Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepuluh tahun telah berlalu sejak nilai rupiah terjun bebas pada 1997. Sudah sembuhkah ekonomi kita? Sudah merasa amankah para investor asing?
Ternyata lidah para investor asing masih menganggap iklim Indonesia sungguh gurih. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal awal bulan ini menunjukkan realisasi investasi asing semester pertama 2007 mencapai US$ 4,1 miliar atau sekitar Rp 36,9 triliun. Angka ini naik 16,8 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, senilai US$ 3,51 miliar (sekitar Rp 31,6 triliun). Angka ini sudah mendekati total investasi asing 1996, sebelum krisis, yaitu US$ 6,2 miliar (sekitar Rp 55,4 triliun).
Perbaikan ekonomi yang segera terlihat adalah menurunnya tingkat suku bunga dan angka kemiskinan, perbaikan sektor perbankan, serta keluarnya kebijakan pemerintah yang kondusif. Tak ayal lagi, Indonesia menjadi salah satu negara tujuan investasi di Asia Tenggara. ”Tingkat ketahanannya lebih kuat, sehingga potensi terulangnya kembali krisis sangat tidak mungkin,” kata Lord Brittan, Vice Chairman UBS Investment Bank.
Tengok saja industri telekomunikasi. Saat ini terdapat tiga operator seluler besar di Indonesia dengan pangsa pasar masing-masing. Telkomsel, yang 65 persen sahamnya dimiliki pemerintah Indonesia, punya pangsa pasar 54 persen, Indosat memiliki 31 persen, dan Excelcomindo menguasai 12 persen. Sepuluh operator lain memperebutkan sisa 25 persen pangsa pasar.
”Kompetisi di pasar seluler Indonesia sangat ketat,” kata Direktur Corporate Communications Singapore Technologies Telemedia (ST Telemedia) Melinda Tan. ST Telemedia, yang dimiliki Temasek Holdings, adalah pemegang saham mayoritas Indosat, sebesar 41,94 persen, lewat Asia Mobile Holdings sejak 2002. Perusahaan ini masih betah menjadi pemegang saham di perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Indonesia ini. ”Investasi ST Telemedia di Indosat adalah investasi dalam jangka panjang,” katanya.
Selain itu, Indonesia ternyata menjadi ”gebetan” para pengusaha asal Cina. Menurut Li Zhixue, Deputi Direktur Badan Promosi Perdagangan Internasional Cina, negeri ini adalah mitra dagang terbesar ketiga untuk Cina di kawasan Asia, setelah Jepang dan Singapura. Besarnya pasar, khususnya di bidang otomotif, membuat dua produsen mobil Cina siap mendirikan pabrik di Tanah Air. ”Indonesia kaya sumber daya alam dan kami punya teknologi,” kata Li. Menurut Li, sejak 1998, nilai investasi Cina yang ditanamkan di Indonesia sudah mencapai US$ 5 miliar (sekitar Rp 44 triliun).
Tak mau kalah dengan raksasa Asia, pengusaha Amerika Serikat antusias membidik sektor investasi Indonesia. Menurut James Castle, pendiri CastleAsia—lembaga survei bisnis swasta asal AS—sektor keuangan, minyak dan gas bumi, serta pertambangan adalah sektor yang digemari investor.
Sayangnya, sejauh ini, belum ada pemain baru dari AS yang berani terjun ke sektor-sektor tersebut. Salah satu penyebabnya adalah sistem regulasi dan konsistensi hukum di Indonesia yang kurang berjalan. Dan seperti lagu lama yang terus berulang, ”Urusan birokrasi pun masih panjang dan sulit,” kata James Castle, yang telah mengikuti perkembangan ekonomi Indonesia sejak 1977.
Dengan kendala semacam ini, ternyata iklim investasi Indonesia masih memikat kalangan asing. Bahkan, menurut pengamat bisnis dari Oxford Business Group asal Inggris, Andrew Jeffreys, ”Dibanding Malaysia, potensi Indonesia lebih baik.” Jika kendala birokrasi segera dibereskan, Indonesia bisa meningkatkan diri dari sekadar ”gebetan” para investor asing menjadi ”kekasih” bahkan ”partner” selamanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo