Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Angka kematian akibat Covid-19 diduga jauh di atas data versi pemerintah.
Ketidakpercayaan juga datang dari kalangan dokter.
Pemerintah memperkirakan puncak pandemi terjadi awal Mei.
BERBAGAI kabar kematian yang diduga terkait dengan Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 sejak pertengahan Maret lalu mencemaskan Irma Hidayana. Keresahan Irma meningkat setelah ia mendengar informasi bahwa sejumlah orang meninggal dengan gejala terpapar virus corona dan dimakamkan dengan menggunakan prosedur Covid-19.
Doktor ilmu kesehatan dan perilaku dari Columbia University, Amerika Serikat, itu pun meyakini angka korban dan kematian akibat terjangkit corona belum mencerminkan fakta sebenarnya. Padahal, di berbagai penjuru dunia, penyebaran corona terjadi dengan cepat. “Ini pasti banyak kasus tak terdeteksi,” kata Irma kepada Tempo, Rabu, 15 April lalu. Ia mengaku khawatir bahwa tertutupnya data jumlah dan sebaran korban justru membuat publik tak waspada dan rentan terjangkit virus tersebut.
Bersama sejumlah koleganya, seperti jurnalis dan aktivis non-pemerintah, Irma berinisiatif membentuk platform pelaporan tentang Covid-19. Menggandeng anak muda yang ahli teknologi, Irma cs membuat mesin percakapan yang bisa diakses melalui WhatsApp dan Telegram. Publik bisa memberikan informasi mengenai kesehatan personal atau kerabatnya ataupun tentang keramaian di sebuah wilayah. “Atau jika ada yang meninggal sebelum mendapat kesempatan tes Covid-19,” ujarnya.
Diluncurkan pada 6 April lalu, layanan ini sudah menerima 2.185 pengaduan. Informasi itu diolah dan ditampilkan dalam bentuk peta sebaran kasus di situs www.laporcovid19.org. Situs itu juga menunjukkan tingkat kerentanan kelurahan di DKI Jakarta, yang tercatat paling banyak memiliki kasus positif dan korban meninggal. Makin merah warna kelurahan berarti makin rentan wilayah tersebut. Irma berharap publik bisa lebih jeli melihat kondisi sebaran kasus di sekitar tempat tinggal mereka.
Keraguan terhadap angka korban corona juga muncul dari kalangan medis. Di Jakarta, sekitar 80 dokter diam-diam bergabung dalam satu grup WhatsApp dengan tujuan menguji data pemerintah. Seorang dokter yang bertugas di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo bercerita, keraguan itu muncul karena para dokter menangani langsung pasien dengan gejala Covid-19. Mereka pun ikut menyaksikan kasus kematian yang diduga akibat terjangkit corona.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Irma Hidayana, Desember 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dokter tersebut, setiap hari mereka saling menginformasikan angka kematian dengan gejala Covid-19. Hingga pekan kedua April lalu, diperkirakan jumlah korban meninggal akibat terpapar corona hampir sepuluh kali lipat dari versi resmi pemerintah. Dokter ini bercerita, belum juga data tersebut dipublikasikan, seorang dokter yang cukup senior mengetahui aktivitas itu dan meminta mereka berhenti berbagi informasi karena dianggap berlawanan dengan pemerintah. Tak lama kemudian, grup WhatsApp tersebut bubar jalan.
Prediksi bahwa kasus Covid-19 di Indonesia jauh di atas angka versi pemerintah juga disampaikan SimcovID pada penelitian per 31 Maret lalu. SimcovID berisi peneliti dari perguruan tinggi di dalam dan luar negeri. Pada tanggal tersebut, jumlah kasus positif di Jakarta mencapai 747 pasien dengan angka kematian 83 orang. Menggunakan angka tersebut dan membandingkannya dengan tingkat kepadatan penduduk, peneliti SimcovID yang juga ahli matematika epidemiologi, Nuning Nuraini, memperkirakan total kasus positif di Jakarta hari itu sebesar 32 ribu. “Itu estimasi total kasus tak terdeteksi dengan asumsi credible interval 86 persen,” kata Nuning.
SimcovID menggunakan sejumlah variabel, seperti susceptible (rentan), exposed (terpapar), infected (terinfeksi), quarantine (dikarantina), recovery (sembuh), dan death (meninggal). Dengan menggunakan pendekatan ini, Nuning memprediksi dalam satu kematian terdapat 385 kasus positif. Adapun satu orang positif bisa menularkan virus ke tiga orang lain. Nuning mengestimasi, terdapat 315 kasus per 100 ribu penduduk di DKI Jakarta. Menggunakan metode yang sama, SimcovID memprediksi total kasus di Jawa Barat pada tanggal itu sebanyak 8.090 dan Jawa Timur sebanyak 3.080.
Jauh sebelum kasus corona meledak, sekelompok anak muda berinisiatif memantau perkembangan pandemi ini di Indonesia. Sejak Desember 2019, mereka berdiskusi untuk menyajikan potensi kasus yang disebabkan oleh virus dari Wuhan, Cina, itu. Ronald Bessie, salah satu inisiator gerakan yang dinamai Kawal Covid-19 itu, mengatakan data kasus positif sangat penting untuk merumuskan kebijakan pemerintah dalam mengendalikan penyebaran corona. Dengan menggunakan data dari pemerintah, Kawal Covid-19 memunculkan statistik harian yang dilengkapi dengan demografi korban positif corona, seperti warga negara, usia, dan jenis kelamin.
Di Indonesia, total kasus positif hingga Sabtu siang, 18 April, mendekati 6.000 orang. Peneliti senior Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Institute, Herawati Sudoyo, memprediksi puncak penyebaran Covid-19 terjadi pada awal Mei hingga akhir Juni 2020. Herawati memperkirakan jumlah kasus positif di Indonesia mencapai 11-71 ribu per akhir April ini. Untuk menekan angka itu, kata Herawati, pemerintah bisa mengintervensi dengan melakukan pengujian massal dan memperketat kontak pasien positif dengan orang di sekitarnya.
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito memprediksi puncak masa pandemi corona di Indonesia terjadi pada awal Mei dengan jumlah kasus positif 95 ribu. Menurut Wiku, penurunan angka kasus positif ada kemungkinan terjadi pada awal Juni 2020. Pada periode itu, Wiku mengestimasi jumlah kasus positif di Indonesia sebanyak 106 ribu. Menurut dia, angka ini diperoleh melalui penghitungan yang melibatkan prediktor, ilmuwan, dan ahli di bidangnya. “Kami sudah mengkombinasikan semua prediksi itu,” tuturnya.
Anggota staf khusus Menteri Kesehatan, Alexander Kaliaga Ginting, tak menolak adanya prediksi yang dibuat para ahli untuk mengetahui potensi jumlah kasus corona. Prediksi itu, kata dia, penting dilemparkan kepada publik untuk meningkatkan kewaspadaan. Namun, Alexander mengingatkan, kementeriannya menolak jika prediksi kasus digunakan sebagai dasar pembelanjaan alat kesehatan, seperti ventilator dan alat tes, dengan jumlah yang tidak masuk akal. “Sebagai staf, saya mengingatkan Menteri agar tetap bersandar pada perhitungan surveilans epidemiologis,” ujarnya.
WAYAN AGUS PURNOMO, RAYMUNDUS RIKANG, EGI ADYATAMA, TAUFIQ SIDDIQ
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo