Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebelum meninggal, seorang pasien cuci darah sempat diduga terpapar virus corona.
Seharusnya pasien tetap bisa menjalani cuci darah sebelum dinyatakan positif corona.
Rumah sakit memberlakukan biaya tambahan untuk pasien non-Covid-19.
AKTIVITAS Santo—bukan nama sebenarnya—menemani istrinya menjalani terapi cuci darah atau hemodialisis berakhir sudah. Pada Jumat, 10 April lalu, istrinya berpulang. Perempuan 33 tahun itu sempat diduga mengalami gejala Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19.
Menurut Santo, sepekan sebelumnya, 3 April lalu, istrinya berniat menjalani cuci darah di salah satu rumah sakit swasta di Ciputat, Tangerang Selatan. Biasanya, setiap Selasa dan Jumat, dia rutin menjalani cuci darah di rumah sakit tersebut. Hari itu, rumah sakit menolak menjalankan cuci darah karena sang istri mengeluh dada dan perutnya sakit. Ia pun sempat mengaku demam. Sempat menjalani uji cepat atau rapid test corona melalui pengambilan darah, istri Santo kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Tangerang Selatan.
Masuk unit gawat darurat pada Sabtu, 4 April, kondisi tubuh istri Santo melemah. Dua hari kemudian, perempuan itu dipindahkan ke ruang perawatan intensif. Baru pada Rabu, 8 April, istri Santo diperbolehkan menjalani cuci darah. “Itu pun hanya selama satu jam dan dilakukan malam hari setelah pasien lain selesai cuci darah,” kata Santo kepada Tempo, Senin, 13 April lalu.
Dokter RSUD Tangerang Selatan sempat memberi tahu dia bahwa istrinya mengalami pneumonia, salah satu gejala terpapar corona. Namun hasil uji cepat istrinya negatif. Santo sempat kesal karena seharusnya cuci darah itu dilakukan setelah hasil tes cepat keluar. Setelah cuci darah, kondisi sang istri makin buruk. Ventilator sempat menopang sistem pernapasannya. Namun ia akhirnya meninggal.
Kepala Bidang Pelayanan Medis RSUD Tangerang Selatan Enji Seppraliana mengatakan istri Santo tetap menjalani perawatan seperti pasien lain. Menurut dia, cuci darah tak bisa dilakukan karena layanan itu baru buka pada Senin. Selain itu, istri Santo harus menjalani transfusi darah karena kadar hemoglobin atau protein dalam darah rendah. “Ini untuk mengantisipasi beban jantung,” ujarnya. Enji mengatakan kondisi pasien sempat membaik setelah cuci darah berjalan satu jam.
Anggota Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat, Ribka Tjiptaning, mengaku mendapat informasi ada dua pasien cuci darah meninggal karena tak mendapat perawatan. Dua orang itu, kata Ribka, diduga terjangkit corona. Dalam siaran persnya, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menilai ada ketidaksiapan rumah sakit dalam menghadapi wabah corona.
Jonny, anggota Perhimpunan Nefrologi Indonesia, organisasi dokter yang mempelajari fungsi dan penyakit ginjal, menyebutkan seharusnya pasien yang belum dinyatakan positif corona tetap bisa menjalani cuci darah di fasilitas kesehatan seperti biasa. Ketentuan ini, kata dia, diatur dalam buku panduan yang dikeluarkan organisasinya terkait dengan penanganan pasien cuci darah pada masa pandemi. “Rumah sakit tak boleh begitu saja lepas tangan,” ujar dokter ginjal di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto ini.
Pengalaman sulitnya cuci darah pada masa pandemi corona juga dirasakan Vira—bukan nama sebenarnya—di Rumah Sakit Sentra Medika, Cibinong, Bogor. Pada Senin, 13 April lalu, dia datang ke rumah sakit seperti biasa. Di meja pendaftaran, Vira dimintai biaya tambahan Rp 100 ribu untuk mengganti alat pelindung diri tenaga medis. Perempuan 44 tahun ini tak memiliki duit sehingga tak bisa menjalani cuci darah.
Vira meminta bantuan Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia Cabang Depok dan Cibinong, Supratman. Setelah Supratman menghubungi manajemen dan memprotes pungutan biaya alat pelindung diri, Vira akhirnya diperbolehkan cuci darah. “Tapi mereka bilang enggak ada jaminan apakah aturan ini dicabut atau tidak,” kata Supratman.
Direktur Rumah Sakit Sentra Medika, Cibinong, Lanjar, mengakui adanya aturan itu. Hanya, menurut dia, kebijakan itu saat ini ditunda. Memberikan sejumlah keterangan, Lanjar menolak dikutip. “Saat ini sedang kami koordinasikan dengan para stakeholder,” ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia Susi Setiawaty mengatakan kemampuan rumah sakit swasta dalam menangani pasien berbeda-beda. Menurut Susi, bisa saja rumah sakit mengenakan biaya tambahan untuk melindungi tim medis dan pasien karena pengadaan alat pelindung diri cenderung mahal. Ia mencontohkan, harga pakaian hazmat bisa sampai Rp 1 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Instalasi gawat darurat tempat tindakan medis pertama pasien non covid 19 oleh dokter spesialais jaga di RSUD Dumai di Dumai, Riau, 19 Maret 2020. ANTARA/Aswaddy Hamid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di rumah sakit lain, pasien cuci darah juga dibebani biaya rapid test. Rumah Sakit Siloam Asri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, misalnya, sejak Senin, 13 April lalu, mewajibkan pasien cuci darah mengikuti tes cepat. Petrus Hariyanto, salah satu pasien, keberatan dengan aturan itu karena biayanya mencapai Rp 489 ribu. “Kebijakan yang berpotensi membunuh saya dan pasien lain,” kata Sekretaris Jenderal Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia ini.
Petrus dan sejumlah pasien lain sempat bertemu dengan manajemen Siloam Asri. Rumah sakit membolehkan cuci darah tanpa rapid test. Belakangan, biaya tes di Siloam Asri diturunkan menjadi Rp 250 ribu pada Jumat, 17 April lalu. Chief Executive Officer Siloam Asri Gerald Parulian mengatakan rapid test bertujuan melindungi pasien dan juga tenaga medis.
Gerald menjelaskan, rapid test bisa dilakukan pasien di mana pun. Yang penting, hasil itu dibawa dan ditunjukkan ke petugas. Rumah sakit juga meminta pasien mengikuti tes kembali 10 hari setelah uji pertama. Gerald menyadari kebijakan ini berpotensi menimbulkan polemik. “Gimana cara kami tahu pasien positif atau tidak kalau bukan dengan tes?” ujarnya.
Deputy President Director Siloam Hospitals Group Caroline Riady mengatakan Siloam melakukan screening sesuai dengan prosedur kepada pasien: dari pemeriksaan suhu, interview perjalanan kesehatan, mobilitas pasien, hingga radiologi. Pasien yang diduga sebagai orang dalam pemantauan akan dipisahkan dari pasien lain. “Kami juga telah menyiapkan dua rumah sakit Siloam untuk rujukan pasien Covid-19,” ujar Caroline. Dua rumah sakit itu adalah Siloam Kelapa Dua dan Mampang.
Bukan hanya pasien cuci darah, pasien penyakit non-Covid-19 lain pun ada yang kesulitan berobat. Siti Suparmi, pasien parkinson di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, tak lagi berobat ke sana. Beralih menjadi rujukan Covid-19 pada Maret lalu, rumah sakit tersebut tak lagi menerima pasien non-corona. Suci Mayang Sari, putri Siti Suparmi, mengaku mesti merogoh kocek sendiri untuk biaya obat ibunya. Biasanya ibunya yang berusia 76 tahun itu berobat dengan menggunakan program Jaminan Kesehatan Nasional. Ia khawatir membawa ibunya ke rumah sakit karena ada kemungkinan bakal terpapar corona. “Ibu saya sudah sepuh dan rentan terpapar,” katanya.
DEVY ERNIS, JONIANSYAH (TANGERANG SELATAN)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo