Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tak Sudah Dirundung Utang

Jumlah utang luar negeri menurun, utang dalam negeri menjulang. Masih aman, tapi suatu saat akan kedodoran.

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA awal Juli 1997 itu berkibar rasa percaya diri: fundamental ekonomi Indonesia amat kokoh. Padahal, ketika itu, krisis ekonomi sudah memangsa korban di Asia. Mata uang Thailand remuk redam. Semula US$ 1 setara dengan 25 baht, lalu terjun ke 56 baht. Bank sentral Filipina habis-habisan mendongkrak peso. Suku bunga dikatrol dari 15 persen menjadi 24 persen dalam semalam.

Walau begitu, para menteri ekonomi Soeharto haqul yakin: krisis tak bakal merembet ke Indonesia. Sejumlah lembaga donor, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, ikut membesarkan hati. Di tengah kondisi melemahnya sejumlah mata uang Asia, rupiah memang masih perkasa. US$ 1 setara dengan Rp 2.440, inflasi rendah, dan perdagangan surplus.

Hanya dalam tiga bulan, situasi berubah bonyok. Pada awal Oktober 1997, rupiah termehek-mehek. US$ 1 setara dengan Rp 3.000. Para menteri ekonomi seperti terserang angin duduk. Mereka segera meminta bantuan IMF. Sejak saat itu pula, negeri ”gemah ripah loh jinawi” ini masuk ruang rawat inap lembaga donor itu.

Terapi pun dimulai. Sebuah kesepakatan yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI) ditandatangani pada 31 Juli 1997. Sekitar 130 kebijakan bagaikan obat yang harus ditelan si pasien, antara lain restrukturisasi lembaga keuangan dan kebijakan uang ketat, dengan target menyelamatkan rupiah.

Korban pertama terapi ini adalah dunia perbankan. Pada awal November 1997, pemerintah mencabut izin usaha 16 bank. Penutupan itu memang syarat utama IMF. ”Jumlah bank yang ditutup juga hasil diskusi dengan mereka,” kata Soedradjad Djiwandono, ketika itu Gubernur Bank Indonesia, kepada Tempo. Serentak dengan penutupan bank, pemerintah menerapkan kebijakan uang ketat.

Ternyata, penyakit makin parah. Rupiah makin teraniaya. Pada awal Desember 1997, US$ 1 sudah setara dengan Rp 4.650, hingga kemudian tersungkur di kisaran Rp 16 ribu. Salah satu sebabnya adalah utang.

Sejak Soeharto berkuasa, roda ekonomi negeri ini memang digerakkan utang. Sebelum kekuasaan Soeharto tamat, jumlah utang mencapai Rp 275 triliun. Para pengusaha juga membangun imperium bisnisnya dengan utang. Hingga pertengahan 1997, utang perusahaan swasta sekitar Rp 187 triliun.

Hampir semua utang itu berjangka pendek, sedangkan uangnya ditanam dalam proyek jangka panjang. Walhasil, utang jatuh tempo ketika keuntungan belum diraih. Separuh utang swasta ini jatuh tempo pada akhir 1997.

Keadaan makin runyam ketika pemberi utang menolak penundaan pembayaran. Para taipan lalu berebutan memburu dolar. Cadangan devisa pemerintah, yang jumlahnya cuma Rp 50 triliun, tak kuat meladeni. Rupiah pun terjun bebas, yang berakibat melambungnya harga sandang-pangan. Politik kisruh, rakyat turun ke jalan, Soeharto pun ”lengser keprabon”.

Cuma, cerita utang tak ikut tamat. Jumlahnya terus membengkak. Kalau sebelum krisis utang luar negeri cuma Rp 275 triliun, pada Maret 1999 jumlahnya hampir Rp 400 triliun. Sebagian merupakan utang swasta yang diambil alih pemerintah setelah restrukturisasi perbankan.

Di bawah Presiden B.J. Habibie, pemerintah meneken pinjaman baru dari IMF US$ 23 miliar pada Agustus 1998. Presiden Abdurrahman Wahid, yang menggantikan Habibie, memperpanjang program utang itu. Jumlahnya kemudian terus menjulang di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Hingga akhir 2005, utang luar negeri sudah mencapai Rp 612 triliun.

Adapun ekonomi tak sembuh-sembuh juga. Sejumlah bekas pejabat menilai IMF salah memberi obat. Mar’ie Muhammad, Menteri Keuangan 1993–1998, meyakini resep lembaga donor itu banyak yang meleset. Tapi, dia menambahkan, ”Sebaiknya jangan semata-mata menyalahkan lembaga itu.”

Kecaman lebih keras disampaikan Fuad Bawazier, Menteri Keuangan setelah Mar’ie. Obat dari lembaga donor itu, ”Semuanya racun,” katanya. ”Tidak heran kalau negara tambah sengsara.” Sejumlah lembaga anti-utang juga yakin terapi IMF menyebabkan krisis berlarut-larut. Presiden Yudhoyono juga dituding terlalu gampang disetir lembaga itu.

Akhirnya, Presiden Yudhoyono melunasi pinjaman dari lembaga yang berpusat di Washington, Amerika Serikat, itu. Jumlahnya Rp 67 triliun. Sejatinya utang ini jatuh tempo pada akhir 2010, tapi dilunasi pada Oktober 2006. Sejak saat itu pula Indonesia keluar dari ruang rawat inap IMF.

Presiden SBY, yang didampingi sejumlah petinggi Bank Indonesia, tampil semringah mengumumkan pelunasan itu. ”Dengan pembayaran ini, Indonesia tidak lagi menjadi pasien tetap IMF,” kata Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah. Keberanian Yudhoyono ini disanjung orang ramai.

Namun, itu tak berarti perkara utang tamat sudah. Hingga kini pemerintah masih rajin menggali utang. Lihatlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2006. Dalam pos penerimaan dicantumkan bahwa jumlah utang dari luar negeri terbilang Rp 29,9 triliun. Jumlah itu merupakan 5,5 persen dari total penerimaan negara.

Lihat juga skema anggaran 2007. Semula, utang luar negeri ditargetkan Rp 40 triliun, tapi karena penerimaan pajak menurun, utang kemudian ditambah menjadi Rp 42 triliun. Kini pemerintah berusaha merayu Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia agar memberi utang baru. Pemerintah percaya bahwa tambahan utang itu tidak berbahaya sebab, secara total, utang luar negeri terus turun.

Dalam tiga tahun terakhir, jumlah utang luar negeri memang turun karena jumlah cicilan pokok dan bunga jauh lebih besar daripada jumlah utang baru. Pada 2007, misalnya, jumlah utang baru Rp 42 triliun, tapi cicilan dan bunga yang harus dibayar Rp 80 triliun. Dengan komposisi seperti ini, jumlah utang akan terus turun.

Berita buruknya adalah, jumlah utang dalam negeri justru terus meningkat. Selain berutang ke luar negeri, pemerintah menerima utang dari dalam negeri dengan cara menerbitkan surat utang. Hingga 2007, total utang dalam negeri mencapai Rp 779 triliun, jauh di atas utang luar negeri yang jumlahnya Rp 546 triliun (lihat tabel).

Dari komposisi itu terlihat jumlah utang luar negeri menurun, tapi utang dalam negeri bertambah. Penambahan utang dalam negeri jauh melebihi pengurangan utang luar negeri. Walhasil, total utang secara keseluruhan justru kian menjulang. Hingga akhir tahun ini jumlahnya Rp 1.325 triliun.

Utang dalam negeri ini memang tidak bersifat mengikat sebagaimana utang luar negeri, tapi suku bunganya bergerak dalam rentang 7 persen hingga 9 persen. Bunga itu jauh di atas suku bunga pinjaman luar negeri, yang bermain dalam rentang 4 persen hingga 5 persen. ”Suatu saat pemerintah bakal kedodoran melunasi utang dalam negeri ini,” kata Dradjad H. Wibowo, anggota Komisi Anggaran DPR RI.

Pemerintah sendiri terlihat percaya diri. Komposisi utang itu, kata Direktur Jenderal Pengelolaan Utang, Departemen Keuangan, Rahmat Waluyanto, ”Masih aman, karena semuanya terkelola dengan baik.”


Komposisi Utang Tiga Tahun Terakhir (dalam triliun rupiah)

Utang200520062007
Luar Negeri612562546
Dalam Negeri686748779
Total1.2981.3101.325
Sumber: Penjelasan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Dewan Perwakilan Rakyat beberapa waktu lalu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus