat tangga spiralnya, kami masuk lewat sebuah ivan besar yang merupakan pintu keluar-masuk bagian depan. Di ujung ivan ada sebuah pintu bekas pavilyun Timurleng, dihiasi dengan ubin tanah liat yang kemilau, yang oleh orang Persia disebut kashis. Dasar istana ini, yang berbentuk kubus, tampak kontras sekali dengan bentuk lekukan kosong platform tontonan (talar) alias tribun raja di atasnya. Masih di lantai dasar, kami mendapati beberapa ruangan seperti ruangan tempat raja mengambil keputusan dan tempat para pengawal. Lalu kami, dan para pengunjung lain, menaiki tangga satu-satu dengan anjakan besar dan berlipat kecil, berkelok-kelok sampai di Talar. Dari sini tampak jelas pemandangan kota. Mata lepas menerawang ke kejauhan tak terhingga, memandangi hijaunya pegunungan dan birunya bangunan di hampir seluruh bagian kota. Kebiruan ciptaan manusia itu seakan bersaingan dengan birunya langit musim panas tanpa awan. Alun-alun raja beserta bangunan-bangunannya di bawah Istana tentu saja tampak paling jelas, len-kap terlihat dari ketinggian 40 kaki. Ali Qapu memilik banyak ruangan, kamar dan misykat (alcove, ruangan kecil dalam dinding) serta koridor. Raja sendiri - konon - dulu sering duduk di teras besar, sementara para wanita melihat dari balik ruangan dengan jendela berkerai. Di bagian lain terdapat ruang tahta raja dan beberapa ruang hiburan. Banyak bagian gedung yang telah rusak dimakan waktu. Ada juga tanda bekas tambahan, mirip semen, yang agaknya dipakai menjaga sedapat mungkin keutuhannya. Beberapa ruang yang tampak ketika menaiki tangga spiral- tadi, misalnya, sudah banyak yang agak parah - setelah runtuhnya Dinasti Safavi. Tapi dekorasinya masih baik, porselen-porselennya masih ada, juga lukisan dinding dan plester yang beraneka warna. Teras istana dihiasi dengan kayu tatahan dan logam mulia, sementara atap talai ditopang tiga jajaran tinggi tiang kayu yang bagus dan pasti mahal. Di tengah teras terdapat sebuah kolam persegi panjang, dengan tepian terbuat dari jaspers, aneka quartz yang berwarna gelap. Dulu di situ terdapat tiga air mancur yang dijalankan mesin hidraulis hasil tarikan lembu jantan. Sebetulnya, yang termegah adalah ruangan tahta - lanjutan teras besar tadi - yang digunakan Syah Abbas terutama untuk menyambut tamu atau duta negara asing. Beberapa lukisan yang dicipta pada tahun 1644 masih terpelihara baik, khususnya di langit-langit, dengan gambaran burung-burung yang cantik. Beberapa ruangan lain, seperti kebanyakan ruang di istana ini, masih memiliki bekas hiasan di dinding atau lantainya. Konon, ruangan-ruangan itu dulunya berwarna merah, putih, biru, dan emas, sementara dindingnya lebih banyak berlukiskan padang dan suasana perburuan, dan lantainya berkarpet sutera atau emas. Beberapa ruangan berjendela-jendela, menghadap ke ruang tahta. Hiasan ruang musik, di bagian atas, tampak begitu murni dindingnya memiliki lukisan dan relung yang agak ganjil - pernah dipakai untuk meletakkan labu dan kendi minum yang terbuat dari emas atau batuan mulia lain, yang selalu dicampur mutiara. Puas berkeliling dalam bangunan bekas istana itu (sambil sesekali mengkhayalkan diri menjadi pemiliknya), kami keluar, ke Bazar, turun lewat jalan yang sama - tangga spiral tadi. * * * Masuk Bazar, situasi benar-benar berbeda. Meski ada lampu listrik, sesungguhnya cahaya yang dominan datang dari lubang-lubang di atas, tempat mentari meneroboskan sinar. Bazar Isfahan memang masih tetap tradisional, sedikit berbeda dari Bazar Teheran. Kabarnya, listrik baru masuk ke Bazar sekitar lima tahun lalu. Saya sungguh tak bisa membayangkan keadaan-nya sebelum berlampu - sebuah dunia yang gelap dan dingin, seperti kaleidoskop suara dan bebauan. Teriakan-teriakan para kuli dengan gerobak dorongnya mengingatkan saya pada situasi pasar Tanah Abang atau Pasar Ikan, Jakarta. Aroma bumbu, kulit, roti, dan daging panggang merambat ke mana-mana. Ada susunan delima merah tua, juga gula-gula merah jambu seperti ular, juntaian tenunan yang dikeringkan, dan sebagainya. Bazar ini merupakan organisme hidup yang ditopang rute-rute suplai dari sekelilingnya. Kerajinan dari pedesaan, dari gurun-gurun terpencil, bahan mentah, kulit, kapas wol, logam, selama berabad-abad senantiasa tersedia di sini - juga bahan-bahan dari Laut Kaspia di perbatasan Rusia ataupun Teluk Persia. Kesemuanya didatangkan lebih banyak - juga secara tradisional: dengan keledai, unta, kereta bagal, melewati jalan tunggal yang besar dan diapit dinding batu merah yang tinggi yang menuju ke serai-serai (gudang-gudang). Bazar Qaysariyeh Isfahan ini selesai didirikan pada 1617, lengkap dengan portal monumentalnya dan beberapa kubah pada tiap persimpangan jalan. Di atas jalan beratap melengkung ada sebuah lukisan dinding yang sudah rusak parah menggambarkan peperangan Syah Abbas dengan orang-orang Uzbek . Makanan di restoran di pinggir jalan besar Chahar Bagh sebetulnya tak begitu enak. Tapi, karena perut sudah menagih, ia kami sikat bersih. Jalan Chahar Bagh sendiri, di luar Bazar, merupakan jalan terpanjang di Isfahan dan cukup ramai. Pepohonan di tepinya rindang sekali, mirip jalan Ganesha atau Cipaganti di Bandung. Empat jajarannya paralel merentang sama panjang - ke utara dan selatan diukur dari Sungai Zayandeh Rud masing-masing (ke utara ataupun selatan) 4 km jauhnya. Bagian tengah jalan ini - lengkap dengan tamannya - digunakan bagi pejalan kaki, dan di bawah tengahnya terdapat sebuah saluran air diselang-seling saluran air lain. Pada tiap sisi, kendaraan berjalan berlawanan arah, masing-masing dengan tiga jalur. Sepan jang jalan itu masih terdapat setidaknya 20-an pavilyun kuno, tapi tercampakkan dan hampir punah. Di beberapa bagian jalan orang berhenti, mengambil minuman pada sebuah bangunan dari seng mirip kios rokok yang di dalamnya berisi air es. Minuman gratis itu disediakan pemerintah pada tiap musim panas, di setiap penjuru kota. Ini, setidaknya, mirip kendi-kendi yang banyak terdapat di Solo, yang disediakan pemilik rumah (wong Solo) tempat kendi itu diletakkan. Tiba-tiba perjalanan tersentak, ketika di hadapan kami berdiri sebuah bangunan indah sekali. Inilah yang disebut Mahreseh-E-Mahdar-E-Shah. Artinya sekolah ibu Syah. * * * Dari luar, sosok gedung ini berdekorasi megah. Kubahnya - yang tinggi itu - gemerlapan. Lehernya berwarna biru dipenuhi inskripsi-inskripsi hias dalam bentuk huruf-huruf putih dan bebungaan dengan lekuk-lekuk. Dua menara mengapit portalnya. Portal bagian selatan sedikit lebih pendek tapi paling penuh hiasan - mungkin termasuk yang terpenuh di Isfahan. Portal masuk itu memiliki lengkungan stalaktit berhiaskan keramik bagus. Di atas lempengan marmar putih yang membentuk fondasinya terdapat pintu-pintu yang dipenuhi medali berbentuk bintang-bintang besar yang disepuh. Tidak itu saja. Pintu-pintu itu masih juga dihiasi lempengan horisontal besar berwarna biru dengan huruf-huruf putih keemasan, ditambah lagi dengan panel-panel bunga putih bertangkai yang juga keemasan dan membentuk arabesque - dengan dasar biru laut. Di tengah hiasan-hiasan itu ada bentuk bulu-bulu merak, obyek favorit seniman Isfahan pada masanya. Gedung yang berdiri atas biaya ibu raja terakhir Safavi (Syah Soltan Hosseyn) ini dibangun antara tahun 1706 dan 1714, sekitar satu abad setelah pembangunan Masjid Syah. Koridornya memberi jalan menuju ke pelataran tengah. Dari pelataran ini semua tembok, portal ivan, menara, dan kubahnya membentuk suatu harmoni. Pepohonan yang besar yang tua sekali, menambah kesegaran - menciptakan efek cahaya dan keteduhan yang kontras dan menawan pada warna-warna biru bangunan. Di tengah pelataran itu ada sebuah kolam yang terbuat - lagi-lagi - dari marmar, diairi sebuah kanal panjang di bawah pelataran sekolah. Konon, Syah Soltan Hosseyn sering berada di sekolah ini. Baginda senang pada pengajaran dokter-dokter Islam, para mullah, dan kontroversi-kontroversi keagamaan para mahasiswanya. Madrasah ini dulunya berhubungan dengan caravanserai-caravanserai ( serai adalah gudang) yang dibangun pada masa hampir bersamaan dengan pembangunan madrasah. Pendapatan dari gudang-gudang itulah yang dulu dipakai membiayai para mahasiswa dan memelihara college Kini beberapa caravanserai telah diubah menjadi hotel. Sementara itu, para mullah sendiri kini masih tinggal dibagian dalam madrasah - tetap seperti dulu. Sekarang Madrasah Mahdar-e-Shah ini diberi nama Madreseh llmiyeh Imam Shadiq. Agaknya karena Ja'far Shadiq (imam ke-6 kaum Syiah, lahir di Madinah tahun 80 Hijri) terkenal sebagai orang 'alim besar, guru Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, serta tempat mengambil hadis Ibnu Juraij, Syu'bah, Ats-Tsau ri, dan lain-lain. * * * Dari madrasah itu, perjalanan menuju jembatan Pol-E-Khajou terhambat sebentar: saya tertarik pada sebuah bangunan kuno dengan kebun luas di dalamnya. Itu sebuah bangunan mirip istana, terkenal dengan sebutan Istana 40 Tiang - Kakh-E-Chehel Sotun Saya lebih setuju jika itu disebut pavilyun. Besarnya bukan ukuran istana, juga bentuknya. Pavilyun ini, yang masih terletak di dekat Jalan Chahar Bagh, sekarang menjadi museum lukisan dan keramik Persia, dan dulunya tempat raja bersantai atau membuat jamuan resepsi. Di depannya sebuah kolam - panjang sekitar 20 meter - membiaskan 20 tiang serambi (portico) pavilyun. Dua jajaran semburan air dan air mancur dari tubuh empat ekor singa batu, di empat sudutnya, mengairi kolam besar itu. Di atas ke-20 pilar ramping tadi langit-langit kayu tersangga - kayu-kayu mengkilap berukir dalam ukuran besar, di sebuah negeri yang langka pohon. Dinding belakang pavilyun dilapisi cermin-cermin dengan pintu terukir rapi. Dan pilar-pilarnya ditutup lukisan aneka warna. Di bagian dalamnya terdapat ruang takhta, yang ditutupi empat kubah. Dinding ruangan dihiasi pula dengan lukisan-lukisan dengan tatanan kaca pada jendela yang semarak. Dekorasi kubah berbentuk seperti sarang laba-laba, didesain dari tetumbuhan bergaya geometris dengan warna merah dan emas yang dominan. Di bagian-bagian atas dinding terdapat lukisan-lukisan bersejarah: panorama pertempuran pasukan Syah Ismail melawan pasukan Mongol Sultan Mahmud di punggung seekor gajah putih resepsi kehormatan Syah Abbas ll untuk Raja Nader Muhammad Khan dari Turkistan lukisan para musisi dan penari-penari. Pada dinding lain, di bagian depan pintu masuk, banyak lukisan lain - seperti menggambarkan suasana sambutan hangat Syah Tahmasp untuk putra mahkota Hindi, Homayun, yang berkunjung ke Persia pada 1543 M. Ruangan besar ini diapit dua ruangan lain yang lebih kecil, terbuka menghadap ke kebun, yang juga penuh lukisan-lukisan, termasuk karya para duta asing zaman dulu. Juga ada show-cases (lemari-lemari kaca) yang berisi pilihan keramik dan barang pecah-belah lain karya seniman Persia. Dari Khoyaban (Jalan) Sepah (Pasdaran), tempat pavilyun tadi, kami berjalan kaki menuju Maydan Imam Husain, di sebelah barat Jalan Sepah. Menuju jembatan Pol-E-Khajou - yang jaraknya cukup jauh - kami mencegat taksi di Maydan Imam Husain. Di dalam taksi sudah ada dua wanita, agaknya ibu dan anak gadisnya. Kawan saya duduk di samping sopir dan saya di sebelah ibu itu. Di Iran, naik taksii memang begitu caranya. Taksi bergerak terus ke selatan, sampai ke Lapangan Revolusi Islam (ini tentu saja nama baru), Maydan Inqilabi Islami. Dan di hadapan kami tampak sebuah jembatan panjang, dengan lengkungan-lengkungan setengah lingkaran yang terbuat dari batu mirip batu bata. "Aghoo, bukankah ini jembatan Khajou?" tanya kawan saya kepada sopir. "Bukan, Aghoo (saudara). Ini jembatan Sio Seh Pol memang mirip dengan Khajou." Sio Seh Pol artinya jembatan berlengkung 33. Jembatan ini dibangun oleh panglima perang kepercayaan Raja, Allah Verdi Khan, pada 1600 M. Tak jelas mengapa panglima itu pakai kata Allah sebagai nama depannya. Lebar jembatan sekitar 14 meter, panjangnya hampir 300 meter. Pada tiap sisi jalan raya yang melintang di atas, ada dua jalan beratap melengkung tinggi dan panjang, yang berfungsi sebagai tembok sandaran jembatan. Di atas dan bawah arcade (jalan beratap melengkung) ini juga ada tempat untuk berjalan kaki, hingga jembatan ini dapat diseberangi dengan jalan kaki melalui tiga tingkat yang berlainan. Jembatan Sio Seh Pol ini menghubungkan Isfahan dengan Julfa, permukiman orang Armema. Di arah timur, menelusuri pinggir selatan Sungai Zayandeh Rud, sekitar 5 km dari Sio Seh Pol, kami sampai di jembatan Pol-E-Khajou. Inilah jembatan yang dibangun oleh Syah Abbas ll (1664-1666 M), pada masa Safavi. Tak kurang dari 24 kubatan (lengkungan) yang terbuat dari batu dan bata merah - yang menjadikan sistem pintu air tertutupnya kuat - berada di atas massa-massa potongan batu terpahat yang kukuh, membentuk dam untuk mengalirkan air ke kebun-kebun. Pol-E-Khajou ini merupakan jembatan dengan sebuah kubatan menghadap ke jalan besar. Di jalan masuk, tengah, dan akhir jembatan terdapat pavilyun-pavilyun kecil. Di dalam tympanum (kendangan telinga) lengkungan gelap ini terlihat kemilau keramik yang klasik. Perhatian orang juga terusik oleh singa batu yang berasal dari masa Safavi, pada tiap tepinya, di dekat jembatan arus bawah. Banyak anak terlihat asyik mandi dan berenang-renang di bagian timur Sungai Zayandeh. Tembok-tembok bata jembatan sebagian keropos dimakan waktu. Selain itu, beberapa tulisan revolusioner masih tersisa. Tepat di atas serombongan tentara sukarela (yang lagi cuti), terlihat tulisan yang menyebut-nyebut Hizbullah Bagian atas jembatan adalah sebuah jalan raya yang cukup ramai, yang menghubungkan bagian utara dan selatan kota. Puas beristirahat, minum teh, dan omong-omong dengan orang-orang di kolong jembatan itu, kami meneruskan perjalanan . Karena waktu yang terbatas, terpaksa pilihan tempat yang dikunjungi harus diseleksi benar. Masjid Jumat terletak di dekat Maydan Qiyam, terusan Jalan Hatif, di utara kota. Masjid ini merupakan sebuah masterpiece ruang. Di tengahnya terdapat sebuah pelataran terbuka yang luas, diapit dinding-dinding ubin biru, dengan keremangan aula-aula salat berwarna cokelat tanah, beratapkan kubah-kubah batu merah Seljuq yang bagus dengan tiang-tiangyang banyak. Di antara kepermaian masjid dan dunia luar yang hibuk - yang dengan jelas menjadi batas perubahan zaman - ada sebuah lorong berlengkung gelap yang dimasuki cercahan sinar matahari dan berakhir di sebuah pintu beratap melengkung yang benderang. Ini masjid paling tua di Isfahan. Menaranya tak begitu tinggi, kubahnya tak terlalu besar, tapi masjid ini punya tata letak arsitektur yang lebih kompleks. Sebagaimana lazimnya setiap dinasti, para pengganti Timurleng - yang kemudian pada masuk Islam juga membangun, memugar, dan menambah di sana sini bagian masjid. Dengan demikian, masjid ini menjadi semacam buku sejarah arsitektur Persia dewasa ini, yang berusia lebih dari 1.000 tahun, sebelum masa Syiah. Memasuki masjid ini, lewat pintu tenggara yang berbentuk lima teluk arcade, orang menemukan bangunan lima obyek pada lima sudut mirip pepohonan, persis di dekat pelataran. Unik, memang. Berbagai bangunan memiliki kekhasan sifat para pemugar atau pembangunnya. Ada bangunan sisa masa Seljuq, sisa Abbasiyah, sisa Safavi. Ada tulisan ala Kufi, ada ivan ala Timur. Seperti sebuah simfoni.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini