Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ikhtiar Menjadi Kota Cerdas

ITB memilih lima kota paling peduli dengan perubahan iklim di Indonesia. Penggunaan energi terbarukan, pengelolaan sampah, ruang terbuka hijau, dan pengurangan kendaraan pribadi menjadi indikator penilaian.  
 
 

19 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Solar cell digunakan untuk lampu lalu lintas di Jalan Raya Darmo, Kota Surabaya, Jawa Timur. Dok. Pemkot Surabaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Riset terbaru ITB menyebut lima kota yang paling peduli dengan perubahan iklim di Indonesia.

  • Tujuan riset ITB untuk memantau layanan kota yang dapat meningkatkan kualitas hidup warganya.

  • Seluruh kota di Indonesia dituntut lebih kreatif dalam membuat kebijakan yang ramah lingkungan.

JAKARTA Lima kota terpilih sebagai kota yang perhatian pada perubahan iklim oleh Pusat Inovasi Kota dan Komunitas Cerdas Institut Teknologi Bandung. Kelima kota yang menyediakan ruang terbuka hijau itu adalah Kota Bogor, Kota Semarang, Kota Surabaya, Kota Bandung, dan Kota Tangerang. 
Sejatinya, riset itu bertajuk "Daftar Kota Cerdas". Kemudian tim riset membuat pembagian lanjutan menjadi sepuluh kategori, seperti Kota Menuju Cerdas, Ekonomi Kota Cerdas, Kota dengan Masyarakat Cerdas, Kota dengan Kesehatan Cerdas, Kota Tangguh, Kota dengan Energi Cerdas, dan Kota dengan Kesiapan Digital Terbaik. Dari setiap kategori masih dipecah lagi ke dalam tiga kelompok, yakni kota besar, kota sedang, dan kota kecil.
Kelima kota itu dipilih sebagai Kota yang Perhatian terhadap Perubahan Iklim untuk kategori kota besar. Adapun penilaian serupa untuk kota sedang jatuh kepada Kota Probolinggo, Kota Surakarta, Kota Balikpapan, Kota Samarinda, dan Kota Jambi. Sedangkan untuk kota kecil disematkan kepada Kota Pariaman, Kota Bontang, Kota Blitar, Kota Bukittingi, dan Kota Langsa.
Menurut ketua tim riset itu, Suhono Harso Supangkat, pihaknya menilai 93 kota dalam riset Kota Cerdas. Suhono dan timnya mengirim surat ke 93 kota tersebut. Menurut Suhono dan tim, Kota Cerdas diartikan sebagai kota yang dapat mengelola berbagai sumber daya secara efektif dan efisien untuk menyelesaikan berbagai tantangan kota menggunakan solusi cerdas.
Adapun tujuan riset ini adalah menyediakan infrastruktur dan memberikan layanan kota yang dapat meningkatkan kualitas hidup warganya. “Jadi, bukan proyek command centre,” kata Suhono ketika dihubungi, Rabu, 16 Februari lalu.

Pengunjung menyusuri jembatan gantung di Hutan Kota Dunia Babakan Siliwangi, Bandung, Jawa Barat. TEMPO/Prima Mulia

Khusus untuk kategori Kota yang Perhatian terhadap Perubahan Iklim, data yang diambil dari subyek antara lain penggunaan energi terbarukan, pengelolaan sampah, dan pengurangan kendaraan pribadi. "Pertama, punya rencana menghadapi masalah iklim atau tidak. Energinya bersih atau kotor. Kemudian pelaksanaannya bagaimana, itu yang kami cek, ” ujar guru besar dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB itu.
Tantangan menuju Kota Cerdas berdasarkan penilaian tim riset yang dilakukan dua tahun sekali sejak 2015, di antaranya pergantian kepala daerah. Intinya, nama dan program kegiatan setiap kota boleh berubah, tapi substansi kebijakan harus sama. Untuk itulah diperlukan peran masyarakat dalam kegiatan menjaga lingkungan.
Meski hasil riset sudah dirilis pada akhir Desember 2021, Suhono dan tim belum menyerahkan laporan rinci kepada masing-masing daerah. Saat ini ia dan timnya masih menyusun laporan detailnya lengkap dengan penilaian kekurangan dan kelebihannya.
Adapun anggota tim Smart City and Community Innovation Center (SCCIC) atau tim teknis penilaian, Hendra Sandhi Firmansyah, mengatakan indikator pada kategori Kota yang Perhatian terhadap Perubahan Iklim itu menyangkut dukungan kota terhadap masalah perubahan iklim pada panasnya permukaan bumi yang berasal dari kadar karbondioksida (CO2). Indikator di dalamnya ada banyak, seperti penggunaan energi terbarukan, pengurangan kendaraan, pengelolaan lingkungan, implementasi kendaraan hemat energi, penggunaan kendaraan umum, pengelolaan sampah, serta ruang terbuka hijau. "Indikatornya kami ukur berdasarkan kualitas hidup dan cara untuk mencapai kualitas hidup,” kata Sandhi.

Wali Kota Bogor Bima Arya (tengah) menyaksikan penghancuran mobil angkutan kota (angkot) yang akan digantikan dengan Bus Kita Trans Pakuan di GOR Pajajaran, Kota Bogor, Jawa Barat, 1 November 2021. ANTARA/Arif Firmansyah

Patokan ukurannya pun beragam, salah satunya dengan menggunakan standar ISO dan SNI. Ia mencontohkan poin ruang terbuka hijau sebesar 30 persen sesuai dengan standar pemerintah sebagai dasar penilaian. Adapun pada sektor transportasi, isu substitusi energi dan mengurangi jumlah kendaraan di area perkotaan digunakan untuk menurunkan kadar emisi gas buang.
Sandhi memberi contoh Kota Bogor yang mengambil langkah mengganti tiga unit angkutan kota dan bus. Lantas Kota Semarang melakukan penghematan energi dengan cara mengerahkan bus rapid transit dan punya jadwal khusus untuk kendaraan transportasi umum. Adapun Kota Bandung untuk lingkungannya menggunakan biodigester dan gerakan Kang Pisman—singkatan dari kurangi, pisahkan, dan manfaatkan sampah. Kemudian ada Si Petruk, yaitu aplikasi Sistem Informasi Pelayanan Tata Ruang Kota.
Secara umum, menurut Sandhi, setiap kota memiliki pendekatan dan inovasi yang berbeda terkait dengan indikator energi. Untuk Kota Bogor, program Earth Hour menjadi solusi dalam hal energi. Sedangkan Kota Tangerang melakukan perencanaan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSA). Kota Bandung dengan pemanfaatan biodigester. Kota Semarang menggunakan converter gas bus BRT bermesin diesel. Surabaya menggunakan solar cell di fasilitas publik serta melakukan uji emisi kendaraan bermotor.
Soal isu penataan transportasi di lima kota besar itu, dukungan kota dinilai masih belum optimal dan jumlahnya masih relatif kecil. “Demikian pula nilainya masih belum optimal seperti standar internasional,” kata dia.

#BERUT 1.2.1_Kota Peduli Perubahan Iklim

Untuk mobilitas, dari catatan tim riset ITB, Kota Bandung punya sistem pemantauan kemacetan di area tertentu, traveller information system, dan smart parking. Surabaya juga mengoptimalkan transportasi massal, car sharing, dan bike sharing serta mempercepat waktu tempuh. “Kendaraan umum menjadi primadona di lima kota besar itu,” kata Sandhi.
 
Soal isu perubahan iklim ini, menurut Sandhi, seperti konsep smart city, di Indonesia belum ada kota yang cerdas, sehingga baru disebut menuju kota pintar. Untuk mencapai kota cerdas, nilainya dipatok lebih dari 80. Begitu juga terkait dengan isu perubahan iklim. “Untuk kota besar ini nilainya masih 56,97,” kata dia.
 
Pada unsur ruang terbuka hijau, kota besar mengalami permasalahan luasan dan sulit menambahnya. Besaran ruang terbuka hijau tertinggi dimiliki oleh Kota Surabaya dengan 21,99 persen. Diikuti Kota Bogor sebesar 18 persen, Kota Semarang 15 persen, Kota Bandung 12,21 persen, dan Kota Tangerang 8,35 persen.
 
Walhasil, kota-kota tersebut harus memutar otak demi menyiasati minimnya lahan demi menambah luas ruang terbuka hijau. "Sejumlah kota menyiasati dengan urban farming di atas gedung seperti di Kota Bandung, urban farming corner di Semarang, dan ekowisata mangrove di Surabaya," kata Sandhi.
INDRA WIJAYA | ANWAR SISWADI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus