Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Tujuh Belas Hari untuk Tiga Tahun

Presiden Megawati Soekarnoputri menelepon sendiri calon menterinya, termasuk orang yang belum dia kenal. Tak leluasa meneruskan hobi jajan makanan.

20 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teka-teki itu akhirnya terjawab. Terhitung 17 hari sejak dilantik sebagai presiden, Megawati Soekarnoputri mengumumkan susunan Kabinet Gotong Royong pada 9 Agustus 2001 di Istana Negara. Mega menjadi presiden menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid, yang dimakzulkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui Sidang Istimewa pada 23 Juli 2001. Sebelumnya, Mega menjabat wakil presiden mendampingi Abdurrahman berdasarkan hasil Pemilihan Umum 1999.

Sejumlah petuah disampaikan Mega kepada menteri-menterinya. Antara lain, anggota kabinetnya harus menjunjung supremasi hukum; tak terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme; serta bisa menjaga kepercayaan asing. Yang tak kalah penting, kata Megawati kala itu, "Anggota kabinet harus mampu memberikan rasa aman kepada masyarakat."

Menjadi presiden dadakan sekaligus harus menyiapkan kabinet anyar memang bukan urusan mudah bagi Mega. Salah satu penyebabnya, ia harus memilih sekian banyak nama yang diajukan, termasuk dari fraksi-fraksi di MPR/DPR, yang melapangkan jalannya menuju kursi RI-1. Partai politik itu, antara lain, PDI Perjuangan, Golkar, dan partai-partai Islam yang tergabung dalam Poros Tengah, seperti Partai Bulan Bintang, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan.

Pramono Anung, yang saat itu menjabat Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, membenarkan adanya nama calon menteri yang disetor oleh fraksi-fraksi di MPR/DPR. Di luar itu, Mega juga menerima usul nama secara berjenjang dari sejumlah pihak. "Namun dia sendiri yang melakukan pengecekan ulang," ujar Pramono, Jumat dua pekan lalu.

Setelah daftar nama di tangan, Mega menelepon langsung orang-orang yang dia nilai sreg dan kompeten, termasuk mereka yang belum kenal dekat. Salah satu yang ditelepon dan belum kenal dekat adalah Rini Mariani Soemarno.

Menurut Pramono, Mega tak kenal betul Rini, tapi dia diambil karena sudah ada pertimbangan matang dari tim yang membantu Mega. Saat itu, Rini diminta Mega menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Latar belakang Rini yang sarat pengalaman bisnis profesional menjadi salah satu pertimbangan.

Sejatinya keluarga Rini tak jauh-jauh amat dengan lingkaran Sukarno, presiden pertama Indonesia. Sebab, Soemarno, ayah Rini, pernah masuk kabinet Sukarno. Namun Rini, kini 56 tahun, mengaku tak banyak berinteraksi karena usia mereka yang jauh berbeda. Mega lahir di Yogyakarta pada 23 Januari 1947 alias 11 tahun lebih tua daripada Rini.

Kontak dengan putri pertama Sukarno itu terjadi ketika Rini ditelepon dan diminta menjadi menteri. Dia menyanggupi karena merasa menguasai bidang tersebut. "Itu pertama kali saya berinteraksi dengan Bu Mega. Sebelumnya tidak pernah bertemu," katanya.

Untuk membuang rasa penasaran, Rini sempat memberanikan diri bertanya kepada Mega ihwal alasan dia ditunjuk sebagai menteri. Ditanya soal tersebut, menurut Rini, Mega hanya menjawab bahwa ia sudah tahu tentang Rini. Alasan yang lebih pasti baru diperoleh seusai pelantikan kabinet. Mega mengaku pernah melihat Rini berdemo. "Jarang saya melihat perempuan berdemo. Saya perlu yang seperti itu," ucap Rini, menirukan ucapan Mega.

Rini memang pernah berdemo agar Astra International tak dijual ke asing. Padahal saat itu statusnya adalah Presiden Direktur Astra. "Astra itu aset yang begitu bernilai. Yang penting Astra bisa terus berkembang dan menyerap tenaga kerja," ujar Rini, yang kini menjadi Ketua Tim Transisi, yang mempersiapkan pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Selain Rini, calon menteri yang ditelepon langsung Mega dan sebelumnya tak kenal adalah Boediono. Ketika itu, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada tersebut tengah menikmati kebebasan dari hiruk-pikuk di pemerintahan. Terakhir pada era Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie-yang selesai pada 1999-Boediono didapuk menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional.

"Saat Gus Dur menjadi presiden, saya tak pegang posisi sama sekali," kata Boediono di Istana Wakil Presiden, Jumat dua pekan lalu. Saat sedang "menganggur" itulah panggilan untuk kembali ke pemerintahan datang pada suatu malam di bulan Agustus 2001.

"Ibu Mega, lewat telepon, meminta saya jadi Menteri Keuangan," tutur Boediono, yang kemudian terpilih menjadi wakil presiden mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilihan presiden 2009, yang akan berakhir masa tugasnya pada 20 Oktober ini. Sebelum menjadi presiden dua periode sejak 2004, Yudhoyono menjadi menteri pada era Presiden Mega, yakni sebagai Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan.

Seperti Rini, Boediono mengaku belum pernah bertemu dengan Mega. Ia tak tahu dari mana Mega mendapat informasi tentang dirinya. Komunikasi via telepon pada malam hari itulah kontak langsung pertama Boediono dengan Mega. "Diminta langsung, ya, saya terima," ujar pria kelahiran Blitar, 71 tahun lalu, itu.

Ihwal pemerintahan Mega, Jusuf Kalla, yang pernah menjadi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat di kabinet Mega, angkat bicara. Menurut dia, saat itu adalah bagian dari periode mengatasi krisis yang muncul sejak zaman pemerintahan Presiden Soeharto. Bahkan, saking remuknya perekonomian, Indonesia masuk program Dana Moneter Internasional (IMF) untuk memperbaiki ekonomi.

Perekonomian di zaman Mega, kata Kalla, sudah mulai tumbuh dan pinjaman di IMF tidak ditambah. "Makanya terjadi penjualan aset karena tidak ada cara lain," ucap Kalla, awal Oktober lalu.

Menempati posisi puncak pemerintahan tentu saja mempengaruhi kehidupan pribadi Mega. Menurut Pramono Anung, saat menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan, Mega bisa santai pulang ke rumahnya di Kebagusan, Jakarta Selatan. Namun sejak menjadi wakil presiden, apalagi setelah menjadi presiden, Mega langsung dikelilingi oleh Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres).

Mega, yang masih tinggal di Kebagusan setelah dilantik di gedung MPR/DPR, sempat kaget menjumpai banyak orang di rumahnya. "Setelah dilantik, masih pulang ke sana. Capek, langsung tidur," kata Pramono. Nah, saat Mega bangun dan keluar dari kamar, sudah ada banyak orang. Begitu disapa, mereka bilang, "Siap!" Itu tadi, kata Pramono, "Mereka semuanya Paspampres."

Namun kekagetan itu hanya sebentar. Mega cepat beradaptasi karena sudah punya pengalaman dengan Paspampres sejak kecil laiknya anak Presiden Sukarno yang lain. Salah satu adaptasi yang dilakukan Mega adalah ia tak bisa sesuka hati melanjutkan hobinya jajan makanan. Padahal ia tahu banyak tempat makan yang enak dan tidak harus restoran mahal. Sebelum Mega menjadi RI-1 dan RI-2, "Warung gado-gado pinggir jalan pun kalau enak, ya, didatangi," ujar Pramono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus