MULANYA Paimin, 18, yakin betul bahwa kedai kopinya dijalan Pusponjolo Tengah, Semarang, bakal laris. Ia punya kopi dengan ramuan khusus, hasil eksperimennya beberapa waktu. Penuh rasa percaya diri, ia memasang iklan - ditulis di dinding kedainya - berbunyi: Jual Kopi Turki. Malam itu juga, November 1984, gayung Paimin bersambut. Enam pemuda mampir ke kedainya dan langsung memesan itu Kopi Turki. Harganya cukup murah, Rp 150 per gelas. "Paimin bilang, kopi ramuannya bisa menyehatkan badan dan menghilangkan segala rasa sakit," tutur Teguh, satu dari enam pemuda yang memang sudah mengenal Paimin. Pada menit-menit pertama, Teguh dan kawan-kawan masih sempat memuji kopi yang mereka hirup. Rasanya cukup enak, cuma, kata Iskandar - teman Teguh - "agak langu ." Dan, ternyata, tidak hanya berbau langu. Lama-lama Teguh merasa kepalanya pening, mata berkunang-kunang, perut mual, lalu muntah-muntah. Tak lama kemudian kelima kawannya mengalami nasib sama. Paimin jadi bingung sendiri. Masyarakat berdatangan, juga polisi. Dan akhir Maret lalu Paimin pun diadili, lalu divonis 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Semarang. Ia dipersalahkan telah menjual barang yang membahayakan jiwa atau kesehatan orang lain. Yang dijual Paimin adalah ini: kopi yang diaduk bersama biji kecubung yang ditumbuk halus. Kecubung - dan itulah "turki"nya - memang mengandung sejenis zat yang memabukkan, dan biasa dipakai pecandu obat bius bila mereka kepepet tak mendapat narkotik. Kini tinggallah Paimin menyesali nasib. "Waktu saya coba, padahal, tidak apa-apa rasanya enak, dan badan jadi ringan!" katanya kepada Yusro MS dari TEMPO. Yang tak diterangkannya, mengapa "Turki"?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini