Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Presiden meminta data korban Covid-19 dibuka.
Pemerintah pusat dan daerah memiliki data berbeda.
Gubernur Anies Baswedan mengirimkan tim khusus untuk memantau tempat pemakaman umum.
MENGGELAR rapat terbatas membahas laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada Senin, 13 April lalu, Presiden Joko Widodo meminta data korban virus corona dibuka kepada publik. Jokowi berharap publik bisa mengakses semua data, bukan hanya korban positif dan meninggal, melainkan juga orang dalam pemantauan dan pasien dalam pengawasan. “Seharusnya ini semua bisa diperbarui dan lebih cepat,” kata Presiden dalam rapat online tersebut.
Sebulan sebelumnya, 13 Maret lalu, Jokowi mengakui pemerintah tidak membuka semua data corona untuk mencegah kepanikan di masyarakat. Sejak Jokowi mengumumkan kasus pertama positif corona pada awal Maret lalu, banyak pihak menganggap pemerintah menutupi angka korban dan terjadi kesimpang-siuran data.
Dua hari sebelum rapat terbatas itu, dalam pertemuan yang digelar di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo juga membicarakan persoalan data corona. Dua pejabat yang hadir bercerita, Doni yang juga Kepala BNPB itu marah karena ada perbedaan data Gugus Tugas dan Kementerian Kesehatan.
Doni menugasi Ketua Tim Pakar Gugus Tugas, Wiku Bakti Bawono Adisasmito, membereskan persoalan data tersebut. Wiku berjanji menjelaskan soal perbedaan data ini. Namun hingga Sabtu, 18 April, dia tak merespons permintaan wawancara Tempo.
Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Agus Wibowo mengakui ketidaksinkronan data tersebut. Menurut dia, lembaganya juga mengumpulkan data melalui BNPB daerah. Namun data versi BNPB itu tak dipublikasikan karena tak ada kewenangan. “Tapi kami punya dua-duanya,” katanya.
Ketidaksinkronan data terlihat pada Senin, 13 April lalu. Pemerintah pusat merilis terjadi penambahan 16 kasus positif di Provinsi Yogyakarta sehingga di wilayah itu ada 57 kasus. Sedangkan angka kematian akibat corona di provinsi itu 7 orang. Namun pemerintah Yogyakarta justru menyatakan total ada 55 kasus dengan 7 tambahan kasus baru dan 6 orang meninggal.
Kepala Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Yogyakarta Irene tak mengetahui pasti penyebab perbedaan itu. Irene meyakini data lembaganya valid. “Kami tidak libur. Angka itu hasil pemeriksaan sejak Jumat hingga Ahad,” ujar Irene pada Senin, 13 April lalu. Sebelum kejadian itu, juga terjadi dua kali kesimpang-siuran data dengan pemerintah pusat, yaitu pada 13 dan 27 Maret lalu.
Juru bicara Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Yogyakarta, Berty Murtiningsih, menduga selisih data terjadi karena pemerintah pusat memasukkan sampel positif pasien dalam pengawasan ke data Yogyakarta. Padahal, kata Berty, sampel itu belum diketahui persis asalnya. Wakil Ketua Sekretariat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Biwara Yuswantana mengatakan pemeriksaan pasien Covid-19 selalu mengacu pada prosedur yang ditetapkan Kementerian Kesehatan.
Perbedaan data juga terjadi di Jawa Tengah. Pada Rabu, 15 April lalu, jumlah pasien positif di provinsi ini 292 orang. Angka ini jauh di atas data versi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, yakni sebanyak 234 kasus. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menduga kesalahan ini terjadi akibat hasil tes polymerase chain reaction (PCR) di wilayahnya langsung dikirim ke Kementerian Kesehatan. Hasil itu, kata Ganjar, diumumkan sebelum disampaikan ke pemerintah daerah. Ganjar mengaku kerap tak menerima hasil tes pasien di wilayahnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo