Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Baiat Sunni, Tapi Belum Kembali

Mayoritas pengungsi Syiah Sampang di Jemundo, Sidoarjo, telah baiat Sunni dua tahun lalu. Jalan pulang belum sepenuhnya lempeng.

30 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HATIMAH mendekati kami yang tengah berbincang di bangku di teras unit pasangan Rizkiatul Fitriyah atau Fitri dan Iklil al-Milal, di lantai dasar Rumah Susun Puspo Agro di Jemundo, Sidoarjo. Tangan kirinya rusak parah dan kecil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Gara-gara masuk ke mesin kelapa,” Fitri menerjemahkan penjelasan Hatimah yang disampaikan dalam bahasa Madura, akhir November tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan hanya Hatimah. Suaminya juga mengalami kecelakaan yang sama. Tangannya rusak karena masuk mesin kelapa. “Hanya itu yang bisa mereka kerjakan untuk mendapat penghasilan,” kata Fitri.

Bertani, yang menjadi penghidupan mereka saat tinggal di desa, tak bisa dilakukan di Jemundo. Sedangkan bantuan pemerintah sebesar Rp 709 ribu per orang tak mencukupi kebutuhan mereka, termasuk untuk urusan anak-anak.

Hatimah, Fitri, dan lebih dari 80 keluarga lainnya telah menetap di Rumah Susun Puspo Agro di Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur, hampir 10 tahun. Pada Agustus 2012, mereka diusir dari tanah dan rumah mereka di Sampang, Madura, Jawa Timur.

Setiap keluarga menempati satu unit rusun berlantai lima yang kusam dan cat-cat bagian luarnya telah banyak terkelupas. “Kalau kumpul, kami tidurnya seperti pindang,” kata Fitri. Maklum, perempuan berusia 35 tahun ini memiliki tujuh anak, meski sebagiannya adalah anak (almarhumah) istri pertama Iklil. “Sebenarnya kami sudah sangat ingin kembali ke Sampang,” kata Fitri. “Tanah sudah menjadi seperti hutan.”

Masih kuat di ingatan Fitri peristiwa berdarah yang terjadi pada 26 Agustus 2012 di kampungnya di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Omben, Sampang. Saat itu, sepekan setelah Lebaran, ia yang tengah hamil besar dan beberapa orang lain akan mengantar anak-anak Desa Karanggayam, Omben; dan Desa Bluuran, Karangpenang, kembali ke pondok pesantren. Saat jalan, massa menyerang rumahnya dan beberapa keluarga Syiah lain. Umi Kulsum, istri iparnya, yang berada di rumah pontang-panting.

Rizkiatul Fitriyah dan Umi Kulsum, pengungsi dari Sampang, di rumah susun Puspo Agro di Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur, 22 November 2022. Mereka dan puluhan keluarga lain mengungsi setelah rumah mereka diserang masyarakat yang menolak Syiah di Sampang pada 26 Agustus 2012. TEMPO/Purwani Diyah Prabandari‬

Suami Umi Kulsum, Tajul Muluk atau Ali Murtadha, adalah tokoh Syiah pengasuh Pondok Pesantren Misbahul Huda di Nangkernang. “Pondok dibakar, ternak juga,” kata Umi. “Ada anak-anak di bangunan kosong, untung enggak dibakar.” Sekitar 48 rumah rusak dalam insiden tersebut dan satu orang meninggal.

Menurut Fitri, ketegangan memang sudah beberapa kali terjadi. Sebelumnya, pada 29 Desember 2011, rumah kakak-adik Iklil, Tajul Muluk dan adik mereka, juga pesantren, diserang massa. Iklil dan Tajul yang merupakan tokoh masyarakat Syiah di sana diancam akan dibunuh. Saat itu, mereka mengungsi di Gedung Olahraga (GOR) Sampang sekitar tiga pekan, lalu kembali.

Namun, setelah penyerangan pada Agustus 2012, mereka tidak kembali. Ratusan muslim Syiah tersebut mula-mula diungsikan ke kantor Kelurahan Omben, kemudian ke GOR Sampang. “Kami sekitar 10 bulan di sana,” kata Fitri. “Waktu mau dibawa ke Jemundo, kami dijanjikan hanya tiga hari sampai seminggu. Ternyata sampai nyaris 10 tahun.”

Saat kejadian, Tajul Muluk tengah menjalani hukuman dalam kasus penodaan agama yang dilaporkan adiknya, Roisul Hukama, yang telah menganut Islam Sunni. Sebelumnya, pada Januari 2012, Majelis Ulama Indonesia Sampang mengeluarkan fatwa bahwa ajaran Syiah sesat. Tajul dihukum 2 tahun penjara, tapi menjadi 4 tahun penjara dalam putusan banding.

“Menurut saya, ada unsur politik,” kata Umi Kulsum, mengenai insiden 2012 itu.

Awalnya, sekitar 48 keluarga Syiah, dari Desa Karanggayam, Omben; dan Desa Bluuran, Karangpenang, ditampung di Rusun Puspo Agro. Belakangan jumlahnya terus bertambah hingga terakhir sekitar 80 keluarga karena ada anak-anak mereka yang berkeluarga di tempat pengungsian. Tapi ada juga yang meninggalkan rusun, baik karena pekerjaan maupun menempati rumah sendiri atau rumah kontrakan.

Suasana rumah susun Puspo Agro yang menjadi tempat penampungan warga Sampang yang terusir karena menganut paham Syiah yang mereka anggap sesat, 22 November 2022. TEMPO/Purwani Diyah Prabandari‬

Kehidupan di Jemundo memang menantang. “Waktu itu saya tidak bisa membayangkan nanti anak-anak bagaimana,” kata Umi Kulsum.

Pengungsi bekerja apa pun. Banyak yang mengupas kelapa di Pasar Kupang.

Selama beberapa waktu, anak-anak tercerai-berai. “Sebagian teman-teman (Syiah) yang di luar menampung mereka, masuk ke kartu keluarga mereka,” kata Fitri. “Biar bisa sekolah.”

Ada yang satu keluarga diikuti dua atau beberapa anak sekaligus. Begitu selama sekitar 3-4 tahun, dan kemudian mereka kembali ke keluarga. Mereka mendapatkan bantuan pendidikan dari organisasi atau penganut Syiah lain.

Seperti cerita Rodipa. Setelah insiden, ia dikirim ke pesantren di Jawa Tengah. Dari situ, dikirim lagi ke Bandung untuk belajar di tingkat sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. “Yang mengurus Ustad Tajul dan Nyai (Umi),” kata perempuan berusia 20 tahun ini.

Anak-anak juga mengalami trauma psikologis. “Anak-anak sampai sempat segan bertemu dengan keluarga Sampang,” kata Umi. Rodipa masih ingat betul detail peristiwa 2012. “Saya lihat dengan mata kepala sendiri, kakak kena lemparan batu sampai gigi patah.”

Saat ini, hubungan keluarga besar Tajul Muluk sudah membaik.

Selain itu, ketidakpastian akan nasib mereka menghantui. Pernah ada desas-desus rusun akan dijual. “Pikiran jadi tidak tenang,” kata Umi Kulsum. Suatu ketika, mereka dibelikan tiket kereta dan disiapkan bus untuk ke stasiun. Katanya, mereka disebar ke beberapa lokasi di Jakarta dan Jawa Barat. “Tapi karena tidak ada kejelasan di sana bagaimana, kami tak bersedia,” kata Fitri.

Mereka pun melakukan berbagai upaya agar bisa kembali ke Sampang. “Termasuk lewat KSP (Kantor Staf Presiden),” kata Fitri. “Kami pernah naik sepeda ke Presiden pada masa SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Dua bulan ngontel.” Tapi jalan pulang belum terbuka.

Baru belakangan mulai ada harapan. “Bupati Sampang banyak membantu,” kata Umi Kulsum.

Ditemui di Pendopo Kabupaten Sampang pada November tahun lalu, Bupati Slamet Junaidi mengatakan, begitu dilantik pada 2019, ia bertekad menyelesaikan persoalan pengungsi ini. “Prinsip kami, memanusiakan mereka. Apa pun bentuknya, apa pun ideologinya, apa pun keyakinannya, karena mereka bagian dari warga Sampang,” kata Slamet Junaidi.

Sejauh ini, segala urusan kependudukan sudah dibereskan, seperti kartu tanda penduduk, surat nikah, dan sertifikat tanah. “Mereka ketakutan tanahnya diserobot orang,” kata Slamet Junaidi.

Pada saat yang sama, Tajul Muluk-Umi, Iklil-Fitri, dan nyaris semua pengungsi di Jemundo memutuskan untuk melepas paham Islam Syiah dan mengikuti Ahlussunnah Wal Jamaah atau Sunni. Dengan naik bus yang disediakan Pemerintah Kabupaten, mereka berbaiat di Sampang pada November 2020. “Setelah saya banyak membaca tentang Syiah, memang Syiah berbeda jauh dari Sunni. Kami harus mundur,” kata Tajul Muluk. “Jadi, bukan karena saya mau pulang atau mau diterima warga. Semata-mata tanggung jawab saya yang dipercaya masyarakat.”

Anak-anak yang belajar di sekolah atau pondok Syiah ditarik. Mereka dikirim ke Pondok Pesantren Lirboyo (Kediri) dan Tebu Ireng (Jombang) di Jawa Timur. Slamet Junaidi disebut-sebut mengeluarkan uang pribadi untuk membiayai pendidikan mereka. “Ada 60-an. Sama yang kuliah di luar pondok, jadi seratusan,” kata Slamet.

Pemerintah juga berkomunikasi dengan masyarakat dan ulama soal kepulangan pengungsi ke Sampang. “Alhamdulillah, diterima,” kata dia. Pada April 2022, 14 keluarga pengungsi kembali ke Sampang, menyisakan sekitar 66 keluarga di Jemundo. “Tapi kami masih ada utang, rumah,” kata Slamet.

Memang tak semua pengungsi Jemundo mampu membangun kembali rumah mereka. Slamet Junaidi menjanjikan membantu pengurusan rumah. Saat ini, menurut dia, Baznas sudah menyatakan bersedia membantu Rp 20 juta per keluarga. Slamet berencana mengalokasikan dana APBD sebesar Rp 30 juta per keluarga.

Ia juga menjalin komunikasi dengan Kantor Staf Presiden (KSP) serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Rumadi Ahmad, tenaga ahli utama Kedeputian V KSP Bidang Politik, Hukum, Keamanan, dan Hak Asasi Manusia, mengatakan bahwa Kementerian PUPR sedang memproses permintaan Slamet. Meski demikian, menurut Rumadi, mereka akan mengupayakan dalam sekitar dua bulan ke depan, sudah ada lagi pengungsi yang pulang.

“Saya ingin sebelum Lebaran (April 2023), mereka sudah pulang,” kata Slamet Junaidi. Kecuali empat keluarga. “Perjanjian dengan masyarakat begitu,” kata dia. Empat keluarga tersebut adalah keluarga Iklil-Fitri, Tajul-Umi, dan yang tak baiat.

Slamet mengatakan, pemerintah telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat perihal perbedaan untuk menjaga keharmonisan. “Buktinya, tetap ada Syiah dan tidak ada masalah,” kata dia. “Kalau enggak ada pemantiknya, enggak akan terjadi (persekusi).”

Menurut Tajul, selain dari Pemerintah Kabupaten, mereka sangat memerlukan dukungan pemerintah pusat agar masyarakat di Sampang kembali menerima mereka. “Kami sekarang sudah Sunni.”

PURWANI DIYAH PRABANDARI

Laporan ini dibuat dengan dukungan dari program Round Earth Media, International Women's Media Foundation.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus