Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANGGAL 28 Januari tampaknya akan menjadi hari yang dirayakan setiap lima tahun.
Pada 28 Januari 2000, orang berkumpul di tempat-tempat seminar membicarakan kekuasaan Presiden Abdurrahman Wahid yang berumur 100 hari. Para pengamat bicara, media massa mengutipnya dalam induk berita.
Pada 28 Januari 2005?jatuh Jumat pekan lalu?ritual itu berulang. Pada hari ke-100 usia pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berbicara di depan televisi, memberikan wawancara pers dalam dan luar negeri, menjelaskan apa yang sudah beres dan apa yang belum rampung dari pekerjaannya sebagai pemimpin negeri.
Kita teringat sepenggal sajak Chairil Anwar, tiga tahun setelah Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan:
Ayo! Bung Karno kasih tangan mari kita bikin janji Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang atas apimu, digarami lautmu Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & Berlabuh...
Ada nada optimisme dalam sajak itu. Nasionalisme Soekarno memang sedang menggelegak. Orang berharap?juga sang penyair.
Itulah yang terjadi pada bulan-bulan pertama pemerintahan Abdurrahman Wahid. Terpilih dalam pemilu demokratis pertama setelah Pemilu 1955, semua harapan dicurahkan kepada Abdurrahman. Orang banyak?kiai, aktivis LSM, mahasiswa?tumplek di Istana Negara pada masa awal Gus Dur berkuasa. Kekuasaan, yang di masa Soeharto diperlakukan dengan angker, oleh Abdurrahman diubah sampai ke titik paling berlawanan.
Pada hari ke-100, orang mengkritik. Kabinet yang disusun terlambat, ancamannya tentang pencopotan sejumlah menteri membuat orang menilai Gus Dur hanya memainkan game-nya sendiri. Ia bukan tak punya prestasi: beberapa inovasinya yang dipuji banyak orang adalah supremasi sipil atas militer dan kebebasan pers.
Tapi ia didera protes parlemen: soal gaya kepemimpinannya, skandal Bu-log, hubungannya dengan Wakil Presiden Megawati.
Gus Dur menanggapinya dengan senyum. "Meski sulit, kita harus tetap bercanda," katanya, Januari lima tahun lalu. "Sebab, bercanda menunjukkan bahwa kita tak kehilangan kegembiraan."
Tapi tak lama. Kekuasaannya digerogoti. Dan ia jatuh sebelum lima tahun pemerintahan itu usai.
Megawati naik panggung. Pada hari ke-100 ia masuk Istana?rumah masa kecilnya?seorang pengamat politik yang dekat dengan Presiden mengeluh. "Pemerintah seperti kehabisan ide untuk menyelesaikan krisis. Megawati menghadapi trauma akan kehilangan dukungan parlemen seperti Gus Dur dulu."
Responden jajak pendapat Tempo kala itu menilai Mega lemah karena dikelilingi para pembantu oportunis. Ia juga dinilai miskin visi dan tidak memiliki prioritas.
Tarikh berganti, Yudhoyono menjadi presiden, 20 Oktober 2004. Sang presiden tahu betul semua mata mengarah kepadanya. Tapi ia tak bisa tidak berjanji. Pemilu presiden 2004 dilaksanakan secara langsung, dan untuk itu ia harus berkampanye.
"Jika saya terpilih sebagai presiden, kondisi negara Indonesia lima tahun mendatang harus lebih baik. Indonesia lebih aman, adil, damai, demokratis, dan sejahtera," kata Yudhoyono dalam debat calon presiden yang disiarkan televisi hingga ke pelosok desa.
Di pendapa rumahnya di Cikeas, Bogor, beberapa hari setelah terpilih, ia pernah mengatakan tema 100 hari pemerintahannya adalah konsolidasi, konsiliasi, dan aksi (K2A). Konsolidasi artinya membentuk pemerintahan yang solid, konsiliasi maksudnya ia ingin transisi kekuasaan dari Mega kepadanya berlangsung rapi. Aksi adalah langkah nyatanya memperbaiki kondisi negeri.
SBY memerintahkan para menteri menyiapkan program 100 hari. Para menteri bergerak. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Hamid Awaluddin, memeriksa penjara para koruptor dan mengirim sebagian (kecil) dari mereka ke Nusakambangan. Menteri Keuangan Jusuf Anwar membuat kontrak lisan dengan pejabat Bea dan Cukai agar para penyelundup digasak habis.
Bukan tak ada hasilnya. Barang selundupan berkurang dari pasaran. Koruptor gemetar, terutama setelah Wakil Presiden M. Jusuf Kalla menggagas dibentuknya peraturan antikorupsi yang memungkinkan penyeleweng uang negara diperlakukan bagai teroris?mereka bisa dipenjara selama masa pemeriksaan dalam jangka waktu yang panjang.
Itu yang baik, yang buruk juga banyak. Saat ini, misalnya, ada delapan kementerian yang belum bisa bekerja karena belum dilengkapi keputusan presiden (keppres). SBY belum mengeluarkan surat itu karena tetek-bengek birokrasi yang belum beres. Praktis menteri-menteri tanpa keppres itu hanya kongkow-kongkow di kantor atau berdiskusi dengan para pakar untuk merumuskan seperti apa nanti sebaiknya ia bekerja.
Lalu ada pula kekhawatiran para pengamat tentang hubungan Presiden dan parlemen. Setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi Ketua Golkar?partai terkuat di DPR?ditakutkan mekanisme kontrol parlemen tak jalan. Jusuf Kalla menjadi eksekutif sekaligus ketua partai yang bisa menendang anggota legislatif yang "nakal" terhadap pemerintah. Intervensi partai politik?sesuatu yang dulu diterapkan Orde Baru?kini berulang.
Soal Jusuf Kalla ini ada catatan sendiri. Ketika bersanding dengan SBY pada pemilu lalu, banyak orang pesimistis keduanya bisa terus segendang sepenarian. Ia, yang saudagar, memang diharapkan bisa mengatasi kekurangan Yudhoyono, yang peragu.
Tapi sebagian orang menilai bukan tak mungkin Kalla justru menjadi bumerang. Dengan kursi Ketua Golkar di tangannya, bukan tak mustahil lima tahun pemerintahan akan "dipakai" Kalla untuk mempersiapkan diri menjadi presiden berikut. Ada problem efektivitas pemerintahan di sini, juga kekhawatiran tentang terbitnya matahari kembar dalam birokrasi. Munculnya surat keputusan wakil presiden?sesuatu yang tak lazim?tentang badan koordinasi penanganan Aceh hanya satu contoh disharmoni itu.
Seratus hari memang waktu yang terlalu pendek untuk menilai kinerja pemerintah. "Sebagai bahan omongan dan retorika, 100 hari bolehlah dipakai. Membangun demokrasi membutuhkan waktu ratusan tahun," kata cendekiawan Nurcholish Madjid ketika mengomentari Gus Dur dulu.
Tapi 100 hari bisa dipakai untuk berkaca. Bisakah kita secara bergelora membela Bung SBY, seperti ketika Chairil Anwar bersama Bung Karno "satu urat satu zat berlayar dan bertolak ke pelabuhan"? Atau kita perlu mengutip sajak lain penyair itu:
Pilihan saban hari menjemput, saban kali bertukar; besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu: Sorga hanya permainan sebentar.
Menanam Tebu di Bibir
1. Papua "Jika saya dipercaya dan diberi amanat oleh Tuhan untuk memimpin negeri ini, kami berjanji menjalankan otonomi khusus untuk kemakmuran Papua. Kami akan merekomendasikan calon menteri asal Papua dalam kabinet nanti. Saudara-saudara di Papua jangan sampai hidup miskin. (SBY, Lapangan Trikora, Abepura, Jayapura, 4 Juni 2004)
"Sebagai putra Indonesia yang lahir di kawasan timur Indonesia, saya sangat memahami betul harapan-harapan dan cita-cita masyarakat Papua." (Jusuf Kalla, Lapangan Trikora, Abepura, Jayapura, 4 Juni 2004)
Realisasi:
- Dalam kabinet Indonesia Bersatu, SBY memasang nama Laksamana Muda (Purn) Freddy Numberi, Menteri Kelautan dan Perikanan.
- Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua (MRP) pada 23 Desember lalu.
2. Aceh "Jika terpilih, saya akan review kebijakan itu, apa yang sudah berhasil dan apa yang belum. Tujuan utama kita bukan dialognya, tapi tindakan separatisme bersenjata di Aceh bisa selesai." (SBY dalam konferensi pers di Bandara Sultan Iskandar Muda, 18 Juni 2004)
"Dialog yang difasilitasi Henry Dunant Center (HDC) beberapa waktu lalu telah menimbulkan kontroversi karena dianggap tidak menguntungkan pemerintah Indonesia." (SBY, seusai serah-terima jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dengan Hari Sabarno di Kantor Menko Polkam, Jakarta, 17 Maret 2004)
"Aceh harus betul-betul bisa dipulihkan, sehingga pada saatnya darurat militer dapat segera dicabut. Aceh bisa normal, pemulihan keamanan diikuti dengan rehabilitasi sosial ekonomi." (SBY di Aceh, 18 Juni 2004)
"Saya ingin ada putra terbaik dari Aceh yang duduk di pemerintahan." (SBY dalam dialog calon presiden di Taman Ismail Marzuki, 14 Juni 2004)
"Konflik-konflik di daerah itu tidak perlu semuanya lari ke pusat. Tidak perlu jawabannya harus operasi keamanan atau operasi penegakan hukum secara keras. Karena, pranata sosial di sana sudah bisa mencegah konflik." (SBY dalam acara The Indonesian Presidential Elections 2004: Up Close and Up to Date di Jakarta, 14 Mei 2004)
"Kondisi keamanan di Aceh saat ini telah jauh membaik dan pulih. Tidak tepat kalau status darurat militer dipertahankan. Perubahan status ini merupakan kesempatan baik menuju tertib sipil asalkan pemerintah sungguh-sungguh melakukan operasi non-keamanan."
Realisasi:
- Pemerintah memperpanjang pemberlakuan Darurat Sipil Aceh, 12 November 2004
- Pemerintah berdialog dengan GAM di Finlandia, 28 Januari 2005.
3. Militer "Dalam penegakan supremasi sipil, pengambilan keputusan politik itu ada di tangan sipil. Sehingga, jenderal-jenderal tidak boleh mengintervensi keputusan itu. Soal posisi TNI, harus ada domain atau otoritas yang jelas dari Menteri Pertahanan sebagai pembuat kebijakan. Artinya, jika ada keputusan politik yang dikeluarkan Menteri Pertahanan, Panglima TNI tinggal melaksanakannya." (SBY dan Jusuf Kalla saat debat calon presiden-wakil presiden, 1 Juli 2004)
"Jika terpilih menjadi presiden, saya akan menata kekuatan militer. Semua prajurit militer akan memiliki kesadaran penuh untuk menghormati hak asasi manusia." (SBY di depan sejumlah duta besar, perwakilan dagang, dan eksekutif perusahaan asing di Jakarta, 9 Juni 2004)
"Komando teritorial, menurut dwifungsi, peran serta tugas dan fungsinya masuk ke wilayah politik. Itulah yang kita hentikan. Murnikan kembali tugas komando teritorial sebagai tugas dalam konteks pertahanan dalam NKRI. (SBY dalam debat calon presiden-wakil presiden yang digelar Trans TV, 15 Juni 2004)
Realisasi: Dalam undang-undang, TNI dilarang berbisnis. Soal komando teritorial belum tegas diatur.
4. Rekonsiliasi Nasional "Rekonsiliasi pekerjaan besar yang harus tumbuh dari kehendak rakyat yang sejati. Rekonsiliasi seperti yang diamanatkan pada 1999-2004, implementasinya belum berjalan dengan baik. Persoalannya memang sangat fundamental. Dibutuhkan konsensus nasional bagaimana rekonsiliasi dilakukan. Secara lebih strategis dan fundamental, rekonsiliasi masa lalu antara Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Ataupun antara mereka yang berjarak dalam sejarah di masa lalu yang harus dijadikan agenda besar." (Wawancara dengan harian Kompas, 5 Juni 2004)
"Rekonsiliasi merupakan modal membangun masa depan bersama. Karena itu, para mantan tahanan politik Partai Komunis Indonesia tidak perlu lagi diperlakukan diskriminatif." (SBY di Blitar, 7 Juni 2004)
Realisasi: Hingga saat ini pemerintah belum membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi seperti yang telah diamanatkan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
5. Pers Dan Demokrasi "Jika kami terpilih sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia, kondisi negara Indonesia lima tahun mendatang harus lebih baik. Dalam artian, Indonesia lebih aman, adil, damai, demokratis, dan sejahtera." (SBY-Kalla dalam debat calon presiden-wakil presiden yang digelar Trans TV, 15 Juni 2004)
"Pers memiliki peran sentral dalam demokrasi, sehingga kebebasan pers yang beretika merupakan unsur terpenting untuk membangun demokrasi yang sehat." (SBY saat bertandang ke kantor harian sore Surabaya News, 10 Juni 2004)
Realisasi: Menteri Informasi dan Komunikasi, Sofyan Djalil, menyetujui peraturan tentang pers bersifat lex specialis.
6. Terorisme "Separatisme harus dihentikan. Terorisme dan kejahatan harus diberantas, termasuk korupsi harus diberantas sampai ke akar-akarnya." (SBY di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, 20 Maret 2004)
"Semua bentuk kejahatan, terorisme dan separatisme akan diberantas Partai Demokrat sehingga negara Indonesia aman dari kerusuhan dan rakyat bisa hidup tenang." (SBY di Lapangan Gelora Jombor, Sukoharjo, Jawa Tengah, 20 Maret 2004)
"Terorisme tidak ada kaitannya dengan Islam. Kita harus melihat persoalan terorisme secara jernih, kita jangan termakan dengan isu menyudutkan Islam dan membuat perpecahan." (SBY di hadapan para kiai, ulama, dan santri se-Madura, 6 Juni 2004)
Realisasi: Beberapa aksi ancaman bom masih terus muncul di negeri ini. Dua tersangka utama teror bom, Dr Azahari dan Noordin M. Top, sampai saat ini belum tertangkap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo