Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Guncangan Ekonomi, Akankah Terulang

23 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Goei Siauw Hong

  • Pengamat pasar modal,konsultan pembiayaan perusahaan dan manajemen risiko

    TAK terasa, krisis moneter yang menghantam Asia sudah berlalu sepuluh tahun. Krisis itu telah menumbangkan Presiden Soeharto dan membangkitkan era demokrasi. Setidaknya, inilah sisi positifnya.

    Di sisi lain, krisis moneter membawa kehancuran pada sistem perbankan Indonesia sehingga membebani negara, yang harus membiayai rekapitalisasi perbankan. Peta bisnis pun bergeser. Pengusaha baru bermunculan, dan pengusaha lama berkurang perannya.

    Pelajaran apa yang bisa diambil dari krisis moneter dan bagaimana kondisi saat ini dikaitkan dengan kondisi sepuluh tahun silam?

    Peran aliran modal masuk

    Krisis moneter 1997 tidak lepas dari banyaknya uang yang masuk ke Asia Tenggara. Ada beberapa hal yang mendorong masuknya dana asing pada periode tersebut, di antaranya suku bunga yang relatif tinggi dibandingkan dengan suku bunga di negara maju, dan optimisme pasar yang berlebihan terhadap prospek ekonomi negara-negara Macan Asia—Indonesia satu di antaranya.

    Suku bunga tinggi di Indonesia dan likuiditas global yang berlimpah membawa masuk dana yang melakukan carry trade, yaitu menginvestasikan uang di tempat dengan bunga tinggi (dalam hal ini rupiah) dengan dana yang diperoleh dari tempat dengan bunga rendah (misalnya dolar AS dan yen). Dana itu sering kali berharap mendapat keuntungan ganda karena sering kali mata uang yang mendapatkan aliran dana tersebut malah menguat karena adanya aliran dana masuk.

    Dana-dana tersebut adalah dana jangka pendek atau yang sering disebut hot money. Biasanya dana itu dikelola oleh hedge fund, suatu bentuk pooling dana yang dikelola oleh manajer investasi, yang tidak banyak memiliki restriksi dalam investasinya.

    Dengan leverage yang tinggi, hedge fund bisa memiliki dana berlimpah untuk diinvestasikan sehingga berpengaruh besar pada pasar. Ketika dana itu masuk, nilai rupiah menguat, suku bunga turun, dan harga berbagai sekuritas naik. Sebaliknya, ketika dana itu keluar, nilai mata uang bisa kolaps, suku bunga naik, dan harga sekuritas anjlok.

    Adanya kekhawatiran hedge fund terhadap kondisi di Asia Tenggara, setelah krisis menimpa Thailand, membuat dana yang sebelumnya masuk ke Indonesia keluar. Ini memicu krisis yang diawali dengan tumbangnya nilai tukar rupiah dan naiknya suku bunga karena likuiditas yang mengering. Akibatnya, perbankan Indonesia, yang memang masih lemah, mulai menghadapi kredit macet yang besar.

    Peran IMF

    Dana Moneter Internasional (IMF) memiliki peran signifikan dalam jatuhnya perekonomian Indonesia. Salah satu kesalahan terbesar IMF adalah merekomendasikan penutupan belasan bank yang dianggap tidak dikelola dengan baik. Akibatnya, timbul kepanikan. Nasabah bank-bank lain, yang sebetulnya relatif tidak bermasalah, pun ikut melakukan rush, beramai-ramai menarik uangnya.

    Pada akhirnya, rush memaksa bank-bank yang kekurangan kas berpaling pada Bantuan Likuiditas Bank Indonesia untuk memenuhi kewajibannya ke nasabah. Masalahnya, buruknya corporate governance di berbagai bank saat itu menyebabkan hilangnya dana nasabah.

    Rush nasabah dan keluarnya dana asing ini mengeringkan likuiditas di dalam negeri, yang menyebabkan suku bunga naik. Bank mengalami spread, alias selisih bunga negatif, yang besar dan naiknya kredit bermasalah. Akibatnya, berbagai bank tumbang.

    Peran negatif IMF mungkin disengaja karena pada saat itu fokus Amerika Serikat dan IMF memang menjatuhkan rezim Soeharto. Seharusnya IMF mengetahui bahwa penutupan bank-bank yang tidak diikuti penggantian dana nasabah (penjaminan) akan menyebabkan rush pada perbankan dan menyebabkan hancurnya sistem perbankan suatu negara.

    Penutupan bank yang menyebabkan hancurnya sistem perbankan sudah terjadi di Amerika Serikat pada akhir 1920-an dan awal 1930-an, yang berakibat pada depresi ekonomi. Sebagai koreksi, agar nasabah tidak mudah panik, pemerintah Amerika Serikat mendirikan Federal Deposit Insurance Corporation, yang di Indonesia setara dengan Lembaga Penjaminan Simpanan.

    Perbankan dan utang korporat

    Krisis moneter berakibat pada hancurnya perbankan di Indonesia. Manajemen risiko dan corporate governance yang buruk pada perbankan menjadi penyebab ketidakmampuan banyak bank di Indonesia menghadapi syok eksternal.

    Peran pemilik bank sebagai manajemen puncak bank telah membuat bank hanya menyalurkan kredit ke grup perusahaannya. Akibatnya, bank akan mengalami kerugian kredit yang besar bila grup perusahaan terafiliasi bermasalah.

    Persoalannya, peran Bank Indonesia sebagai pengawas saat itu masih lemah. Akibatnya, mereka tidak banyak bertindak ketika menemukan berbagai kelemahan di perbankan. Tidak independennya BI bisa jadi merupakan penyebab kelemahan pengawasan. Apalagi, sudah menjadi rahasia umum, pengusaha yang memiliki bank biasanya punya pengaruh kuat di kalangan pemerintah.

    Setelah keruntuhan perbankan, berbagai usaha dilakukan BI agar krisis serupa tidak terulang, di antaranya mengharuskan penerapan prinsip-prinsip manajemen risiko dan tata kelola perusahaan yang baik. Pengawasan terhadap bank-bank juga kini sudah jauh lebih baik. Selain itu, adanya Lembaga Penjaminan Simpanan akan membantu mengurangi kepanikan investor pada saat isu negatif tentang suatu bank berkembang.

    Pelajaran lainnya, perusahaan-perusahaan besar Indonesia dikelola dengan semangat spekulatif. Untuk mendapatkan dana dengan bunga lebih rendah, tak jarang perusahaan mengutang dalam dolar Amerika. Dana itu kemudian dikonversi ke rupiah dan digunakan untuk investasi di Indonesia.

    Investasi tersebut kebanyakan melayani permintaan dalam negeri dengan penerimaan dalam rupiah. Akibatnya, terjadi mismatch antara arus kas yang akan diterima perusahaan dan arus kas yang seharusnya dibayarkan ke kreditor (bank). Hedging atau lindung nilai hampir tidak pernah terdengar di kalangan perusahaan Indonesia pada 1997.

    Celakanya, ketika rupiah kolaps, kewajiban pembayaran utang perusahaan ketika dikonversi ke dalam rupiah naik signifikan. Padahal penerimaan perusahaan dalam rupiah tidak naik. Akibatnya, banyak perusahaan tidak bisa memenuhi kewajibannya.

    Pelajaran dari krisis

    Pertanyaannya: mungkinkah krisis serupa terjadi lagi di Indonesia? Satu hal yang mengkhawatirkan adalah aliran dana panas (hot money) yang banyak masuk ke Indonesia akhir-akhir ini. Seperti pada 1997, dana-dana tersebut bisa saja tiba-tiba ditarik keluar bila ada suatu pemicu.

    Pemicu itu bisa dari luar negeri sehingga di luar kendali pemerintah Indonesia. Ini bisa melemahkan rupiah secara signifikan dan ada kemungkinan mendongkrak suku bunga. Bila ini terjadi, guncangan ekonomi bukan sesuatu yang mustahil.

    Seberapa besar dampaknya bila penarikan dana terjadi mendadak? Menurut saya, ada dua hal yang akan mengurangi dampak siklus penurunan ekonomi, yaitu perbankan yang jauh lebih sehat dan utang korporat yang jauh lebih kecil.

    Pengawasan BI yang lebih ketat terhadap perbankan, sistem penjaminan simpanan, dan penerapan manajemen risiko yang lebih baik di perbankan akan membuat bank mampu menghadapi guncangan dari penurunan ekonomi sehingga tidak harus kolaps massal lagi. Nasabah bank pun bisa lebih percaya terhadap keamanan dananya di bank sehingga rush terhadap perbankan bisa dihindari.

    Utang perusahaan saat ini relatif lebih kecil dibanding pada 1997. Selain itu, perusahaan besar umumnya telah menjalankan manajemen risiko yang lebih baik. Banyak perusahaan besar yang melakukan lindung nilai pada posisi valuta asingnya. Penurunan risiko pada korporat akan membantu mengurangi besarnya kredit macet saat guncangan ekonomi terjadi. Sudah tentu ini membantu mencegah terjadinya kegagalan bank.

    Banyaknya hot money yang masuk ke Indonesia jelas memerlukan perhatian pemerintah. Namun, dengan perbaikan struktur ekonomi Indonesia setelah krisis moneter, diharapkan dampak penurunan ekonomi tidak sehebat sepuluh tahun silam.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus