Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berita Tempo Plus

Ekonomi Biaya Tinggi

Kebijaksanaan proteksi dalam negeri dikawatirkan menimbulkan vested interest. Pemerintah harus menciptakan iklim agar kekuatan pasar lebih berperanan. Inpres nomor 4/1985, awal suatu perubahan. (kl)

27 April 1985 | 00.00 WIB

Ekonomi Biaya Tinggi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BARANG impor apa yang sekarang ini tak diawasi secara ketat toleh pemerintah? Menelusuri daftarnya, mulai dari bahan makanan dan minuman, pakaian, barang elektronik, bahan kimia, logam, besi baja, mesin dan berbagai peralatan mesin, sulit menemukan barang yang bisa diimpor dengan bebas. Kalau bea masuknya tidak setinggi langit, impornya dilarang atau jumlahnya dibatasi atau hanya beberapa importir tertentu, yang terdaftar atau yang ditunjuk Departemen Perdagangan, yang boleh mengimpor. Bahkan untuk memasukkan minyak goreng diperlukan izin khusus, yang tak semua orang bisa memperolehnya. Ketatnya pengawasan ini menyebabkan hampir seluruh barang konsumsi yang dipergunakan di sini, dan separuh lebih barang keperluan industri yang dipakai, berasal dari buatan industri dalam negeri. Kebijaksanaan impor yang "streng" ini, yang sudah berlangsung lama, sering dianggap salah satu faktor bagi berkembangnya industri dalam negeri yang pesat selama ini. Industri manufaktur Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir tumbuh dengan rata-rata 15% setahun jauh di atas pertumbuhan GDP Indonesia sendiri. Ketatnya peraturan juga membantu turunnya impor Indonesia dengan drastis dalam dua tahun terakhir. Neraca Indonesia, dalam tahun anggaran yang berakhir Maret 1985, mencatat surplus lebih dari US$ 600 juta padahal pemerintah memperkirakan surplusnya tak sampai US$ 200 juta. Memang wajar, dan bisa dimengerti, kalau pemerintah melaksanakan kebijaksanaan substitusi impor dengan keras dan konsekuen. Siapa yang tak ingin punya industri dalam negeri yang kuat? Namun, merenungkan kebijaksanaan proteksi industri dalam negeri, sulit untuk menghindari beberapa pertanyaan yang mengganggu. Sejauh mana industri yang dilindungi itu efisien, dan sejauh mana konsumen sudah menikmati hasil perlindungan ini? Suatu studi yang dilakukan Bank Dunia pada 1983 mencoba membandingkan harga beberapa hasil industri Indonesia dengan harga impor (cif) barang yang sama. Untuk benang sintetis, misalnya, harga buatan dalam negeri Rp 3.307 sekilo, sedangkan harga impor barang yang sama Rp 3.000 sekilo. Harga besi batangan dalam negeri Rp 440 sekilo, harga impor Rp 166 sekilo. Televisi warna 21 inci dalam negeri Rp 700.000 bandingkan dengan televisi impor yang Rp 500.000. Begitu pula harga kertas kraft, yang impornya hanya Rp 301 sekilo dan buatan dalam negeri Rp 533. Dan, mereka yang masih punya angan-angan untuk membeli mobil sering mendengar harga mobil di Indonesia yang merupakan harga tertinggi di dunia. Beban di Pundak Konsumen Pembatasan impor mengakibatkan konsumen tak punya pilihan lain. Berarti, konsumen - di luar kehendaknya - memberi subsidi kepada produsen dalam negeri, yang besarnya sebanding dengan perbedaan antara harga impor dan harga buatan dalam negeri. Sejauh perbedaan ini mencerminkan tidak efisiennya industri dalam negeri, berarti subsidi dari konsumen ini jatuh ke tangan dan dinikmati oleh industri dalam negeri yang tidak efisien. Konsumen menanggung beban, produsen yang untung. Proteksi terhadap industri dalam negeri biasanya dilakukan dengan argumen melindungi "industri bayi". Dan seperti bayi, yang tak baik kalau disuap dan digendong terus, industri seperti ini pada akhlrnya harus dilepas. Tapi yang sering terjadi, bayi-bayi ini membentuk lobi - dan, lewat asosiasi-asosiasi mereka, mendesak departemen-departemen teknis yang bersangkutan untuk tidak melepaskan proteksi yang selama ini mereka nikmati. Yang mengkhawatirkan adalah bahwa vested interest bayi-bayi ini begitu kuat: di samping kekuatan bisnis, mereka juga mempunyai kekuatan politik di belakangnya, hingga pemerintah tak bisa berbuat apa-apa. Industri yang tumbuh cepat - dengan perlindungan - bisa memberi kesan yang salah pada calon penanam modal, yang memutuskan untuk menanam modalnya di sektor itu. Masalahnya bisa menjadi lebih serius bila putusan investasi itu terjadi pada industri hulu yang memperoleh perlindungan. Karena industri hulu biasanya padat modal dan kurang mengisap tenaga kerja, modal yang dipertaruhkan Juga besar. Maju ke Tengah Saingan Salah satu alasan melakukan kebijaksanaan substitusi impor dan sejalan dengan itu, melakukan proteksi industri dalam negeri, adalah usaha menghemat devisa. Tapi impor Indonesia yang terus merosot akhir-akhir ini melemahkan argumen itu. Arus devisa untuk masa mendatang ini tak bisa diusahakan dari hanya pengurangan impor tapi yang lebih kritis lagi, dari usaha meningkatkan ekspor di luar minyak, terutama ekspor hasil industri. Untuk industri yang selama ini menikmati proteksi, ruang lingkup pertumbuhan juga sudah mulai sempit. Resesi, anggaran belanja pemerintah yang terbatas, dan daya beli yang lemah mulai kurang memben peluang. Pertumbuhan ini akan menciut - mungkin akan sama dengan pertumbuhan ekonomi nasional - 4% atau 5% setahun. Satu-satunya jalan bagi industri ini untuk tumbuh terus adalah menembus pasaran luar negeri. Mereka harus mengekspor. Tapi sulit sekali bagi industri ini untuk bersaing di luar negeri karena pertumbuhan mereka selama ini ditopang oleh perlindungan. Untuk mendorong bekerja lebih efisien, mereka harus dihadapkan kepada lebih banyak saingan, misalnya dengan jalan menghapuskan atau mengurangi bea masuk impor barang saingan mereka. Pendekatan seperti inilah yang agaknya diperlukan untuk menjadikan industri dalam negeri lebih kuat. Juga dirasa lebih adil oleh sektor yang selama ini tak memperoleh perlindungan, yang bersaing di pasaran internasional dengan kekuatan sendiri. Yang menjadi masalah: kebijaksanaan kelonggaran impor nyaris mendekati apa yang disebut liberalisasi. Untuk telinga Indonesia istilah ini memang masih sedikit menggetarkan - maklum, karena ini berartl melanggar tradlsl pengawasan pemerintah yang ketat dan sentralistis. Memang tak mudah menghilangkan warisan sistem administrasi Mojopahit dan Belanda, yang diciptakan untuk mempersatukan Indonesia yang ribuan pulau. Lagi pula, sistem nilai masyarakat masih gandrung pada patronisme dan masih curiga terhadap ekonomi pasar. Tapi liberalisasi itu sendiri bukan barang asing untuk ekonomi Indonesia. Selama lima belas tahun, sistem devisa kita merupakan meminjam istilah ekonom asing - regime devisa yang liberal. Sistem inilah yang ikut membantu pertumbuhan perdagangan luar negeri Indonesia dan ikut membantu kestabilan moneter selama ini. Hampir dua tahun lalu deregulasi diterapkan dalam perbankan, di sini kekuatan pasar diizinkan untuk lebih banyak berperan dalam alokasi dana di masyarakat. Bank, terutama bank pemerintah, didorong bekerja lebih efisien, dan penggunaan dana sekarang tampak lebih rasional. Inpres Nomor 4/1985, yang mengurangi secara drastis keterlibatan pemerintah dalam pengurusan barang di pelabuhan, memang bukan akhir suatu tradisi birokrasi, tapi setidaknya awal suatu perubahan. Dengan Inpres No. 4/1985 pemerintah sudah kepalang basah dan tidak bisa mundur lagi. Pemerintah telah menciptakan suatu momentum yang, seperti hukum naik sepeda, begitu roda bergerak, kaki harus terus menggenjot.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus