SEBELUM zaman orde baru Wringintelu yang termasuk daerah
Kecamatan Puger, 35 kilometer dari kota Jember dikenal sebagai
desa yang rawim. Karena di sini terdapat banyak tokoh maling, di
samping menjadi sarang bromocorah (penjahat) dan tempat
berkembangnya PKI/BTI.
Ketika kabupaten Jember dipimpin oleh seorang bupati bernama
Abdulhadi, Letkol bekas Komandan Kodim 0824, maka di awal zaman
orde baru itu sejumlah kepala desa diganti. Yang terkenal dengan
banyak kriminalitasnya diganti oleh anggota Polri, sedang di
basis PKI diganti oleh anggota Angkatan Darat. Desa Wringintelu
mendapat kepala desa bernama Pelda) Umar Sanusi yang semula
aktif di dinas Hiburan Brigif-9.
Maka sejak tanggal 1 Oktober 1967, Umar Sanusi bertugas memimpin
desa ini. Suasana baru terasa. Hampir setiap hari warga desa
diharuskan kerja bakti. Bengkok kepala desa beserta kerawatnya
seluas 19,5 hektar disewakan sebagai modal pembangunan. Sebagai
langkah pertama dibangunlah kompleks balai desa lengkap dengan
poliklinik, pos Hansip,tempat ibadah dan taman kanak-kanak
Kemudian kerja bakti dilakukan terus menerus untuk menertibkan
jalan desa.
Dua tahun berikutnya, desa dengan 4.906 jiwa yang tersebar dalam
39 RT dan 3 pedukuhan ini keluar sebagai juara pertama lomba
desa se Jawa Timur. Dalam waktu yang relatif pendek, dengan
susah payah masyarakat desa ini sendiri memang merasa desa ini
mulai teratur rapi. Bahkan di tiap RT terdapat lumbung paceklik
yang berasal dari sumbangan masyarakat sendiri. "Kalau ada yang
bilang kepala desa bertangan besi memimpin desa ini, berarti dia
PKI," demikian kata Umar Sanusi pada waktu itu setelah
memenangkan lomba desa tingkat Propinsi.
Semua Takut
Dalam perjalanan tak resmi, Presiden Soeharto sempat bermalam di
salah sebuah rumah penduduk desa ini. Kekaguman Presiden akan
kemajuan desa ini bukan saja mengangkat nama Umar Sanusi, tapi
juga nama daerah Jember. Umar Sanusi dalam sebuah sidang DPR
dianugerahi Satya Lencana Pembangunan, bahkan diangkat menjadi
anggota MPR, sampai sekarang. Sejak itu, Wringintelu menjadi
kancah tempat ngangsu kawmh (menimba pengetahuan) para kepala
desa di seluruh Indonesia. Bahkan mengundang banyak pejabat
Pusat untuk mengunjunginya. Sebagai imbalannya, maka pembangunan
terus menerus dilakukan mulai dari membangun jalan-jalan baru,
memberikan latihan bagi ibu-ibu dan pramuka, membuat banyak
rumah sehat, sampai membuat pemandian sapi. Pada tahun 1973 desa
ini malahan menjadi tamu kontak tani dari seluruh Indonesia.
Kekerasan pribadi Umar Sanusi untuk membangun desa ini ternyata
bukan main. Sampai-sampai tak sedikit warganya yang mengajukan
untuk pindah dari sana. Tentu saja kepala desa tidak
mengizinkan. Ada juga guru-guru yang minta pindah, karena setiap
hari ada saja beban desa yang dipikulnya. Bahkan Carik I yang
sudah tidak tahan lagi bekerja di bawah pimpinannya, minggat ke
Semarang. Seorang penduduk yang amat takut disebutkan namanya,
mengatakan kepada TEMPO pekan lalu. "Sebenarnya penduduk sudah
tak betah lagi tinggal di sini, lebih-lebih pada saat Pertemuan
Nasional Kontak Tani, setiap hari kami kerja bakti. Bukan saja
siang, malam juga demikian. Dan semua orang takut pada Pak
Umar."
Seorang penduduk setengah tua ada juga mengatakan, "Pemah sekali
waktu penyakit asma saya kumat, saya tidak datang kerja bakti.
Mendengar saya tidak datang, langsung saya dipanggil Pak Lurah
dan dihajar di depan orang-orang yang kerja bakti.
Pemukulan-pemukulan itu tidak saja menimpa penduduk, kerawat
desa sekalipun kalau perlu dipukuli di depan rakyatnya. Siapa
bilang Umar tidak bertangan besi."
Ikan Lele
Luas tanah di desa ini 535.446 hektar. Terdiri dari 58.107
hektar tanah pekarangan, 107.915 tanah tegal dan 369.424 hektar
sawah. Untuk membiayai pembangunan desa ini, setiap panen raya
tiap hektar sawah dikenakan zakat sebesar 2,5 kwintal gabah.
Rata-rata menghasilkan 200 ton gabah. (lihat box). Di tiap
tanggul sawah harus ditanami turi untuk kemudian dijual guna
biaya pembangunan. Setiap jengkal tanah pekarangan harus
ditanami sayur-mayur yang bisa dimakan sendiri. Kalau lebih
dijual. Dan selokan yang ada di tiap rumah penduduk harus
disebari bibit ikan lele.
Sekalipun nama Umar Sanusi sudah kesohor dia masih tetap
bersahaja. Rumah yang ditempatinya, masih juga yang dulu, kecil
dan berdinding bambu. "Dia masih tetap miskin," kata seorang
staf Humas Pemda Jember. Kalau desa ini membangun rumah dinas,
itu bukan berarti kepala desa akan tinggal di sana, tapi rumah
ini disediakan untuk tarnutamu yang berkunjung ke Wringintelu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini