Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Mengalah untuk Negara

Presiden dan wakil presiden merupakan simbol negara. Mereka yang terpilih mesti tunduk pada protokoler dan pengamanan yang ketat, termasuk urusan makanan. Demi negara, mantan presiden dan wakil presiden mengaku rela menekuk dan melipat kesenangan pribadi, lalu menyimpannya dalam-dalam, saat masih menjabat.

20 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awal Sunyi Presiden Era Koalisi

Tahun pertama menjabat dipenuhi konflik dan didera persoalan ekonomi. Kerap merasa sendiri saat mengambil keputusan.

SUSILO Bambang Yudhoyono perlahan menaiki anak tangga Istana Merdeka pada Rabu siang, 20 Oktober 2004. Sekretaris Presiden Kemal Munawar dan Sekretaris Militer Mayor Jenderal Tb. Hasanuddin menanti di pintu sisi barat Istana. Diantar semua anggota keluarganya, hari itu Yudhoyono datang sebagai presiden keenam setelah dilantik Majelis Permusyawaratan Rakyat pada pagi harinya.

Tak lama berselang, tiba rombongan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pasangan pemenang dalam pemilihan presiden periode 2004-2009 itu memulai kegiatan pertama mereka sebagai petinggi Republik. Sekitar 45 menit mereka berkeliling meninjau semua ruangan Istana Merdeka, kantor presiden, dan Istana Negara. Yudhoyono sempat duduk dan berpose di belakang meja kerja peninggalan Presiden Sukarno bersama istrinya, Ani Yudhoyono.

Ani, dalam buku Kepak Sayap Putri Prajurit, mengaku perasaannya begitu bergejolak saat menginjakkan kaki di Istana. Decak kagum bercampur bangga karena Istana akan menjadi tempat tinggalnya dalam lima tahun ke depan. Tapi, di tengah kekagumannya, Ani mengaku merasakan suasana gloomy dan dingin. "Yudhoyono juga merasakan hal yang sama," katanya.

Sejumlah agenda penting sudah menanti pada hari pertama Yudhoyono menjadi presiden. Sore hari, ia menerima Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi dan Sultan Brunei Hassanal Bolkiah. Dua tamu negara itu sempat diajak berbuka puasa dan salat berjemaah di Istana Negara.

Pada malam harinya, Yudhoyono dan Kalla akan mengumumkan susunan kabinet. Pengumuman yang ditunggu-tunggu dan dijadwalkan pada pukul delapan malam itu ditunda hampir empat jam karena orang-orang yang akan duduk di kursi menteri masih alot dibahas di ruang kerja Presiden.

Ketegangan begitu terasa di Istana malam itu. Jarum jam sudah mendekati angka 12. Dinanti banyak stasiun televisi yang akan menayangkan secara langsung, Yudhoyono akhirnya keluar menuju podium didampingi Kalla. Dalam pidato pengantar, dia menyebutkan merebaknya pandangan pro dan kontra mengenai orang yang dinominasikan jadi pembantunya di kabinet. "Tak mungkin memuaskan semua pihak," ujarnya. Setelah berpidato, ia mengumumkan satu per satu menteri terpilih.

Hari pertama terlewati. Meskipun tidak ada transisi dari presiden sebelumnya, Kalla tak melihat adanya kekakuan yang dialami Yudhoyono. Lingkungan Istana memang bukan tempat asing bagi mereka. Keduanya sama-sama pernah menjabat menteri sejak era pemerintahan Abdurrahman Wahid hingga Megawati Soekarnoputri. "Tidak terlihat kagok," kata Kalla.

Sebaliknya, Yudhoyono mengatakan keanehan yang dirasakan saat pertama menjadi presiden lebih ke soal ketatnya penjagaan dan pengamanan. Semua kebiasaan yang sering dia lakukan, seperti bepergian dengan istrinya secara bebas dan bisa makan di mana saja sesuai dengan selera, harus dibatasi. "Setelah menjadi presiden, kehidupan pribadi saya berubah. Saya merasa terlalu diatur dan dibatasi," ucapnya dalam buku Selalu Ada Pilihan.

Yudhoyono mengaku sering memprotes Pasukan Pengamanan Presiden karena tidak suka jika pengamanan terlalu ketat. "Jika pengamanan untuk saya terasa berlebihan, biasanya saya langsung menegur," katanya.

Atas dasar itu, Yudhoyono memilih menetap di Istana. Tinggal di Istana dinilai akan memudahkan pengamanan dan menghindari mondar-mandir dari kediamannya di Puri Cikeas, Bogor, ke Istana. Pulang ke Cikeas hanya dilakukan setiap akhir pekan atau saat ada kegiatan partai. Dia mengatakan selalu memilih waktu sepi ketika melakukan perpindahan tempat, seperti dari Cikeas ke Istana atau sebaliknya, untuk menghindari kemacetan akibat harus ditutupnya jalan saat iring-ringan lewat.

BARU beberapa hari Yudhoyono menjadi presiden, serangan mulai datang. Banyak orang memprotes dan sakit hati terhadap susunan kabinet yang dibentuknya. Menurut dia, pihak yang kalah dalam pemilihan presiden dan orang-orang yang tak diajaknya dalam kabinet melakukan perlawanan cukup keras. "Mereka-mereka yang tidak saya ajak dalam pemerintahan, utamanya kabinet, mulai menunjukkan sikap dan gerakan politik yang mengekspresikan ketidaksenangan kepada saya," ujarnya.

Heru Lelono, orang dekat Yudhoyono yang kemudian menjadi staf khusus presiden, mengatakan bahwa atasannya itu tak mau ambil pusing terhadap kondisi tersebut. Konsolidasi dengan jajaran menteri dan lembaga pemerintahan segera digelar untuk pembagian tugas 100 hari pertama pemerintahan. "Semua dicatat dengan detail dalam buku catatan pribadi," katanya.

Namun, belum genap 100 hari, bencana tsunami menerjang Nanggroe Aceh Darussalam pada 26 Desember 2004. Belum selesai tuntas penyelesaian bencana, harga minyak dunia melambung tinggi pada awal 2005. Pemerintah yang baru seumur jagung itu pun harus menaikkan harga bahan bakar minyak pada 1 Maret 2005 dan kemudian kembali menaikkan harga pada Oktober 2005.

Menurut Jusuf Kalla, kondisi ekonomi saat itu memang tidak menguntungkan. Masih rendahnya pendapatan pajak sebagai sumber pembiayaan membuat pemerintah harus putar otak. "Makanya yang dilakukan menghemat. Salah satunya menaikkan harga BBM untuk menyelamatkan ekonomi saat itu," tutur Kalla.

Heru Lelono punya cerita lain di balik keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi tersebut. Suatu hari pada Oktober 2005, dia mendadak dipanggil ke ruang kerja presiden di Istana sekitar pukul 9 malam. Berbicara sebentar, tiba-tiba saja Yudhoyono memanggil pelayan Istana dan meminta dibelikan nasi Padang. "Mumpung enggak ada dokter," kata Yudhoyono ketika itu.

Di tengah santapan, Yudhoyono tiba-tiba membuka pembicaraan. "Saya ini bagaimana, otak saya dan teori apa pun, harga BBM harus dinaikkan," ucap Heru menirukan Yudhoyono.

Presiden memang mengaku kerap harus merasakan sunyi dan sendiri sesaat sebelum mengambil keputusan yang sulit dan berisiko. Dia mencontohkan beberapa keputusan sulit yang harus diambilnya adalah menyetujui penyelesaian konflik di Aceh dan menghentikan operasi militer, menaikkan harga BBM sebanyak dua kali pada 2005, serta melakukan reshuffle kabinet, yang dalam era demokrasi multipartai dengan format koalisi mempunyai risiko politik. Selain itu, keputusan melunasi utang Dana Moneter Internasional (IMF) yang berjumlah Rp 60,7 triliun dan membubarkan Consultative Group on Indonesia untuk menyetop utang luar negeri.

Meskipun tetap mendapat pertimbangan dan masukan dari para menteri, Yudhoyono mengaku sebagai pemilik tanggung jawab dan risiko setiap keputusan yang diambil pemerintah. "Arena lain yang saya sering merasa sunyi dan sendiri adalah ketika harus terus-menerus menghadapi gempuran politik dari banyak kalangan," katanya. "Termasuk serangan dari pers dan media massa yang terus berlangsung."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus