Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Isu Kudeta di Hari Pertama

Awal kepemimpinan Habibie sempat disangsikan banyak pihak. Ia suka menganalogikan kondisi negara dengan pesawat terbang.

20 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bacharuddin Jusuf Habibie belum bisa memejamkan mata kendati jarum jam sudah menunjukkan pukul 01.00. Kamis dinihari, 21 Mei 1998, itu ia gelisah. Perhatiannya terbetot pada layar televisi dan Internet di ruang kerjanya, yang tengah menyuguhkan kegaduhan situasi politik dan keamanan Indonesia. Habibie-saat itu wakil presiden-lelah luar biasa karena hampir 20 jam ia belum beristirahat.

Mei 1998, Indonesia genting. Kondisi ekonomi morat-marit. Inflasi melonjak hingga 70 persen, sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat merosot. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 1998, pemerintah mematok nilai rupiah 4.000 per dolar. Namun, akibat krisis ekonomi ditambah kerusuhan Mei 1998, satu dolar Amerika pernah melambung hingga Rp 16.800 pada Juni 1998. Tuntutan reformasi akhirnya berujung pada lengsernya Presiden Soeharto.

Beberapa jam sebelumnya, sekitar pukul 19.00, pada 20 Mei 1998, Habibie menyambangi kediaman Soeharto di Jalan Cendana, Menteng. Keduanya membahas situasi Indonesia selama hampir dua jam. Soeharto sama sekali tak menyinggung rencana pengunduran diri. Tiba-tiba, sekitar pukul 21.45, Sekretaris Kabinet Saadillah Mursyid meneleponnya. "Ia mengabarkan Soeharto akan mundur," kata mantan ajudan Habibie yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Tb. Hasanuddin, ketika ditemui di Senayan pekan lalu.

Mendapati dirinya akan menggantikan Soeharto, Habibie bergerak cepat. Menurut Hasanuddin, malam itu juga ia mengumpulkan sejumlah tokoh, di antaranya Ahmad Watik Pratiknya, Jimly Asshiddiqie, dan Ginandjar Kartasasmita. Mereka membicarakan nasib Indonesia ke depan hingga hampir tengah malam.

Sepulangnya para tamu, Habibie tak langsung beristirahat. Sang istri, Hasri Ainun, sampai mengingatkannya untuk segera tidur. Sebab, pagi itu Habibie mesti ke Istana Negara. Karena tetap terjaga, ia kembali ke tempat kerja, menyusun catatan mengenai prioritas, prinsip, dan kebijakan awal yang akan diambil sebagai presiden. "Rakyat akan menilai dan sejarah mencatat. Oleh karena itu saya harus berhati-hati mengambil kebijakan," ujar Habibie, tertulis dalam bukunya, Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.

Habibie masih berkutat dengan komputer hingga diingatkan kembali oleh Hasanuddin hampir pukul 04.00. Satu jam saja ia tidur. Begitu bangun, Habibie langsung memantau televisi. Demonstrasi belum berhenti. Didampingi Sintong Panjaitan, Ahmad Watik Pratiknya, Fuadi Rasyid, dan Jimly Asshiddiqie, ia meluncur ke Istana Negara, menghadiri pengunduran diri Soeharto sekaligus pengangkatannya sebagai presiden.

Upacara berlangsung cepat. Tak ada obrolan antara Habibie dan Soeharto. Presiden yang turun setelah 32 tahun berkuasa itu tak mengucapkan selamat kepada Habibie. "Pak Harto langsung pergi ke luar Istana begitu Pak Habibie selesai sumpah jabatan," kata Hasanuddin. "Saya mengejar keluar, tapi mobilnya sudah melesat pergi. Padahal Pak Habibie mencari Pak Harto, ingin ngobrol."

Habibie tak mau membuang waktu. Ia langsung menuju Wisma Negara, yang juga berada di kompleks Istana Kepresidenan. Sembari memantau demonstrasi, dia menyusun sambutan perdananya sebagai presiden. Langkah selanjutnya adalah membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan. Namun banyak yang memprediksi mantan Menteri Riset dan Teknologi itu tak bakal bertahan sebagai presiden lebih dari seratus jam.

Dewi Fortuna Anwar, yang saat itu menjabat asisten wakil presiden bidang globalisasi dan juru bicara Habibie, menyebut bosnya sadar betul dianggap tak kredibel sebagai presiden. Apalagi latar belakang Habibie bukanlah politikus, melainkan cendekiawan. Ditambah citra Habibie sebagai anak emas Soeharto, jadilah ia tak dipercaya banyak kalangan bisa mendorong reformasi. Namun dia pantang menyerah. "Kepercayaan dirinya yang sangat tinggi malah membuat dia berfokus menggarap sejumlah program," ujar Dewi saat ditemui di kantor Sekretaris Wakil Presiden, dua pekan lalu.

Yang amat membekas di ingatan Dewi adalah kebiasaan Habibie menganalogikan sesuatu dengan pesawat. Maklum, ia lulusan studi teknik penerbangan RWTH Aachen, Jerman, serta perancang pesawat terbang CN-235 dan N-250. Ketika itu Habibie mengibaratkan Indonesia seperti pesawat terbang yang mengalami turbulensi luar biasa dan pilotnya didemo para penumpang.

Menurut Habibie, sebagai pilot, ia pantang kehilangan konsentrasi. Jika terlalu mempedulikan suara-suara di belakang, semua bisa mati, termasuk si pilot. "Yang harus dilakukan adalah meredam gangguan suara, berfokus, dan memastikan pesawat soft landing (mendarat dengan mulus)," tutur Dewi menirukan Habibie.

Sebagai ilmuwan, pendekatan yang digunakan Habibie dalam memimpin negara dinilai berbeda oleh Dewi, yakni lebih logis dan sistematis. Terlihat dari kebijakan-kebijakan yang dia ambil pada awal kepemimpinannya. Misalnya membatasi kekuasaan eksekutif, membuka keran kebebasan media massa, dan mengubah sistem pemerintahan menjadi desentralistis. Habibie juga menjadikan Bank Indonesia independen, membebaskan sejumlah tahanan politik, serta mengganti Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat dari Letnan Jenderal Prabowo Subianto ke Johny Lumintang.

Letnan Jenderal TNI Purnawirawan Sintong Panjaitan mengatakan dalam bukunya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando, pada hari pertama Habibie menjabat presiden, datang dua tamu, yakni Kepala Staf Kostrad Mayor Jenderal Kivlan Zen dan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat Mayjen Muchdi Pr. Menurut penasihat presiden bidang pertahanan keamanan ini, keduanya membawa surat berisi saran agar Jenderal Subagyo H.S. diangkat menjadi Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Jenderal Wiranto sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan, serta Prabowo menjadi Kepala Staf Angkatan Darat.

Pada waktu yang berbeda di hari itu juga, Wiranto melaporkan adanya pergerakan pasukan Kostrad menuju Jakarta tanpa setahu dirinya sebagai Panglima ABRI. Desas-desus ancaman kudeta muncul. Karena percaya kepada Wiranto, Habibie pun mencopot Prabowo dari jabatan Panglima Kostrad.

Belakangan, Prabowo menyangkal soal isu kudeta. "Saya tidak lakukan," ujarnya kepada Tempo, Oktober tahun lalu. Saat "berlindung" di Yordania, dia membuat penjelasan tertulis. Pengerahan pasukan tersebut untuk mengamankan obyek vital, juga terutama demi keselamatan presiden dan wakil presiden.

Beberapa hari kemudian, kerusuhan masih berlangsung. Sintong menyarankan Habibie mengganti Panglima ABRI. Saran itu dia tepis. Bahkan, kata Sintong dalam bukunya, Habibie naik pitam. "Pak Sintong, saya tidak mau seperti itu!" ucapnya. Habibie lalu menarik kedua kain saku dari celana dan baju model safari yang dikenakan. "Lihat! Ekspor nol, impor nol. Saya tidak punya uang. Bagaimana saya membangun negara ini? Saya tidak mau melakukan sesuatu yang kontraproduktif." Habibie pun menjabat presiden tak sampai satu setengah tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus